Waqaf dan Ibtida’ dalam Ilmu Al-Qur’an
oleh: Royya Nahriyyah*
Waqaf dan ibtida’ merupakan salah satu ilmu Al-Qur’an yang terpenting bagi para pembaca ataupun penghafal Al-Qur’an. Sudah sepatutnya kita mengetahui dan mengamalkannya. Karena keduanya secara tidak langsung menafsirkan makna dari ayat-ayat Al-Qur’an. Manakala keduanya sudah diketahui dan difahami, sudah pasti tidak ada kesalahan dalam menentukan tempat berhenti dan memulai bacaan Al-Qur’an. Waqaf secara etimologi bermakna menahan atau menghentikan. Adapun secara terminologi bermakna memutus kalimat dengan kalimat sesudahnya disertai nafas dengan niat untuk mengulangi kembali bacaan. Setiap pembaca Al-Qur’an berbeda-beda dalam hal waqaf. Sebagian ada yang menjadikan waqaf pada pertengahan ayat atau pada akhir ayat sesuai dengan panjang nafasnya. Namun yang lebih dominan adalah berhenti pada akhir ayat.
Ali bin Abi Thalib ketika ditanya mengenai makna tartil dalam firman Allah: “و رتل القران ترتيلا.”. Maka beliau menjawab “تجويد الحروف و معرفة الوقوف”. (membaguskan bacaan huruf-hurufnya dan mengetahui tempat berhentinya bacaan pada rangkaian kata yang sesuai). Dari jawaban Ali bin Abi Thalib inilah dalil diwajibkannya untuk mempelajari waqaf dan ibtida’. Tidak ada hukum wajib atau haram berwaqaf di dalam Al-Qur’an (pembaca berdosa jika tidak melakukannya), kecuali dengan kesengajaan dan menimbulkan makna yang tidak sesuai. Kewajiban dan keharaman dikembalikan kepada maksud dari para pembaca, tetapi yang disunnahkan adalah berhenti pada setiap akhir ayat, dan makruh untuk meninggalkannya. Dalil ini terdapat dalam kitab Al-Jazariyyah karya Abu Khair Syamsuddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin ‘Aly bin Yusuf Al ‘Umry Ad-Dimasyqy, yang dikenal dengan Ibn Jazary: “وليس في القران من وقف واجب، ولا حرام غير ما له سبب.”
Macam-macam waqaf terbagi menjadi empat bagian, antara lain: Satu Waqaf Idhtirary, yaitu berhenti karena terpaksa. Jika seorang qari menghentikan bacaan dikarenakan pendeknya nafas, bersin, batuk, atau karena lupa, maka qari wajib mengulangi bacaan di tempat ia berhenti dan menyambungnya kembali. Dua Waqaf Intidzary, waqaf ini biasanya digunakan oleh mereka yang mempelajari ilmu qiroat, yaitu menghentikan bacaan pada satu macam bacaan yang dimana pada ayat atau kata tersebut bisa dibaca dengan beberapa macam bacaan, dan hukumnya boleh. Tiga Waqaf Ikhtibary, berhentinya bacaan pada ayat-ayat tertentu dikarenakan untuk menguji siswa yang sedang belajar Al-Qur’an. Diperbolehkan pada saat dibutuhkan saja. Empat Waqaf Ikhtiyary, qari menghentikan bacaan karena kemauan sendiri tanpa sebab darurat apapun.
Waqaf idhtirary dan waqaf ikhtyary terbagi lagi menjadi empat macam: Satu Waqaf Tam (sempurna), yaitu berhenti pada kalimat yang sudah sempurna maknanya, dan tidak ada kesinambungan antara ayat sebelum dan sesudahnya, baik lafadz atau maknanya. Biasanya waqaf ini terdapat pada akhir ayat. Dua Waqaf Kafy (cukup), yaitu berhenti pada akhir kalimat yang sudah sempurna maknanya atau masih berhubungan dengan kalimat selanjutnya, tapi tidak secara lafadznya. Waqaf ini dominan terdapat pada pertengahan ayat. Tiga Waqaf Hasan (baik), berhentinya bacaan pada akhir kalimat yang sudah sempurna maknanya dan masih berkesinambungan dengan kalimat setelahnya baik secara lafadz ataupun makna. Cotoh waqaf hasan: الحمد لله. Kemudian berhenti, walaupun الحمد لله sudah sempurna maknanya, tetapi karena masih berkesinambungan makna dan lafadznya dengan kalimat sesudahnya, yaitu رب العالمين. Maka diharuskan mengulangi bacaan dari awal. Empat Waqaf Qabih (buruk), berhenti pada kalimat yang belum sempurna, dan bisa menimbulkan makna yang tidak sesuai dengan makna yang sebenarnya. Contoh: berhenti pada mudhaf tanpa menyebutkan mudhaf ilaihnya, berhenti pada fiil tanpa menyebutkan failnya. Hukumnya tidak boleh kecuali terpaksa. Adapun ibtida’ adalah permulaan bacaan setelah waqaf (akhir ayat) atau setelah menghentikannya (pertengahan ayat). Qari diharuskan untuk memperhatikan makna dari ayat-ayat yang dibaca, sehingga bisa memulai bacaan dengan benar. Macam macam ibtida’ hampir sama dengan macam-macam waqaf, di antaranya ibtida’ tam, ibtida’ kafy, ibtida’ hasan, ibtida’ qabih, dan ibtida’ ikhtibary. Salah satu contoh tidak diperbolehkannya ibtida’ adalah pada mudhof ilaih, pada kata “al waswas” dalam ayat : من شر الوسوس الخناس.
Aturan waqaf dan ibtida’ yang ditetapkan ini adalah semata-mata untuk menjaga keontetikan agar tidak merusak makna Al-Qur’an. Untuk lebih lengkap dan jelasnya bisa dirujuk kembali kepada kitab kitab ilmu Tajwid dan ilmu Al-Qur’an.
Semoga bermanfaat.
*Penulis merupakan pelajar S1 jurusan Dirasat Islamiyyah di Ta’lim al-‘Atiq Imam Nafi’ Tangier. Penulis bisa dihubungi melalui akun FB: Royya Nahriyyah