Kontemplasi Diri di Balik Nama Bulan Ramadan

Kontemplasi Diri di Balik Nama Bulan Ramadan

Muslim mana yang tidak merindukan bulan Ramadan? Kalaupun ada, perlu dipertanyakan validitas keislamannya. Bagaimana tidak, Ramadan ialah bulan yang dipilih Allah Swt. sebagai waktu diturunkannya Al Qur’an kepada manusia terpilih (Rasulullah saw.) dan waktu pelaksanaan rukun Islam keempat, yakni puasa Ramadhan yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Penantian panjang setiap tahun dalam menyambut Ramadan bukanlah tanpa alasan, melainkan ia menjadi waktu paling berharga yang memberikan ruang terbaik bagi hamba untuk menikmati kedekatan dengan Sang Pencipta. Bukankah mendekatkan diri kepada Allah Swt. bisa dilakukan kapan pun? Tentu saja. Akan tetapi, Ramadan memiliki suguhan khusus yang tidak ditemukan dan dilaksanakan di bulan-bulan lain. Suguhan itu tidak lain ialah kewajiban berpuasa untuk menahan diri dari makan, minum, seks, dan perilaku berselera rendah lainnya. Berpuasa membantu seorang muslim dalam mengendalikan diri dari sifat-sifat tercela, sehingga ia sibuk dengan mematangkan spiritual, meluruskan akal pikiran, serta menggerakkan jiwa dan raga untuk meneladani sifat-sifat Allah Swt. dalam rangka mencapai derajat ketakwaan. Suatu derajat spiritual tertinggi yang paling didambakan setiap orang, yang teraktualisasikan dalam kombinasi sikap cinta, takut, dan segan kepada Allah Swt. Demikianlah nilai-nilai Ramadan di mata muslim sejati, sehingga kehadirannya akan selalu dinanti, dan kepergiannya selalu ditangisi.

Penamaan Bulan Ramadan

Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Tahdzib al Asma wa al Lughat menuturkan 3 pendapat tentang pengertian nama Ramadan:

Pertama, Ramadan berasal dari al ramdl (الرمض) yang berarti batu panas yang terkena sinar matahari. Orang Arab biasa menamakan sesuatu menurut kondisi. Perintah puasa pertama kali turun pada musim panas sehingga bulan puasa dinamakan bulan Ramadan. Namun, dalam hal ini ada golongan yang menyanggah pendapat tersebut, bahwa panas yang dimaksud tidak ada hubungannya dengan panas matahari saat musim panas. Sebab bulan Ramadan tidak selalu datang pada musim panas saja, akan tetapi bergulir sesuai perputaran bulan terhadap bumi berdasarkan perhitungan kalender Hijriah. Adapun Ramadan bulan yang panas memiliki makna bahwa semua dosa manusia terbakar habis selama ia beribadah kepada Allah Swt. dan mengerjakan amal saleh. Ada juga pendapat yang memaknai “panas” ini sebagai panasnya rasa lapar dan dahaga yang menimpa orang yang berpuasa.

Kedua, asal kata Ramadan adalah al ramidl (الرامض) yang berarti hujan atau awan yang turun ketika akhir musim panas. Ramadan dalam pendapat kedua ini memiliki arti bulan pembersihan dosa umat Nabi Muhammad saw. yang senantiasa beribadah semata-mata mengharap keridaan Allah Swt. Pembersihan dosa dikiaskan dengan hujan yang turun membersihkan kotoran dari badan manusia sehingga tiada lagi noda yang tersisa.

Ketiga, kata Ramadan diambil dari ungkapan orang Arab dahulu, رمضت النصل yang berarti mengasah tombak dengan dua batu menjadi tajam. Orang Arab pada masa itu memiliki kebiasaan mengasah senjata mereka sebagai persiapan berperang di bulan Syawal. Dalam kaitannya dengan ibadah puasa, pendapat ketiga ini memaknai Ramadan sebagai momen pengasahan keimanan dengan berpuasa di siang hari, menghidupkan malam dengan beribadah, dan memperbanyak amal saleh lainnya dalam rangka mendekatkan diri dan menggapai derajat ketakwaan kepada Allah Swt.

Dengan demikian, berdasarkan ketiga pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa bulan Ramadan ialah bulan yang Allah Swt. pilih sebagai momen bagi umat muslim untuk mengasah keimanan, membakar dosa, membersihkan jiwa dan pikiran dari kemaksiatan, dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya dan meraih derajat ketakwaan dengan berpuasa dan memperbanyak amal saleh semata mengharap keridaan-Nya.

Persiapan Menyambut Bulan Ramadan

Seseorang yang akan dikunjungi tamu besar pasti mempersiapkan segala sesuatunya dengan sungguh-sungguh, berharap jamuannya sempurna dan mampu memuaskan tamu yang datang. Begitu pula Ramadan, ia menjadi tamu tahunan bagi seluruh umat muslim. Bedanya, tamu bernama Ramadan ini justru yang menyuguhkan aneka keistimewaan berupa keberkahan Lailatul Qadr, pahala ketakwaan dalam keutamaan puasa, spirit ibadah, dan kesalehan sosial/bermuamalah. Tamu yang seharusnya dijamu justru membawakan “oleh-oleh” untuk menjamu tuan rumahnya. Bagaimana bisa seorang muslim mengabaikan jamuan tamu besar yang dipilih Allah Swt. untuk mendarat di kehidupannya selama 1 bulan penuh, yang hanya singgah sekali dalam setahun? Ramadan sebagai tamu agung yang menyuguhkan jamuan tentu tidak membutuhkan penyambutan, sebab dengan sendirinya ia akan disambut mulia oleh para perindunya. Permasalahan terletak pada umat muslim sebagai tuan rumah, akankah ia sungguh-sungguh memanfaatkan jamuan sehingga memperoleh keutamaan Ramadan dengan maksimal? Ataukah Ramadan akan singgah begitu saja tanpa ada yang diraih dari “oleh-oleh”nya, sehingga kepergiannya hanya menyisakan rasa sesal?

Berdasarkan ulasan di atas, seorang muslim dalam menikmati suguhan bulan Ramadan memerlukan persiapan agar dapat meraih keutamaan dengan maksimal. Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar, M.A. dalam bukunya “Kontemplasi Ramadan” menuturkan setidaknya lima upaya mempersiapkan Ramadan yang dapat mengantarkan pada ketaakwaan sejati.

Pertama, persiapan mental dan batin untuk memperkuat keyakinan bahwa Ramadan kali ini lebih baik secara kuantitatif dan kualitatif di banding Ramadan sebelumnya.

Kedua, persiapan cost Ramadan berupa manajemen waktu agar tetap seimbang dalam menjalankan aktivitas dan kewajiban sehari-hari di samping memperbanyak ibadah dan amal saleh.

Ketiga, meminta maaf dan berjiwa besar untuk memaafkan kepada sesama manusia, terutama keluarga dan sanak kerabat. Karena sejatinya mereka juga memiliki andil dan peran yang besar bagi kelangsungan hidup seseorang.

Keempat, menyambut kedatangan bulan Ramadan dimulai dari bulan Rajab dan berlanjut hingga Sya’ban. Rajab dan Sya’ban merupakan bulan yang ideal sebagai masa transisi untuk menyiapkan pangkalan Ramadan dalam hati seorang muslim. Selain dimanfaatkan sebagai persiapan dengan memulai bertaubat, meningkatkan perbaikan ibadah fardu, melengkapinya dengan ibadah sunah; bulan Rajab dan Sya’ban juga baik dimanfaatkan untuk mengqada hutang puasa Ramadan sebelumnya, serta me-refill otak dengan wawasan keislaman untuk memupuk keimanan.

Kelima, meningkatkan ibadah sosial dengan bersilaturahmi kepada keluarga dan sanak saudara, menziarahi ahli kubur mereka, bersedekah kepada yang membutuhkan, dan kegiatan bakti sosial lainnya. Karena ibadah tiada bermakna tanpa kesalehan sosial, di mana keduanya merupakan pilar utama keberkahan Ramadan.

Ramadan Bulan Kontemplasi

Arti kata Ramadan dalam berbagai tinjauan; waktu (musim panas), sosial (adat orang Arab), dan tasawuf (momen pembakaran dosa), mengantarkan kepada satu makna bahwa bulan Ramadan adalah momentum kontemplasi bagi seorang hamba dengan berpuasa sebagai latihan spiritual untuk meneladani sifat-sifat Allah Swt. dan sarana membakar hawa nafsu yang selama ini mendominasi kendali jiwa dan raga. Kontemplasi sendiri berdasarkan Oxford Languages ialah the action of looking thoughtfully at something for a long time, sebuah tindakan dengan perhatian penuh pada sesuatu untuk waktu yang lama. Puasa Ramadan merupakan upaya mendidik jiwa dengan perhatian penuh untuk merasakan ketenangan batin dan kebahagiaan rohani. Puasa membantu mengalihkan pikiran dari urusan dunia kepada perenungan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Kendati demikian, ketenangan batin tidak hanya sampai di situ, tetapi bagaimana seseorang juga rida dan bersahabat dengan kenyataan apapun yang dialami setiap harinya. Adakalanya saat di mana manusia memiliki beban rasa berdosa kepada Allah Swt. dan rasa bersalah kepada sesama. Dinamika kehidupan yang demikian menemukan tempat peristirahatannya di bulan Ramadan, bulan yang keberkahannya mampu membakar hangus dosa-dosa manusia terhadap Allah Swt. maupun terhadap sesama, seiring dengan amal kebajikan yang dilakukan selama Ramadan.

Salah satu momen terbaik dan esensi paling krusial dalam memaknai Ramadan ialah peningkatan kontemplasi (perenungan) tentang anugerah dan penderitaan. Katakan saja, sejak lahir hingga Ramadan saat ini usia seseorang telah mencapai 2 dekade. Betapa banyak anugerah Allah Swt. yang terlimpah untuknya, tiada terhingga kalkulasinya, dan tidak pula tertukar bagian yang menjadi porsinya. Sementara rasa syukur yang ada belum berbanding lurus dengan anugerah yang telah diterima. Malah kerap dikufuri, merasa dikurangi, ingin apa yang orang lain miliki, yang berujung pada rasa dengki dan iri hati. Betapa banyak pula penderitaan yang padahal masih Allah Swt. batasi dalam kadar kemampuannya, sementara rasa sabar yang ada belum mampu meredam amarah, rasa kecewa berlebih, bahkan ketidakridaan terhadap takdir Allah Swt.

Di samping perenungan tentang anugerah dan penderitaan, Ramadan yang mengandung makna “pembakaran dosa” mengantarkan manusia kepada perenungan untuk pengendalian diri. Aspek pancaindra, hati, dan pikiran menjadi objek pengendalian agar terhindar dari hal-hal negatif yang dapat memperkeruh kesucian bulan Ramadan. Lisan yang kerap mengucapkan kata-kata kotor, dusta, dan hal lain yang berpotensi menyakiti dan menzalimi sesama daripada membaca Al Qur’an; mata yang masih gemar memandang kemaksiatan daripada menundukkan pandangan; telinga yang lebih suka mendengarkan “kicauan” gibah daripada nasihat/kalam hikmah; tangan dan kaki yang masih enggan membantu orang dan bermalas-malasan untuk beranjak ibadah; hati yang banyak menyimpan penyakit iri, rasa meninggi, dan tidak rida dengan takdir Ilahi; serta pikiran yang penuh dengan prasangka buruk dan bercitra negatif. Puasa dalam perspektif fikih sudah absah ketika memenuhi syarat dan rukunnya. Namun, dalam perspektif tasawuf, pahala dan nilai keutamaannya akan bermasalah jika tidak disertai dengan pengendalian diri terhadap hal-hal negatif yang telah disebutkan tadi.

Indikator Kelulusan Ramadan

Puasa menjadi satu-satunya amal manusia yang diistimewakan dan dikhususkan untuk Allah Swt. sebagaimana dalam penggalan sebuah riwayat:

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ له إلَّا الصَّوْمَ، فإنَّه لي وأنا أجْزِي به…

Setiap amal manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena ia hanyalah untuk-Ku dan Akulah yang akan memberikan langsung ganjarannya… (H.R. Bukhari)

Dengan artian, bahwasanya puasa merupakan amalan berbentuk niat dalam hati yang hakikatnya hanya diketahui oleh Allah Swt.  dan orang yang berpuasa. Sehingga pahalanya tidak bisa dijadikan tebusan, melainkan Allah Swt. sendiri yang menabungnya untuk orang yang berpuasa dan memberikan langsung pahalanya. Apakah puasa dan ibadah Ramadan pada tahun ini diterima oleh Allah Swt., hanya Dia yang Maha Tahu. Namun, setidaknya ada beberapa indikator diterimanya ibadah puasa yang disebutkan oleh Syekh Muhammad Hussein Yacoub dalam kitab Asrar al Muhibbin fii Ramadlan sebagai berikut:

  1. Terbukanya pintu kebaikan bagi hamba sehingga ia menjadi pecinta ibadah dan senantiasa menyegerakannya, dan tertutupnya pintu kemaksiatan sehingga ia membenci dosa dan senantiasa berpaling darinya.
  2. Konsisten dalam menjalankan ibadah yang dilaksanakan selama Ramadan, bahkan setelah Ramadan usai.
  3. Menahan diri untuk tidak kembali pada dosa yang telah lalu.
  4. Merasakan rahmat dari Allah Swt. bahwa ia melakukan puasa semata berharap diterima oleh-Nya, tanpa berbangga dengan amalan yang telah ia lakukan selama Ramadan.
  5. Berpuasa sunah enam hari di bulan Syawal.

Sebagai penutup, penulis menambahkan salah satu indikator terpenting yang erat kaitannya dengan kesalehan sosial dan kemanusiaan, sebagaimana yang pernah disampaikan oleh Almaghfurlah K.H. Abdurrahman Wahid, bahwa “Orang berpuasa pada hakikatnya membuat sebuah pekerjaan yang besar; bagaimana mengokohkan ikatan-ikatan sosial kita sebagai manusia”.

Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop : https://ppimaroko.or.id/ppi-shop/#pu-pay

Saksikan video-video keseruan even PPI Maroko : https://www.youtube.com/@PPIMarokoOfficial

Tag Post :

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *