Serial Literatura #2: Godaan Hidup yang Boros di Maroko
Hidup di negeri orang selalu membawa pengalaman baru, baik berupa tantangan maupun kenikmatan. Sebagai mahasiswa Indonesia yang merantau ke Maroko, kami disuguhkan dengan dua hal yang memikat hati sekaligus menguji iman: keindahan budaya dan godaan gaya hidup boros.
Maroko, negeri seribu benteng adalah tempat di mana tradisi dan modernitas berpadu dengan sempurna. Dari pasar tradisional di Medina Qadima yang menggoda dengan barang-barang unik hingga kafe-kafe modern menawarkan suasana eksklusif. Setiap sudut kota seperti Rabat, Fes, atau Casablanca menyimpan daya tarik tersendiri. Tak jarang, daya tarik ini menjerat kita dalam lingkaran konsumsi yang tanpa disadari menguras kantong pelajar Indonesia di sini.
Termasuk saya, berikut se-fruit cerita saya menghadapi godaan gaya hidup boros di Maroko
Awal Mula Terjebak dalam Gaya Hidup Boros
Ketika pertama kali saya tiba di Maroko, Saya terpesona oleh segala sesuatu yang ditawarkan negara ini. Di pasar tradisional, barang-barang seperti teko khas Maroko, kain bercorak tradisional, kerajinan tangan dari tembaga dan jellabah yang menggoda untuk dibeli. Di sisi lain, restoran dan kafe menawarkan berbagai hidangan lokal, seperti tajine dan kuskus, yang sukar ditolak.
Awalnya, semua pengeluaran itu terasa wajar. Saya berpikir, “Toh, ini pengalaman baru. Bukankah wajar untuk menikmati suasana Maroko sepenuhnya?” Namun, tanpa disadari, kebiasaan ini berubah menjadi gaya hidup. Mengunjungi kafe setiap sore, membeli barang-barang kecil yang “tidak terlalu mahal,” atau mengikuti teman-teman mencoba restoran baru mulai menjadi rutinitas yang sulit dihentikan.
Dampak yang Mulai Terasa
Godaan hidup boros ini tidak hanya menguras isi dompet, tetapi juga berdampak pada banyak aspek lain dalam hidup saya. Bulan-bulan awal terasa menyenangkan, tetapi perlahan, tekanan finansial mulai terasa. Uang bulanan yang seharusnya cukup hingga akhir bulan sering kali habis sebelum waktunya dan akhirnya nunggak.
Beberapa kali saya harus meminjam uang dari teman atau menunda kebutuhan penting hanya karena pengeluaran yang tidak terencana.Selain itu, gaya hidup boros juga mulai merampas fokus dan waktu. Banyak waktu yang terbuang untuk hal-hal konsumtif, seperti mencari tempat nongkrong baru atau berbelanja barang-barang yang sebenarnya tidak saya butuhkan.
Sementara itu, waktu untuk belajar atau memperdalam ilmu agama, yang menjadi tujuan utama saya di sini, terasa semakin berkurang. Boros ternyata bukan hanya soal uang, tetapi juga soal prioritas hidup. Saya mulai merasa bahwa saya kehilangan arah, terseret oleh arus gaya hidup yang tidak mencerminkan siapa diri saya sebenarnya.
Belajar dari Kesalahan
Kesadaran akan dampak buruk gaya hidup boros ini tidak datang dengan mudah. Suatu hari, setelah melihat catatan keuangan yang kacau balau, saya tersadar bahwa saya harus melakukan perubahan.
Saya mulai belajar untuk hidup lebih sederhana, memprioritaskan kebutuhan daripada keinginan. Mengunjungi pasar tradisional tetap menjadi pengalaman yang menyenangkan, tetapi sekarang saya lebih selektif. Alih-alih membeli barang setiap kali melihat sesuatu yang menarik, saya mulai bertanya pada diri sendiri, “Apakah ini benar-benar saya butuhkan, atau hanya sekadar keinginan sesaat saja?”
Hal yang sama berlaku untuk makanan dan hiburan. Daripada menghabiskan waktu di kafe atau restoran mewah, saya mulai menikmati kesederhanaan dengan secangkir attai bi na’na’ (teh daun mint) di rumah sambil berbincang dengan teman. Bukan hanya lebih hemat, tetapi juga lebih bermakna.
Lebih dari itu, hidup sederhana juga membawa kedamaian dalam hati. Saya mulai fokus pada tujuan utama saya di sini “belajar dan memperdalam pengalaman hidup” daripada terjebak dalam perlombaan mengikuti standar sosial yang tidak relevan dengan diri saya.
Pada akhirnya, godaan untuk hidup boros adalah ujian yang harus dihadapi siapa pun, terutama ketika berada di lingkungan baru. Namun, dengan kesadaran dan pengendalian diri, kita dapat memilih untuk menjalani hidup yang lebih bijak, menghargai momen-momen sederhana, dan menemukan kebahagiaan sejati yang tidak bisa dibeli dengan uang.
Hidup di Maroko adalah pelajaran berharga, bukan hanya tentang budaya dan bahasa, tetapi juga tentang bagaimana menjalani hidup dengan penuh kesadaran. Dari sini, saya belajar bahwa kesederhanaan bukanlah kekurangan, melainkan sebuah kekuatan.
Literatura #2 oleh Hafiz Ad Din Tj
Baca Literatura #1: Komunitas Alumni di Lingkungan PPI Maroko
Saksikan Recap Ormaba Kemenag 2024