Kisah Wahsy bin Harb: Cinta, Luka, dan Penebusan Dosa
Wahsy bin Harb, nama ini disebut sebagai lambang kebuasan dan keberanian. Wahsy artinya binatang buas, dan Harb artinya perang. Ia berasal dari Habasyah, masyhur karena kepiawaiannya dalam melempar tombak. Lemparannya hampir tidak pernah meleset. Ia merupakan budak salah satu pembesar kafir Kuraisy yang bernama Jubair bin Muth’im. Jubair sangat benci umat Islam, terlebih kepada Asadullah Sayyid Hamzah bin Abdul Mutholib, penyebab kematian pamannya saat perang Badar pada tahun kedua hijriah. Satu tahun setelah itu, bertepatan menjelang perang Uhud, ia mulai mengatur strategi untuk menuntut balas kematian pamannya.
Kepiawaian Wahsy dalam melempar tombak memunculkan garis seringai di wajah Jubair, tanda bahwa benang kusut mulai tertata rapi. Ia mulai melancarkan strategi pertamanya dengan menjanjikan kemerdekaan pada budak kulit hitam itu, cukup satu syarat, yakni dengan membunuh salah satu dari tiga pilar pasukan Islam, Rasulullah saw, Ali bin Abi Tholib ra, atau Hamzah bin Abdul Mutholib ra di perang Uhud beberapa pekan mendatang. Pada zaman itu seorang budak memang dipandang rendah dan hina. Mereka diperlakukan semena-mena, lupa bahwa budak pun juga manusia. Merdeka dan bebas tentu menjadi impian mereka sejak dulu. Maka tak heran jika Wahsy langsung tergiur dan mengiyakan tawaran majikannya.
Beberapa hari sebelum perang, Jubair membawa Wahsy kepada istri Abu Sufyan, Hindun binti Utbah, yang juga memiliki dendam kesumat atas kematian beberapa kerabatnya dalam perang Badar. Di sisi lain, Abu Sufyan adalah pemuka kafir Kuraisy yang akan memimpin mereka dalam peperangan kali ini. Hari-hari dihabiskan Hindun untuk menghasut budak itu, melampiaskan kebencian yang selama ini mencokol di hatinya, tak lupa dengan menjanjikan imbalan berupa perhiasan dan barang-barang berharga miliknya.
Sabtu, 7 Syawal tahun ketiga hijriyyah di gunung Uhud, 5 mil dari Madinah.
Saat perang meletus, Wahsy terus memerhatikan gerak-gerik ketiga pilar Islam yang ditargetkan oleh Jubair. Rasulullah saw berada dalam posisi yang mustahil ia capai karena dikelilingi oleh para sahabat, pun juga Ali yang selalu waspada terhadap medan sekelilingnya, dan yap, Hamzah, Wahsy memang mengetahuinya sejak dulu. Siapa yang tidak tahu sosok ini? Pahlawan pemberani yang mendapat julukan ‘Singa Allah’ saking ganasnya ia dalam memerangi musuh. Ia menebas leher siapapun yang menghalanginya tanpa rasa takut.
Menepi di balik pasukan, Wahsy mulai menghitung peluang agar tombaknya tepat sasaran. Sesaat setelah Hamzah rampung menghabisi Siba’ bin Abdul Uzza, Wahsy melemparkan tombaknya dengan sekuat tenaga, tepat mengenai perut Hamzah hingga tembus bagian belakang. Selangkah, dua langkah, sebelum akhirnya ia tersungkur dan dinyatakan gugur. Wahsy hanya diam menatapnya. Setelah memastikan bahwa ia benar-benar wafat, Wahsy mencabut tombaknya, bergegas kembali ke tenda, mulai berkemas untuk pulang.
Tugas telah usai dan target Jubair telah tercapai. Kaum muslimin mengalami kekalahan dengan total 75 syuhada’. Sesaat kemudian, Hindun datang memberikan berbagai hadiah yang ia janjikan, anting, gelang, hampir semua perhiasan miliknya. Perayaan atas dendam yang telah terbalaskan. Belum puas, Hindun mendatangi jasad Hamzah, memakinya, merobek perutnya dan memakan jantungnya.
Sepulang dari Uhud, Wahsy benar-benar dimerdekakan oleh Jubair. Namun sayang, kemuliaan yang ia dambakan sama sekali tak terwujud. Ia tetap rendah dan hina di mata orang-orang. Ia terbayang Bilal bin Rabbah, seorang budak sama sepertinya, yang pernah disiksa karena lebih memilih mempertahankan keislaman daripada menuruti perintah majikan. Namun sekarang ia telah merdeka dan bebas. Benar-benar bebas. Apalah daya, saat itu hidayah Allah belum hinggap di hati Wahsy.
Hari-harinya dipenuhi kegelisahan dan ketakutan. Agama Islam mulai menyebar dengan pesat. Tahun kedelapan hijriah, Makkah telah ditaklukkan oleh pasukan nabi, penduduknya berbondong-bondong menyatakan keislaman mereka. Terbesit di pikiran Wahsy, bagaimana jika ternyata ia diincar karena telah membunuh Hamzah? Akhirnya ia melarikan diri ke Tha’if. Namun sama saja, kota itu sudah dikuasai umat Islam. Ia termenung. Tiba-tiba datang seorang laki-laki sambil berkata kepadanya “Celaka kamu, Wahsy! Demi Allah! Sesungguhnya Muhammad tidak akan membunuh siapapun yang masuk Islam dan bersaksi dengan syahadatul haqq.” Tanpa pikir panjang, Wahsy bergegas menemui Rasulullah untuk masuk Islam.
Setelah dituntun mengucap syahadat, Rasulullah menatapnya, tentu beliau mengenali siapa orang di depannya ini. “Apakah engkau Wahsy yang telah membunuh pamanku Hamzah bin Abdul Mutholib?” tanya beliau. Wahsy mengangguk. “Duduklah dan ceritakan kepadaku, bagaimana kau membunuhnya?”
Sebenarnya Wahsy ragu untuk menjawab, tapi dengan berat hati akhirnya ia menceritakan kronologi bagaimana ia membunuh Sayyidina Hamzah lima tahun silam. Setelah Wahsy merampungkan ceritanya, seketika itulah Rasulullah berpaling, “celakalah kamu, wahai Wahsy! Sembunyikanlah wajahmu dariku. Aku tidak akan melihat wajahmu lagi setelah hari ini.” Tentu saja Wahsy sangat paham mengapa Rasulullah berkata demikian. Kematian Hamzah menjadi pukulan keras bagi kaum muslimin, terutama bagi Rasulullah sendiri.
Sejak hari itu, Wahsy tidak pernah menampakkan diri di hadapan Rasulullah. Hati nuraninya tak bisa berbohong, ia cinta sekaligus rindu pada Nabi, ia juga ingin duduk bersama beliau seperti para sahabat yang lain. Mendengarkan nasehat, mencurahkan keluh kesah. Tapi ia tahu bahwa dirinya tak layak. Dari kejauhan ia mencuri pandang. Berulang kali. Bahkan dari jarak ini pun ia merasakan belas kasih Rasul, cahaya ketulusan di wajahnya, cinta kasih di matanya. Wahsy memandang beliau lebih lama, lalu menangis dalam diam. Hanya demikianlah yang ia lakukan bahkan hingga Nabi wafat.
Pada masa kekhalifahan Abu Bakar As-Siddiq, terjadi perang Yamamah antara kaum muslimin dengan pasukan yang dipimpin oleh Musailamah Al-Kazzab, salah seorang nabi palsu. Disinilah Wahsy bertekad untuk menebus kesalahannya di masa lalu, juga membuktikan rasa cintanya kepada Rasulullah.
Digenggamnya erat-erat tombak yang dulu pernah ia gunakan untuk menghabisi Sayyidina Hamzah. Ia terus mengamati Musailamah. Dari kejauhan, ia melihat salah satu Anshor yang juga mengintai Musailamah sama seperti dirinya. Wahsy segera mengambil posisi yang strategis, dirasa cukup, ia melempar tombaknya dengan sekuat tenaga. Tepat sasaran. Tombak itu menembus dada Musailamah, membuatnya jatuh tersungkur ke tanah. Setelah itu datanglah salah satu Anshor yang ia lihat sebelumnya, mengibaskan pedang ke tubuh Musailamah. Nabi palsu telah gugur, tanda kemenangan berpihak pada kaum muslimin. Wahsy berseru, “hanya Allah yang tahu siapa yang membunuh Musailamah. Jika ternyata aku yang berhasil membunuhnya, maka aku telah membunuh sebaik-baik manusia, Hamzah bin Abdul Mutholib, juga seburuk-buruk manusia, Musailamah Al-Kazzab!” Hilang sudah kegundahan yang ia rasakan selma ini. Ia yakin, sebesar apapun dosa seorang hamba, asalkan mau bertaubat, ampunan Allah akan melingkupinya.
Saat kaum muslimin mengadakan ekspedisi ke Syam, Wahsy turut serta di dalamnya. Ia memutuskan untuk tinggal di Homs, Suriah, hingga akhirnya wafat di sana.
Demikianlah kisah Wahsy bin Harb, pelempar tombak ulung yang telah membunuh Hamzah bin Abdul Mutholib di perang Uhud. Ia bertaubat dan membuktikan kesungguhan cintanya kepada Nabi dengan membunuh musuh besar kaum muslimin di perang Yamamah.
Ibrah :
Memaafkan kesalahan orang lain memang sulit, ia berjasa menggoreskan luka yang tak kunjung membaik. Ingin bertegur sapa, tapi lidah ini terasa pahit. Bagaimana tidak, melihat wajahnya saja membuat bayangan hitam itu menari dalam pikiran, memulihkan ingatan tentang bagaimana goresan itu tercipta, membekas jelas di kepala.
Ikhlas membebaskannya dari apa yang telah ia perbuat, merupakan sesuatu yang ‘laa haula walaa quwwata illa billah’. Bagaimana tidak, belati yang ia lemparkan seakan menancap dalam hati dan kenang, menolak hengkang bahkan justru semakin dalam.
Di sisi lain, seseorang dengan hari-hari dihantui sesal dan cemas, hatinya terliputi gundah yang tak kunjung tuntas, ingin melarikan diri dari kepungan rasa bersalah, tapi pikirannya memberontak seakan berteriak: “TIDAK! Belenggu ini akan terus mengikatmu!” Pikirannya kalut. Ingin meminta maaf tapi nyalinya ciut. Ingin bersikap seolah biasa saja tapi hatinya masih tertaut.
Jika sudah seperti ini, hanya ada satu yang membuatnya berani melangkah maju, yakni cinta. Cinta membuat seseorang merasa aman di tengah kegelisahan, mendobrak sekat besar, melawan ketakutan.
Tonton Video Ramadan 2025 eksklusif di YouTube PPI Maroko
Mingguan Menulis: Jadilah Mayoritas yang Berkualitas