Mpok Devi, begitu panggilan akrabnya, Pemuda Pelopor Nasional 2010 Bidang Seni Budaya & Pariwisata Kemenpora dan juara II Instruktur Tari Terbaik Nasional Kemendiknas 2011 ini kembali mengunjungi Maroko, setelah pada pada 2011 datang bersama Rombongan dari pemerintah Jabar, kali ini ia bersama Sanggar seni tradisonal Indra Kusuma yang dipimpinnya berencaan melakukan muhibah seni dan budaya Indonesia di beberapa kampus di Maroko.
Ditemui langsung oleh Kusnadi El-Ghezwa selaku pimpinan redaksi buletin Sayyidul Ayyam PPI Maroko dengan didampingi mbak Yeti, Ia dengan ramah bercerita tentang pengalamannya malang melintang di dunia tari tradisional.
Berikut petikan wawancaranya:
Kusnadi & Yeti (KY): Bisa diceritakan sedikit tentang biografi anda?
Mpok Devi (MD): Nama lengkap saya Deviana Nur Indrawati. Latar belakang pendidikan saya S1 dan S2 sejalur linear, S1 saya elektro S2 juga dengan konsentrasi di bidang kontrol industri. Sebenarnya tidak nyambung kenapa orang elektro bisa masuk ke dunia tari. Tapi Alhamdulillah tetap diberi kesempatan untuk bisa mengamalkan ilmu. Jadi sambil mengurus sanggar, saya juga mengajar di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa di Cilegon.
KY: Sejak kapan sih Mbak perkenalannya dengan dunia seni tari tradisional?
MD: Pertamakali awalnya dari hobi, dan memang darah seni di turunkan dari ibu. Jadi sejak umur tiga tahun saya sudah mulai belajar nari. Pertama basicnya Sunda yang kebetulan ibu saya dari Bandung. Semenjak itu perjalanan seni saya itu dimulai. Dari belajar, menjadi siswa ahirnya menjadi pelaku. Jadi penari, menjadi instruktur, pelatih, kemudian koreografer.
Itu perjalanan karir di bidang seni, terus seperti itu, mulai dari umur tiga tahun sampai dengan saya kuliah tidak lepas dari seni. Saya belajar menari, saya kuliah sambil memenej sanggar, beriringan.
KY: Kalau Sanggar Indra Kusuma kapan didirikan?
MD: Sebenarnya sanggar Indra Kusuma sudah dirintis orangtua sejak tahun 1974, kita berdiri pada tanggal 5 Mei sampai dengan sekarang sudah 38 tahun. Hebatnya suatu sanggar itu ada regenerasinya, saya mulai regenerasi itu sebenarnya dari SMA tapi ternyata saya kurang support seperti sekarang ini jadi akhirnya baru mulai terjun total di Indra Kusuma itu di tahun 2006 akhir, istilahnya jadi PNSnya Indra Kusuma 24 jam.
Indra kusuma itu ada arti dan maknanya juga; IN-nya itu inovatif, D itu disiplin, RA-nya itu rasional, lalu KU-nya itu kuat, SU-nya itu sukses, MA-nya itu mandiri. Jadi kita tidak menerima bantuan setiap bulan misalnya dari dinas terkait manapun, kita semua mandiri. Bagaimana kita mempunyai kostum di sanggar ini? bagaimana kita punya audio visual sendiri? semuanya mandiri tidak ada bantuan. Jadi Manya itu benar-benar berdiri dikaki kita sendiri.
KY: Tarian apa aja yang diajarkan disanggar?
MD: Tarian di sanggar itu semuanya tari tradisional, sunda itu dua yang saya ajarkan, Sunda Klasik, Sunda Jaipongan, lalu Betawian juga Jawa. Jadi kurikulum di tempat saya tetap kurikulum pendidikan formal yang saya adopsi ke pendidikan non-formal. Nantinya ada ujian kenaikan tingkatnya enam bulan sekali, kalau seumpamanya siswa itu ujian nilainya tidak bagus ahirnya dapat C, maka ia harus her atau remedial.
KY: Muridnya sekitar berapa sekarang?
MD: Yang aktif sekitar 100 lebih, karena kita latihannya weekend saja Jumat Sabtu Minggu agar tidak berbenturan dengan sekolah anak-anak. Awalnya dari tahun 2006 saya merintis benar-benar sendiri, yang jadi kuli saya sendiri, guru saya sendiri, peran EO (Event Organiser) saya sendiri. Karena saya punya prinsip begini, yang namanya berwirausaha itu harus bisa kita kerjakan sendiri, jadi nggak bisa yang suruh sana, suruh sini. Kalo kita mau jadi wirausaha satu orang tidak cuma harus bisa lima atau sepuluh pekerjaan, satu orang harus bisa menangani untuk dua puluh pekerjaan, itu prinsip saya dalam berwirausaha. Lalu di sanggar anak-anak biasa melakukan aktifitas sendiri misalnya bikin mi sendiri, makan bareng-bareng, cuci piring masing-masing seperti itu. Saya mengajarkan open manajemen. Jadi suatu saat jika lulus dari sanggar, saya lebih bangg jika mereka berprestasi dengan membuat sanggar baru dan sebagainya.
KY: Sanggar sendiri sudah tampil keluar negeri dimana saja, Mbak?
MD: Kalau tampil ke luar negeri biasanya hanya perwakilan saja, misalnya perwakilan dari pemuda pelopor ya pastinya saya ikut. Misalnya diajak oleh gubernur Jabar ke Amerika, Singapura dll. Tetapi untuk yang bener-bener sendiri ya sekarang ini, jadi EO sendiri, pencari dana sendiri, koreografernya juga ,jadi kulinya juga, merangkap tukang fotonya, menyiapkan sound systemnya, yang jadi direktur, semuanya sendiri itu memang baru sekarang. Biasanya Cuma duduk manis kalau sekarang tidak, tapi itu suatu pengalaman tersendiri bagi saya.
KY: Kalau harapan untuk sanggar ke depannya Mbak?
MD: Tidak menutup kemungkinan agar tahun depan bisa kesini lagi untuk mengenalkan budaya Indonesia di sekolah-sekolah di Maroko , saya ingin setelah mahir mereka kita undang ke Indonesia untuk di tampilkan, agar orang Indonesia terbuka matanya untuk bisa lebih menghargai seni dan budayanya sendiri. Kareena pengalaman saya yang datang ke sanggar itu orang Jerman, orang India, nah kemana orang Indonesianya? giliran ada klaim dari ‘tetangga’ Cuma bisa teriak-teriak. Dimana bangsa ini ketika diminta melestarikan budayanya sendiri?.
KY: Kalau pesan yang ingin di sampaikan kepada generasi muda, khususnya yang di Maroko ini,Mbak?
MD: Jadi kalau menggeluti bidang seni tradisional itu memang harus punya idealisme, karena seni tradisional itu ya tidak profitable. Tapi memang ada kepuasan tersendiri jika bisa mempersembahkan sesuatu untuk bangsa. Dan saya udah aja Lillahi ta’ala dan Alhamdulillah sanggar bisa tetap jalan. Di sanggar saya sangat tekankan pengembangan karakter sejak dini, artinya saya haruskan mereka cium tangan pada yang lebih tua, kalau waktunya makan harus menunggu siapa yang dituakan disitu,dsb. Pokoknya kita semua seperti keluarga di sanggar. Ini teman-teman yang saya bawa kesini rata-rata sudah di sanggar sejak TK.
Dan memang kesuksesan itu tidak pernah ada tanpa support dari orang tua. Ayah dan ibu saya didikannya keras, tapi ini yang melecut semangat saya untuk tetap mengurus sanggar tanpa melupakan kuliah S2 saya.