Serial Literatura #7: Telur yang Berkokok; Mengenal Dunning-Kruger Effect
Dua minggu terakhir wifi rumah tak kunjung nyala, menyebabkan penulis menghabiskan hari-harinya di kafe mencari internet. Malam itu di jalan pulang dari kafe, penulis singgah ke hanud (kios) membeli telur. Betapa terkejutnya ia menjumpai harga 2 butir telur yang biasanya 3 MAD menjadi 3,5 MAD. Naik 0,25 MAD per butirnya.
Akibat harga telur yang naik, tiba-tiba penulis teringat sebuah quote yang dinisbatkan kepada Syaikhona Khalil Bangkalan. “Di akhir zaman banyak telur yang berkokok. Tidak mesantren tapi punya pesantren. Tidak ngaji tapi jadi Da’i.” Penulis merasa related dengan perkataan beliau.
Di era kemajuan teknologi seperti sekarang ini, banyak sekali inovasi-inovasi yang muncul dan berkembang. Salah satunya adalah media sosial. Sebuah wadah di mana orang-orang bisa membagikan apa pun. Baik itu gambar, video, maupun artikel. Banyak sekali informasi-informasi yang berseliweran di media sosial. Semua orang bebas membagikan apa yang mereka suka. Semua orang bebas mengatakan apa pun.
Di sanalah penulis banyak mendapatkan orang-orang berbicara tentang di luar kapasitasnya. Khususnya dalam hal agama. Terkadang penulis mendapatkan orang-orang yang belajar agama modal terjemahan, bahasa Arab tidak bisa, guru tidak ada, tapi hobinya mengkritik ulama. Inilah yang diistilahkan oleh Syaikhona Khalil dengan “telur-telur yang berkokok”. Baru saja keluar dari pantat ayam sudah mencoba berkokok. Baru mulai belajar ana-anta, sudah bisa berkata ini-itu. Baru ikut pengajian dua kali, mengkritik sudah ahli. Dengan ilmunya yang sedikit itu, pede-nya tak karuan. Fenomena inilah yang dalam ilmu psikologi disebut dengan Dunning-Kruger Effect.
Dunning-Kruger Effect
Mengutip definisi dari Encyclopedia Britannica, Dunning-Kruger Effect adalah suatu fenomena di mana seseorang keliru menilai kemampuannya sendiri sehingga merasa dirinya lebih kompeten daripada orang lain. Teori Dunning-Kruger Effect ini pertama kali dicetuskan oleh David Dunning dan Justin Kruger, dua orang profesor psikologi sosial dari Cornell University pada tahun 1999. Setelah melalui proses riset, mereka berdua sampai pada kesimpulan bahwa orang yang tidak memiliki ilmu atau kemampuan justru memiliki tingkat ke-pede-an yang tinggi. Bahkan cenderung berlebihan dalam menilai keahlian yang ia miliki.
David Dunning menjelaskan dalam salah satu makalahnya, bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan seseorang terjebak dalam Dunning-Kruger Effect:
Pertama, David Dunning menyebutnya dengan istilah “Double Burden” atau “Beban Ganda”. Maksudnya, ketidaktahuan seseorang menyebabkan seseorang tersebut tidak tahu ketidakmampuan dirinya. Bebannya double. Sudah tidak tahu kalau ia tidak memiliki ilmu, tidak sadar kalau ia bukan orang berilmu. Malah berkoar-koar ke sana ke mari. Penulis jadi teringat qaul Imam Ibnu Hajar Al ‘Asqalany dalam kitab Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari:
“إذا تكلّم المرء في غير فنّه أتى بالعجائب”
“Jika seseorang berbicara tentang sesuatu di luar keahliannya, ia akan mendatangkan hal-hal yang aneh.”
Kedua, kurangnya metakognisi. Apa itu metakognisi? Metakognisi adalah proses mengamati dan mengendalikan aktivitas kognitif yang berlangsung dalam diri kita sendiri. Seseorang yang terjebak dalam Dunning-Kruger Effect hanya bisa mengevaluasi diri berdasarkan pandangannya yang subjektif itu. Karena bersifat subjektif, dia menilai dirinya sendiri dengan penilaian yang menyenangkan hatinya. Padahal pada hakikatnya tidak demikian.
Jadi, bagaimana agar seseorang tidak lagi terjebak dalam Dunning-Kruger Effect? Maka satu-satunya cara mengatasinya adalah dengan terus belajar dan terus memaksa diri meng-upgrade kemampuan. Dibarengi dengan belajar untuk menanamkan sifat tawadhu’ dalam hati. Hindari merasa puas dengan ilmu yang sudah dimiliki. Dan juga harus menahan diri untuk tidak membahas hal-hal di luar kompetensinya.
Teruslah menyelam, sehingga ketika mulai mencapai kedalaman, ia menyadari bahwa lautan ilmu begitu luas, dan ia hanyalah salah satu teri di antara banyaknya paus di dalamnya. Imam Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“…وما تَواضَعَ أحَدٌ للَّهِ إلَّا رَفَعَهُ اللَّه.”
“…Dan tidaklah seseorang tawadhu’ karena Allah melainkan Allah angkat derajatnya.”
Dan menukil salah satu bait syair milik Syaikh Ahmad Bin Muhammad Al Wasithi:
كم جاهل متواضع # ستر التواضع جهله
Betapa banyak orang bodoh yang tawadhu’ # Ke-tawadhu’-annya menutupi kebodohannya.
Serial Literatura #7 oleh M. Fataya Alwuwahhid
Literatura edisi sebelumnya: Sebenarnya kita tidak sedang menghadapi degradasi moral
Tur Sahara mulai dari 900-an (kalo ga ikut PPI bisa habis 1000+ fyi) daftar di sini!