Seutas Janji dan Secercah Harapan

Siang itu tatkala Musa dan Azza tampil pada acara “Hafizh Indonesia 2015” Abdulloh kecil dan ibunya menyaksikan betapa merdunya Azza tatkala membacakan:

(إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ)

Tak terasa hujan membasahi pelupuk mata ibunya, seraya berkata “Semoga kelak engkau jadi anak yang paham agama dan menjadi pelita bagi umat.” Abdulloh pun mengusap air mata ibunya dengan tangan mungilnya seraya berkata, “Ummi, suatu saat nanti Abdulloh ingin memberikan mahkota kemuliaan seperti mereka berdua dan ingin seperti paman yang sekolah di Negeri Kinanah. Abdulloh ingin mondok”. Maka seutas janji pun telah ia tanamkan dalam lubuk hatinya.

Hari-harinya di masa kecil begitu istimewa, ia merasakan betapa bahagianya mempunyai keluarga yang begitu menyayanginya dan mendukungnya dalam urusan agama dan belajar. Ia selalu menangis tatkala ayahnya tidak mengajaknya untuk salat subuh berjamaah dan selalu tersedu-sedu apabila hafalannya tertinggal.

Bulan demi bulan, tahun demi tahun terus berjalan hingga tiba saatnya ia mengikuti Ujian Nasional. Benar saja, usaha kedua orang tuanya dengan mengikutkannya les dan mendidiknya dengan akhlaqul karimah tidak sia-sia. Namanya berada pada peringkat 11 nilai ujian tertinggi se-kabupaten di daerahnya. Maklum saja, latar belakang keluarganya adalah keluarga yang berada—dari segi intelektual—dan selalu mengedepankan moral dalam kehidupan.

Kenangan yang tak terlupakan baginya adalah ketika ia mondok. Malam pertama ia lalui dengan dramatis, pasalnya ia menangis seraya terperanjat karena kehidupan pondok yang jauh dari huru-hara dunia. Karena tidak tega, ibunya pun memilih untuk bermalam sampai ia menemukan teman sekelas Abdullah. Pagi harinya, di sudut kelas—dengan kelopak mata yang masih lembab—penanya menari menuliskan puisi.

Santri baru santri lugu

Santri yang tidak tahu ini itu

Santri yang selalu menangis tersedu-sedu

Santri yang selalu rindu ibu

Waktu pun berlalu begitu cepat, sekarang ia telah tumbuh menjadi seorang remaja dengan sifat dan karakter yang dibumbui berbagai cita rasa kebaikan. Bahkan tidak jarang kebaikan dan sifat rendah hatinya itu menjadi tertawaan bagi teman-temannya di sekolah. Dikatakan wali-lah, sombonglah. Mereka kira Abdulloh malas berinteraksi dengan mereka, padahal lisannya selalu basah oleh lantunan zikir kepada Allah ta’ala. Ejekan mereka tidak hanya dalam bentuk verbal, akan tetapi tidak jarang ia pulang dalam keadaan memar, sangat miris sekali. Kendatipun demikian, karena buah didikannya semasa kecil, Abdulloh tidak mempersoalkannya dan menganggapnya cinta kasih Yang Maha Esa.

Pepatah Arab berkata:

الخبر كالغبار

Kabar layaknya debu yang dengan mudah dihempaskan oleh desiran angin. Itulah yang Abdulloh alami ketika itu. Keponakannya yang tidak tega dengan keadaannya, akhirnya melaporkan pada orang tua Abdulloh atas apa yang selama ini ia alami; tubuh penuh luka dan kurus kering. Bahkan tak jarang ia tidak peduli dengan sekolah. Maka bagaimana kabar kesehatan psikisnya? Seandainya kamu berada di posisinya lantas apa yang akan kamu lakukan? Mengeluh? Putus asa? Bunuh diri? Akan tetapi Abdulloh justru melakukan sebaliknya. Ia justru menganggap semua itu kasih sayang Allah ta’ala, sehingga ia terus menerus puasa Daud dan mutih sebagai bentuk perwujudan hub-nya.

Ia juga sering dipanggil BP karena selalu meninggalkan kelas dan memilih pergi ke tempat yang diberkahi-Nya. Bukan tanpa sebab, baginya ruang kelas bak penjara suci, sempit dan sesak. Dengan sigap, sang ayah beserta seorang pengacara menuntut keadilan atas putranya. Ia tidak terima dan berniat melaporkan sekelompok temannya ke polisi seraya berkata, “Kalau memang pihak sekolah tidak tegas dalam menindak mereka ini, maka jangan salahkan kami apabila Abdulloh harus pindah.” Dengan spontan para guru sepakat untuk mengeluarkan ke-enam siswa yang bermasalah tersebut. Akan tetapi—dengan budi pekertinya yang luar biasa—Abdulloh malah berkata, “In Syaa Allah setelah peringatan ini mereka akan menjadi lebih baik lagi.” Benar saja, setelah itu mereka semua pun bersahabat layaknya saudara lama yang bertemu kembali.

Inna ma’al usri yusro. Impiannya masih melekat dalam hatinya. Kalimat itu yang selalu ia pegang tatkala mimpinya menggebu-gebu. Dengan usaha dan keikhlasannya, akhirnya ia lulus di sebuah pesantren ternama di Jakarta dengan beasiswa. Masalah silih berganti, ayahnya bangkrut ditipu oleh rekan kerjanya. Semua aset dan ekuitas disita habis oleh pihak bank satu tahun sebelum ia lulus SMP. Namun ia tidak menyerah. Ia bertekad untuk menggapai mimpinya. Jika seandainya keluarganya tidak dapat membiayai, maka mau bagaimanapun ia harus dapat melanjutkan pendidikannya dengan beasiswa.  

Zikir, pikir, dan khidmah. Tiga kata kunci inilah yang merombak diri Abdulloh yang semula pendiam menjadi pemberani, muram menjadi periang, kurus menjadi berisi. Ia telah sadar bahwa jasmani memiliki hak, begitu juga pikiran dan rohani, sehingga sebuah racikan itu tercampur dengan sempurna dan tidak ada lagi racikan seperti dulu yang terlalu manis. Dengan resep inilah Abdulloh tidak lagi kehilangan arah. Ia beriktikad bahwa buah dari zikir dan pikir adalah khidmah. Ketika duduk di bangku kelas 2 SMA, ia diamanahkan merintis organisasi santri, maklum saja, pesantren ini baru dan masih dalam pencarian jati diri.

Berkat kepiawaiannya inilah ia pandai melobi sana-sini. Kata sukses hampir ia sandang dalam memimpin organnisasi. Ia pun menemukan oase di tengah gersangnya ibu kota. Para alim dan cendekiawan senantiasa ingin membangun ekosistem bersama, maka tak jarang di momen seperti inilah ia mendapatkan berbagai relasi untuk menggapai ambisinya. Ia dapat tawaran ke Selandia Baru oleh seorang Doktor. Tawaran itu telah ditandatangani oleh ayahnya. Akan tetapi, murobbi ruhi-nyapaham akan keadaan muridnya. Beliau berkata, “Kamu itu masih baru ingin naik gunung, sedangkan saya sudah ada di atasnya. Saya tahu ghoyah kamu dan akan saya kasih petunjuk agar tidak tercebur ke jurang dan bertemu hewan buas.” Maka sambil menunduk, tidak ada yang Abdulloh katakan kecuali sam’an watho’atan.

Apa yang sebenarnya Abdulloh ingin gapai? Apakah ia melupakan secercah harapannya?

Hari-hari pun berlalu dengan cepat. Ia tumbuh sebagai seorang pemuda yang berkarisma. Waktu mondok telah selesai dan waktu pengabdian baru akan di mulai. Malang pun menjadi tempat pengabdian. Kota sejuk nan permai dengan rumpun damai menghiasi kefluktuatifan intelektual masyarakatnya yang notabene merupakan Kota Pendidikan. Janji suci ia ucapkan untuk merombak yayasan. Kepada kepala sekolah ia berjanji, “Saya akan mengabdikan segala hal yang telah saya pelajari. Teramat sayang apabila sebuah yayasan pendidikan agama tak memiliki ruhnya—dalam bentuk nyata—yang berdampak langsung pada masyarakat”.  Bukan tong kosong yang nyaring bunyinya, ia pun segera mengaktualisasikan berbagai program yang dicanangkannya.

Sujud rapuh dalam dekapan-Nya seperti biasa Abdullah lakukan melanggengkan tahajudnya. Sambil termenung ia bergumam dalam hati, “Modern dan salaf memiliki kelebihan masing-masing, lantas kenapa tidak saya gabungkan saja keduanya?”. Di tengah-tengah kesibukannya, ia juga diamanahi imam tetap, khatib, dan dewan takmir yang bertanggungjawab dalam kependidikan. Suara dan pemikirannya kian terdengar. Tanpa sadar, ia telah merombak secara besar-besaran citra yayasan pada sektor internal/eksternal dengan baik. Demo merupakan rutinitasnya tatkala rezim tak sesuai alurnya, sebut saja misalnya demo vaksin haram. Di umurnya yang terbilang muda, dengan ratusan orang yang mengiringinya, ia maju bak seorang panglima.

Berbagai persoalan, tantangan, rintangan, hambatan, dan gangguan telah ia petik pucuk faidahnya tatkala ia manut dawuh kiai. Singapura dan Jerman menjadi saksi atas kegigihannya dalam menggapai mimpi. Kendatipun demikian, kiai belum meridai. “Dullah (panggilan kesayangan) ayo pulang ke Jakarta,” ucap Kiai.

“Sebenarnya apa yang Kiai rencanakan selama ini?” gumam Abdulloh.

Sesampainya di ibu kota, bersama tangis bahagia yang menyelimuti, Allah ta’ala mengabulkando’anya. Abdulloh berangkat ke Maroko. Sejenak apa yang teman-temanpikirkan ketika pertama kali mendengar nama tersebut? Negerinya para wali? Atau kesenjaannya yang memesona?.

Kiai Navis (Mudir Idaroh Wustho JATMAN) berkata, “Murid di hadapan gurunya bagai mayit.” Perkataan itu terngiang-ngiang dalam benaknya. Maka tatkala buyaberkata, “Dullah! Dua hari lagi kamu berangkat ke Maroko,” Abdulloh yang masih terperangah segera menghadiahkan seutas janjinya pada orang tua tercinta. Dengan tergopoh ia nekat  mengarungi udara seorang diri, meskipun kacamatanya tertinggal dan baru pertama kali pdkt dengan instrumen pesawat. Sambil menatap jendela, pensilnya menari dengan lincahnya.

Mimpilah kamu dan jangan bangun!

Karena ketika bangun, kamu akan menyirnakan segala mimpimu yang kamu bangun semenjak tidurmu.

Sesampainya di Maroko, ia bertekad melanjutkan mimpinya; rajut harapan dengan ilmu dan amal untuk melahirkan khidmah yang universal. Itulah harapan Abdulloh yang sebenarnya.

England I’ll coming

Stay tune untuk mimpi berikutnya.

Sidi Noval main bola

Ditengkar Ayyas jadi merana

Kalau ada salah kata itu dari saya

Kalau ada yang benar itu murni dari Allah ta’ala

Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop

Dapatkan Info-info terkini dari PPI Maroko

Tag Post :
Karya,Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *