Tantangan Generasi Islam Era Revolusi Industri 4.0

Bila kita merenung sejenak, terkait kontribusi umat Islam di era Revolusi Industri 4.0 ini, kita akan mengernyitkan dahi sambil mengangkat kedua tangan kita dengan posisi kedua telapak tangan menghadap ke atas, tanda pesimis.

Bagaimana tidak? Meski istilah arabnya telah disepakati ahli bahasa, Ats tsaurah Ash shina’iyyah Ar rabiah, namun sedikit sekali umat islam yang mengetahui apa itu revolusi industri 4.0? Terutama generasi mudanya.

Harus jujur kita akui, generasi islam abad ini lebih banyak berperan sebagai victim alias korban dari revolusi industri, bukan player atau pemain. Cenderung user bukan trend setter.

Mereka asik bersosmed ria, ber-ha ha hi hi “membunuh waktu” ataupun berdebat masalah khilafiyyah, pembahasan dalam agama yang telah selesai dibahas ulama ratusan tahun silam, tanpa sadar kuota mereka merembes masuk ke bandar pemilik sosmed. 

Tak mau kalah dengan anak muda, generasi tuanya pun masih sulit move on, ngotot-ngototan soal politik, meski pilpres telah lama sekali usai. Siapa yang diuntungkan? Lagi-lagi orang bule non muslim, developer sosmed. 

Sudah semestinya, kita generasi milenial menyikapi internet of thing, salah satu ciri revolusi industri 4.0 dengan cerdas dan tidak gagap.

Agar bagaimana kita bisa produktif guna internet; misalnya sebagai media riset dan pembelajaran, galang empati (fundraising) bantu sesama, membangun sistem dan aplikasi, buat konten positif dan inspiratif dan sebagainya. 

Demikian juga big data, terkumpulnya data pribadi banyak orang dalam satu data based yang dimiliki asing, bukan tanpa resiko. Aktifitas kita hari2 bisa dipantaunya.

Adakah yang berpikir, dengan big data, kita akan dapat memetakan mana si kaya yang wajib zakat dan mana mereka yang mustahiq. Dengan pangkalan data, kita bisa mudah berdakwah dan sosialisasi program2 sosial dan keumatan. 

Apa dari sekian banyak generasi muslim tak ada yang mampu buat hal serupa? Kemana mereka? ini berbahaya ke depan. Kalian harus waspada!

Belum lagi artificial intelegent (AI) atau kecerdasan buatan yang telah banyak menggilas pelbagai macam profesi yang biasa dilakukan manusia. Ingat! Bila kita tidak kreatif dan segera beradaptasi, ancaman unemployment (pengangguran) di hadapan.

Dampak pandemi covid saja, telah membuktikan bahwa pembelajaran tatap muka dapat digantikan secara online. Selain itu, ada banyak mata pelajaran (kuliah) yang bisa dicari dengan mudah di google tanpa kehadiran guru, meski tak semua.

Bisa jadi, sekolah ke depan tak butuh gedung yang megah, seragam yang mewah, guru yang banyak, buku yang tebal dan berat serta  fasilitas yang lengkap.

Aplikasi siri dan google assistant pun telah dapat menjembatani komunikasi manusia dengan mesin. Ini saja telah menggilas banyak profesi.

Oleh karena-nya, kontektualisasi ribathul khail mendesak dilakukan. Agar bagaimana generasi muslim milenial dapat cepat beradaptasi dan menggungguli zamannya.

Sibahah dan rimayah dimaknai kapasitas dan skill untuk survive dan menaklukan revolusi industri untuk membuktikan bahwa agama ini tidak hanya identik dengan ritual formal saja, namun juga inspirasi dan petunjuk kehidupan secara unggul, menyongsong kehidupan akherat yang lebih abadi…

Tag Post :
Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *