Saya dan Sedikit Tentang Hijab


-PEMBUKAAN-
        Ada satu pertanyaan pada acara Kopi Semar kemarin yang mengusik pikiran saya, pertanyaan itu adalah “apakah hijab yang para muslimah pakai sekarang, menurut kalian adalah suatu dogma agama ataukah hanya kalian anggap sebagai budaya ?” untuk memperjelas pertanyaan tadi, sang penanya ingin sekali tahu, apakah hijab yang kami, para muslimah kenakan, menurut kami sendiri adalah suatu hal yang diwajibkan oleh syariat Islam, ataukah hanya suatu atribut agama hasil bentukan masyarakat dan lingkungan ?”. Sebelum menjawab pertanyaan diatas, yang tentunya berdasarkan persepsi saya sendiri tanpa berniat memojokkan pendapat pihak manapun, pembaca yang budiman. Biar saya ceritakan sedikit tentang saya, yang mungkin akan membantu anda memahami kacamata saya.
– BAGIAN I- PERTEMUAN AYAH DAN IBU
       Saya terlahir di keluarga sebagai anak pertama, ayah saya adalah seorang yang berasal dari keluarga taat dan dihormati oleh masyarakat kampungnya di Kuningan, kakek saya adalah imam masjid, maka tidak heran sholeh dan taatnya kakek saya menurun pada ayah saya. Sedangkan ibu saya benar-benar beda cerita. Beliau  lahir dari keluarga yang sangat sederhana kalau tidak ingin dibilang miskin di sebuah kampung di Solo, Beliau  lahir sebagai anak kesepuluh dari sebelas bersaudara dan telah menjadi yatim sejak umur yang baru menginjak dua tahun. Nenek saya, yang baru menjadi seorang muslimah setelah menikah dengan almarhum kakek saya, adalah seorang perempuan yang kuat dan tegar, anak-anaknya dididik untuk hidup prihatin dan mandiri.keluarga dari ibu saya sampai detik ini masih ada yang belum memeluk Islam. Ibu saya bukan seorang yang begitu mengerti tentang Islam, dan saya dapat mengerti itu.
       Lalu, dua insan dengan dua latar belakang terbalik ini, pembaca yang budiman, dipertemukan oleh skenario Allah yang begitu indah, singkatnya, ayah saya adalah seorang ustadz di sebuah pondok modern di daerah Jakarta Selatan. Sedangkan ibu saya, diboyong oleh kakak pertamanya untuk mencoba peruntugan di Jakarta. Ibu saya, pembaca yang budiman, hanyalah seorang tamatan SMA, maka untu bersaing di ibukota, beliau memburu sertifikat dari banyak les-les yang dia ikuti. Pada akhirnya ibu saya berhasil mendapat pekerjaan sebagai seorang SPG (sell promotion girl). Mereka berdua bertemu sebagai murid dan guru ketika ayah saya diminta menjadi guru privat oleh kenalan baiknya. Mengajar bahasa Inggris untuk seorang temannya, katanya. Selanjutnya biar saya persingkat karena saya bukan sedang membicarakan kisah cinta kedua orangtua ayah saya. Singkatnya, pembaca yang budiman, ayah saya akhirnya menikahi ibu saya dan mempunyai pekerjaan mulia seumur hidup, membimbing istrinya dan menjadi imam yang dapat menuntunnya menuju surga. Ayah saya, dengan stok kesabaran yang sangat-sangat saya kagumi, menuntun ibu saya dari nol, ibu saya bukanlah seseorang yang punya ustadz mengaji waktu kecilnya, kampungnya dahulu masih belum tersentuh cahaya Islam. Maka, ayah saya mulai mengenalkan alif-ba’-ta’ dan bacaan sholat yang baik dan benar, ibu saya bukan seorang yang begitu mengerti tentang Islam, dan ayah saya dapat mengerti itu.
– BAGIAN II- INGGRIS DAN HIJAB
       Pada tahun 1997, ayah dan ibu saya berangkat ke Inggris untuk keperluan melanjutkan studi ayah saya. Tidak lama setelah itu, ibu saya mengandung  buah hati pertamanya, tapi sayangnya Allah masih bekehendak lain, beliau keguguran. Jasad kakak saya disemayamkan tanpa nisan, diapit dua nisan salib besar, hanya berhias pot kuning kecil, menunjukkan bahwa dibawahnya ada seseorang yang tengah beristirahat. Pada poin ini, tidak perlu saya gambarkan betapa terpukulnya kedua orangtua saya, ditambah dengan vonis bahwa rahim ibu saya tidak akan siap untuk mengandung anak  beberapa tahun ke depan. Tapi, Allah kembali berkehendak lain, ada saya kecil didalam rahim ibu saya beberapa bulan kemudian. Saya lahir normal dan tidak kurang suatu apaa pada September 1998.
        Pada tahun 1999, ibu saya memutusk
an untuk berhijab. Sebuah keputusan yang sangat berani, menurut saya, mengingat para muslim belum mendapatkan tempat di hati para masyarakat Inggris pada waktu itu, muslim masih menjadi momok yang asing dan menakutkan, isu rasial menyebar dimana-dimana. Namun, ibu saya tetap teguh pendirian. Bisa saya simpulkan bahwa hijab yang dikenakannya sekarang menurut beliau adalah simbol ketaatan dan keteguhan hatinya pada Allah. Menurutnya, hijab yang saat ini beliau kenakan adalah salah satu representasi kepatuhan atas perintah-Nya.  Ada sebuah kisah menarik waktu ibu saya mulai berhijab, saya harap pembaca yang budiman tidak bosan mebaca cerita saya. Waktu itu,  ibu, ayah, dan saya kecil selesai berjalan-jalan dari suatu tempat dan menunggu bus di halte terdekat.
Bus datang, para penumpang masuk, saat ibu saya masuk ke dalam bus sambil membawa saya di dalam stroller. Lalu, pintu bus tiba-tiba ditutup. Ayah saya yang masih diluar langsung berusaha mengejar bus yang membawa ibu saya dan saya, ibu saya berteriak meminta supir menghentikan bus, tapi ternyata, supir itu bergeming. Pada poin ini, pembaca yang budiman, Apakah ibu saya harus berprasangka baik bahwa sang supir adalah seorang yang tuli? Baik, mari anggap seperti itu. Ayah saya masih berusaha mengejar bus dan ibu saya masih berteriak panik meminta supir menghentikan bus, tapi semua penumpang bergeming. Apakah semua penumpang ternyata adalah tuli? Apakah saya dan ibu saya salah memasuki bus khusus tuna rungu? Untung saya masih kecil waktu itu, kalau tidak, mungkin saya sudah loncat dari stroller dan menonjok muka pak supir. Mungkin urusan akan jadi panjang. Di halte selanjutnya, akhirnya kami diturunkan. Lucu sekali.  Hal ini, sangat ibu saya sadari akan terjadi, dan dapat dihindari apabila beliau tidak mengenakan hijab. Tapi, itulah keputusan ibu saya.
       Selama saya di Inggris, saya sempat merasakan bangku play group yang kalau seingat saya, sayalah satu-satunya muslim disitu. Pada setiap penghujung kelas, para anak kecil yang seingat saya terdiri dari dua kelompok, kelompok beedan kelompok ladybug, masuk ke dalam satu ruangan. Ibu-ibu bersiap di depan pintu untuk menjemput anak-anak mereka. Sebelum pulang, kami diminta berdoa sesuai kepercayaan masing-masing. Saya kecil, yang mungkin belum mengerti kalimat “sesuai kepercayaan masing-masing ini” merasa bingung dan akhirnya mengikuti teman-teman sekitar saya yang seperti mengaitkan jari-jari kedua tangan mereka dan meletakkannnya di depan dada mereka. Ibu saya yang ada di depan pintu langsung menengadahkan tangan, memberi saya contoh bagaimana “bentuk tangan” saya yang seharusnya. Nah, ketika saya sudah agak besar saya baru mengerti bahwa cara berdo’a seperti teman-teman saya waktu itu adalah cara berdo’a umat kristiani, sedangkan saya sudah jelas-jelas muslim.
       Saya tidak akan pula berlama-berlama pada sesi pengalaman saya waktu di Inggris, pembaca yang budiman, karena  sayapun tidak sedang ingin membahas itu panjang lebar, kira-kira pada awal tahun 2003 kami berpulang ke Jakarta tanpa ayah karena beliau masih memiliki beberapa pekerjaan dan urusan kuliah yang belum terselesaikan.
– BAGIAN III- JAKARTA DAN TOLERANSI
       Di Jakarta, saya bertemu dengan kakak ibu saya yang pada awal saya ceritakan memboyong ibu  ke Jakarta, selanjutnya akan saya panggil pakde. Yang ternyata, adalah seorang Katolik taat. Saya tidak ada masalah dengan itu, dan menjadi sesuatu yang biasa ketika saya berpamitan pulang dan pakde mengusap kepala saya sambil berkata “Tuhan memberkati”. Dan menjadi sesuatu yang biasa pula melihat salib beserta pohon natal dan seperangkatnya. Dan ketika saya agak besar menjadi sebuah rutinitas bertukar pikiran dan sesekali berdebat  dengan sepupu saya yang merupakan anak dari pakde saya itu setiap saya mudik. Pada poin ini, pembaca yang budiman, saya tidak bermaksud apa-apa dengan menceritakan ini selain bahwa saya ingin para pembaca mengerti kacamata saya yang dari kecil sudah harus mengerti arti dari toleransi terhadap keberagaman. Saya menghabiskan masa TK saya di Jakarta, namun karena tidak kuat dengan panasnya yang Masya Allah menyengat sekali, sepulangnya ayah dari Inggris, kami pindah ke Bogor. Saya tinggal di daerah puncak, untuk lebih spesifiknya lagi, saya tinggal di dalam sebuah boarding school  yang nyaman, menurut saya, karena asri dan yang paling penting, tidak panas. Ayah saya menjadi tenaga pengajar di boarding school  tersebut. Kami disiapkan sebuah rumah yang dibuat menyerupai saung karena dibuat dari bambu, bedanya, saung kami sedikit besar dengan dua lantai. Wilujeng sumping ti Bogor.
-BAGIAN IV-  ADIK DAN SIKAP AYAH 
       Saya akui, pembaca yang budiman, menulis itu susah. Kalau bukan tuntutan, saya mungkin tidak akan pernah membuat cerpen yang saya rasa jadi terlampau agak panjang ini. Tapi baiklah, saya akan tetap mengakhiri apa yang saya mulai, saya harap pembaca sekalian masih mau menyisakan waktu untuk membaca tulisan saya.
        Saya dan adik-adik, semuanya disekolahkan di pondok pesantren, saya ditempatkan di pondok tempat ayah menimba ilmu dan mengajar di daerah Jakarta Selatan, sedangkan dua adik saya ditempatkan di pondok yang ada di daerah Bogor.
        Kami sudah tentu tidak sering berkumpul kecuali pada waktu libur panjang yang kadang hanya menyisakan seminggu kurang untuk bersama karena waktu masuk pondok yang berbeda. Jadi, harus saya akui, waktu libur menjadi waktu yang sangat berharga. Kami selalu mengusahakan untuk jalan-jalan ke suatu tempat sekeluarga. Tapi sayangnya, selalu ada drama sebelum kami pergi, yaitu, adik perempuan saya yang tidak mau mengenakan hijab. Sebenarnya hal ini mungkin bukan sesuatu yang harus dibesar-besarkan kalau yang berkelakuan seperti itu adalah adik bungsu kami yang baru menginjak sekolah dasar dan belum mengenal pondok serta segenap peraturannya, tapi, masalahnya yang berkelakuan seperti itu adalah adik perempuan saya yang telah duduk di bangku tsanawiyah atau setara SMP. Adalah sesuatu yang tidak etis menurut saya, -pada waktu itu- untuk membiarkan dia keluar dengan rambut yang tergerai dengan be
bas, karena pertama, dia telah berstatus santri. Kedua, ayah saya adalah seorang tenaga pengajar di pondok adik saya tersebut. Saya hanya membayangkan apa jadinya kalau salah satu santrinya melihat kami sekeluarga jalan dan adik saya dengan wajah polosnya tanpa hijab. Saat itu, pembaca yang budiman, saya dan adik lelaki saya menyerang dia habis-habisan, menyindirnya dengan kata-kata pedas sampai dia menangis dan membanting pintu kamar. Itu semata-mata kami lakukan, atau setidaknya kami pikir kami lakukan, untuk mengingatkan apa yang harusnya sudah menjadi kewajiban adik saya, atau lebih tepatnya untuk menjaga harga diri ayah sebagai seorang pengajar di pondok adik saya. Tapi, yang saya herankan, pembaca yang budiman, ayah saya bergeming. Waktu itu saya kesal dengan ayah. Ayah, dengan ilmu agama yang sudah jelas lebih luas daripada anak-anaknya tidak berkomentar apapun atas kemauan adik saya yang tidak masuk akal tersebut.
      Namun, setelah saya ingat-ingat dengan seksama, hal ini tidak terjadi sekali, ayah memberlakukan hal yang sama pada saya. Ketika saya sudah memasuki usia baligh, ayah tidak pernah memaksa saya untuk berhijab. Kemauan untuk berhijab datang dari diri saya sendiri karena menurut saya memang sudah waktunya. Hal ini juga saya pikir ayah berlakukan pada ibu, karena setelah menikah, ibu saya tidak langsung mengenakan hijab. Hal ini jadi sangat membuat saya pusing, saya jadi membayangkan apa yang ada di pikiran ayah saya, apakah ayah saya kurang tegas?  apakah ayah saya tidak tega menegur perempuan-perempuannya? Lalu, pada satu titik saya tersadar. Ayah ingin perempuan-perempuannya bebas memilih, ayah ingin kami menentukan jalan kami sendiri, bukan dengan paksaan dan apalagi ancaman. Apa yang saya dan adik laki-laki saya lakukan  waktu itu terhadap adik perempuan saya bukannya membuat adik saya terketuk untuk berhijab, tapi malah menjadikannya semakin enggan unuk mengenakan hijab. Ayah saya ingin menjadikan hijab sebagai pilihan, bukan suatu paksaan dari faktor lingkungan yang malah menjadikan hijab sebagai budaya masyarakat dan menurunkan kesakralan arti dari hijab itu sendiri. Masyarakat yang menganggap hijab sebagai budaya akhirnya tidak lagi mengenakan hijab dengan esensinya untuk menutup aurat dari pandangan lawan jenis. Kain yang disampirkan sudah bisa disebut hijab. Ini yang pada akhirnya melahirkan istilah jilboobs atau hijab diatas dada dengan baju ketat yang menampakkan lekuk tubuh dan istilah-istilah lain bagi para muslimah yang dinilai tidak memenuhi kualifikasi berhjab yang benar versi masyarakat  yang malah menjatuhkan usaha-usaha muslimah utuk berhijab.
       Pembaca yang budiman, saya sungguh sangat dini untuk berpendapat tentang kewajiban hijab apalagi disertai dengan dalil-dalil yang memperkuat pendapat saya. Tapi atas pertanyaan seorang penanya yang saya tuliskan di bagian paling atas tulisan ini, saya akan berpendapat bahwasanya hijab adalah sesuatu yang disyariatkan Islam, dan bukanlah budaya hasil bentukan masyarakat. Saya tidak akan melepaskan hijab saya walau saya diberi uang berlimpah ruah, atau apapun yang saya rasa tidak ada bandingannya dengan harga diri saya dan kehormatan saya sebagai seorang muslimah, karena saya menganggap bahwa hijab adalah wujud rasa patuh kepada Allah dan juga rasa bangga saya sebagai seorang muslimah. Pun, saya tidak akan menghina dan merendahkan sama sekali para muslimah yang memutuskan untuk tidak mengenakannya, saya rasa ada pergeseran moral ketika orang yang berhijab dan berhjab panjang bersikap nyinyir terhadap yang memilih untuk tidak atau berhijab pendek.  Kenapa ? karena sikap inilah yang melahirkan perkataan “lebih baik meghijabi hati dulu baru menghijabi kepala” atau “untuk apa berhijab tapi tidak bisa menjaga akhlak? Munafik” dan lain sebagainya. Di samping itu, kita juga tidak bisa mengabaikan begitu saja pendapat mufassir besar Quraish shihab dan ulama besar wanita Maroko sekaligus feminis terkemuka Fatima Mernessi yang tidak menjadikan hijab sampai derajat wajib untuk dikenakan, dan pendapat ulama-ulama lain yang tidak bisa saya sebutkan sebab sempitnya pengetahuan saya, pembaca yang budiman. Tapi, begitulah kira-kiranya pendapat saya.
       Saya tidak berusaha memojokkan pendapat siapapun, pembaca yang budiman. Tapi saya kira pembaca sekalian mengerti kenapa saya bisa sampai pada pendapat ini, karena saya sudah berusaha memahamkan para pembaca dengan sekilas kehidupan saya yang terbiasa dengan toleransi dan bahwa gama Islam sangat mencintai toleransi dan bukannya paksaan, bahwa saya tidak bisa bayangkan apabila ayah saya dan ibu saya adalah orang yang intoleran, apa jadinya hubungan keluarga kami dengan keluarga besar ibu saya yang sebagian kecil penganut Katolik taat? Bahwa jika ayah saya adalah orang yang intoleran mungkin sampai detik ini saya akan mengenakan hijab dengan terpaksa tanpa mengerti untuk apa saya harus mengenakannya. Dan bahwa yang paling dijunjung dari Islam adalah akhlak yang mulia sesama manusia maupun dengan Allah adalah patokan, dengan kata lain, saleh secara ritual dan saleh secara sosial adalah patokan seorang muslim yang ideal. Bukan dari seberapa panjang hijab kau kenakan, seberapa panjang jenggot kau pelihara dan lain-lain.
       Pada akhirnya, pembaca yang budiman, mungkin pembaca sekalian merasa kebingungan kenapa dari awal cerita saya menggunakan kalimat “pembaca yang budiman”. Itu semata-mata saya lakukan karena saya sedang membaca buku karangan Multatuli yang berjudul Max Havelaar dimana sang penulis selalu menyelipkan kalimat “pembaca yang budiman” di sela-sela ceritanya. Dan saya rasa itu sangat menarik disamping itu juga sebagai wujud rasa hormat saya kepada para pembaca budiman yang menyempatkan membaca tulisan sederhana saya. Saya mengatakan ini demi menjaga diri saya dari kata plagiat yang akhir-akhir ini seringkali dituduhkan oleh masyarakat Indonesia kepada siapapun, bahkan mungkin anak kecil sekalipun.  Sungguh ironis. Tapi itu akan saya bahas lain kali. Semoga tulisan sederhana saya dapat memberikan sedikit manfaat. Terima kasih.
      
        
 


Tag Post :
Artikel,Karya,Keilmuan & SDI,Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *