Sakdul dan pertukaran pelaja

Event

Oleh Hanif Hidayatullah
“Jadinya nanti malam rapat pertukaran pelajar itu? Tanya Zaka pada Sakdul dengan  raut muka kesal tampak diwajahnya.
Zaka adalah santri salaf di pondok kami, dia telah lama lulus dan kini mengabdi di pondok sebagai pengurus. Pondok kami masih sangat kental dengan metode pengajaran lama. Tidak ada pelajaran umum di pondok kami, dan kami sehari-hari hanya mengaji kitab-kitab klasik tanpa baris, baik itu dengan cara mendengarkan ketika para kyai membaca dan memaknai kitab, atau dengan metode penyetoran bacaan kepada kyai.
Iya Zak, memang pondok sudah saatnya di evaluasi ulang. Jawab Sakdul dengan senyuman di bibirnya sembari mengusap kepalanya dari depan ke belakang tengkoraknya. Kepalanya plontos, konon kebiasaan mengusap dan ketiadaan rambutnya lah dia dipanggil para santri dengan sebutan Sakdul yang artinya Cak gundul. Disisi lain, dia adalah ketua asrama dipondok kami, sehingga sosoknya juga sangat dihormati di kalangan santri.
Saat waktu malam tiba, tepat ba’da isya rapat wajib bulanan dimulai, rapat itu dihadiri para pengurus pondok dan kiyai. Semua berjalan dengan lancar dan aman saja. Semua pertanggung jawaban diterima. Semua santri tiada yang bermasalah. Sampai ketika Sakdul mengajukan sebuah usulan untuk meningkatkan mutu dan kualitas pondok, yaitu pertukaran pelajar ke luar negeri. Dengan alasan banyak pesantren disekitar yang sudah menerapkan sistem pertukaran pelajar dari dalam ke luar negeri dan begitu juga sebaliknya.
“pertukaran pelajar sudah sangat dimaklumi banyak khalayak pondok di republik kita, maka mau tidak mau kita juga harus melakukan upaya yang sama”.
“Cuma karena pondok pesantren lain menerapkan pertukaran pelajar, kamu mau mengusulkan hal yang sama?”.
            Raut wajahnya seakan mencela Sakdul dengan kalimat yang barusan ia lontarkan, kami duduk tepat disampingnya. Dia mendengus tertawa.
Dengar punya dengar, Zaka menjadi kolot karena menganggap santri salaf di pondok kami akan tercemar oleh dampak-dampak westernisasi yang dibawa pelajar asing. Dan dengan terwujudnya usulan tersebut maka akan muncul regulasi-regulasi baru berkaitan dengan berbau asing. Secara tidak langsung itu membuat pondok salaf kami tidak lagi murni sebagai pondok salaf. Ketakutannyalah yang membuat pikiran Zaka tertutup.
            Sakdul hanya membalas dengan guratan senyum, kemudian melanjutkan penjelasannya. Katanya, pesantren kini sudah mulai dilirik oleh para pakar sebagai patokan sebagai tempat yang memenuhi syarat dalam membentuk lulusan akademis yang bermutu.
            “pesantren itu wajar saja dipandang, karena unggul tidak hanya dari segi keilmuan, tapi juga dari segi akhlak, sehingga pertukaran ini penting adanya agar pelajar asing bisa mencontohi hal-hal yang ada di pondok, dan utusan kita akan menyebarkan apa yang sudah diajarkan di pondok”.
            “pokoknya saya tetap tidak setuju tentang usulan ini, bukannya seperti itu, malah yang ada akan terjadi westernisasi di pondok kita, dan utusan pelajar juga akan terpengaruh di luar negeri!” jawab Zaka dengan nada yang mulai meninggi, sembari menghentakkan meja rapat.
            Mereka berdua saling beradu argumen dengan alasan yang sangat relevan, tapi tanpa aturan debat ilmiah, baknya debat kusir. Melihat hal itu kyai langsung menengahi mereka.
“sudah! kalau begitu kita adakan saja pengambilan suara, ini republik demokrasi maka bersikaplah dengan demokratis”.
              Maka seketika diadakan pemungutan suara, agar segera mencapai keputusan yang jujur dan adil. Dan suara terbanyak berpihak pada Sakdul sang pengusul pertukaran pelajar.
                Sejak Sakdul punya azam untuk mengusulkan program ini di rapat bulanan, Zaka memang sudah menentang. Tapi perdebatan seminggu yang lalu itu kini terjadi lagi. Sakdul dulunya memang satu angkatan dengan Zaka. Bahkan tak jarang mereka mendapat kamar yang sama. Sholat berjamaah bersama, ngaji bandongan bersama, dita’dzir pun bersama. Begitulah santri, solid satu dengan yang lainnya. Tapi entah kenapa, perbedaan pendapat ini membuat Zaka sangat geram dengan Sakdul. Bagaimana tidak? Pelajaran-pelajaran keagamaan akan diganti dengan pelajaran umum, dimana para santri harus belajar sesuatu yang tidak sesuai dengan minat dan bakat mereka. peraturan yang berkaitan dengan bahasa asing akan menyelimuti keseharian mereka. Dan yang paling parah ialah para santri akan terpengaruh pemahaman-pemahaman barat yang banyak bertentangan dengan agama. Dia banyak melihat kejadian-kejadian semacam ini di sekolah-sekolah modern. Zaka tidak bisa membayangkan semua hal yang dilihatnya akan terjadi di pondok kami.   
            Zaka menyerah, ia sadar tidak ada gunannya menyalahkan orang. Harapanya mengabdi dan melestarikan pondok salaf pupus sudah. Rapat bulanan adalah titik mula ketakutannya terjadi. Semua yang terbayangkan dalam fikirannya akan terwujud. Peraturan baru, pelajaran baru, dan santri asing yang baru. Siap tidak siap. Mau tidak mau. Pondok kami akan menghadapi dampak dari keputusan rapat itu.
            Rapat ditutup dengan ucapan salam sang kyai. Zaka tak berkutik sedikitpun, ia berlalu meninggalkan ruangan rapat. Sakdul yang dari tadi memerhatikan sikapnya, terpaku diam.
            Sakdul beranjak dari ruang rapat menuju kamar pembimbingdidekat kantor sekretariat. Melihat keadaan anggotanya. Tidak ada Zaka disana. Ia berbelok ke kamar ketua asrama. Ruangan favoritnya. Berbaring dikasur sambil merenungkan apa yang sudah terjadi barusan. Lalu ia tenggelam dalam fikirannya sendiri. Sesekali Sakdul melirik ke keseluruhan kamarnya. Matanya lalu tertuju pada koran lama yang sedikit kusam diatas meja kerja. Koran itu berisikan berita tentang pengesahan undang-undang pesantren yang baru saja disahkan beberapa bulan yang lalu adalah salah satu alasan mengapa Sakdul mengusulkan sistem pertukaran pelajar. Dia sadar pesantren sudah mendapat pengakuan dari pemerintah dan dipandang baik dalam menciptakan kader bangsa. Sakdul merasa kesempatan ini tidak boleh disia-siakan, pondok pesantren kami juga harus dievaluasi dengan sistem pendidikan yang lebih baik. Pertukaran pelajar dirasa adalah solusi dalam meningkatkan mutu dan kualitas pesantren kami. Khususnya dalam bidang pendidikan. Sehingga ketika santri-santri terbaik pondok kami terpilih dalam pertukaran pelajar, dia bisa menjadi bibit-bibit unggul yang siap disebar di tanah Eropa. Lalu tumbuh dengan subur, dan buahnya bisa dirasakan oleh penduduk sekitar.
            Masih melihat berita lawas itu, tiba-tiba gawai Sakdul berbunyi, ada pesan WA dari pak kyai berisikan tentang perintah untuk mengadakan istighotsah
dan tahlilan bersama di halaman asrama besok malam jum’at.          
            Pak kyai: Nang, besok koordinir istighotsah sekalian tahlilan ya di halaman, sekalian peresmian tentang program baru kita.
            Sakdul: Oh, njih pak. 
            Sakdul tau betul respon kyai sangat baik, karena melihat beliau senyum saat usulun Sakdul diputuskan ketika rapat itu.
                                                            *****
            Malam jum’at itu tiba. Pondok kami bulan madu! Pegawai pondok tidak memasak terong pijak ataupun tempe bosokmelainkan ayam serundeng beserta sambel terasi. Berbagai dekorasi terpasang di seantero halaman depan asrama kami, bendera-bendera kecil warna warni dipasang melintang membentuk latar X di langit-langit, sehingga tampak megah dan istimewa dipandang mata. Lampu-lampu dipasang disetiap sudut. Warga sekitar pondok juga diundang, seakan ikut merasakan kebahagiaan kami.
            Ketika acara telah dimulai, dan rangkaian demi rangkaian acara berjalan dengan hikmat, setelah Pak kyai menyampaikan kata sambutan sekalian peresmian program baru pondok kami, Sakdul naik ke atas panggung menjelaskan tentang segala hal yang berkaitan dengan teknis tentang program baru ini. Matanya sembari menelusuri para santri dan pengurus pondok yang hadir. Seakan ada sesuatu yang dicari. Benar saja, Zaka tidak ada disana!.
            Setelah turun panggung, Sakdul langsung meninggalkan kerumunan manusia disana. Mencari Zaka temannya itu keseluruh ruangan di asrama. Sakdul kaget karena menemukan Zaka sedang khusyuk membaca wiridannya di halaman jemuran di lantai paling atas. Disaat yang lain merasakan kemeriahan puncak acara.
Sakdul siap menerima apapun yang akan dilontarkan dari mulut Zaka. Bagaimanapun, Zaka adalah temannya, dan hubungannya tidak boleh putus hanya karena perdebatan kemarin malam. Sakdul pun berniat meminta maaf, jika usulannya saat itu bertolak belakang dengan harapannya.         
            Tapi kali ini Zaka menyambut dengan kelembutan.
            “Heh dul, gimana acaranya? Lancar tah? Tanyanya dengan nada bersahabat, seakan semua yang lalu sudah lewat begitu saja tanpa ada bekas.
            “Alhamdulillah lancar Zak, gini zak, aku minta maaf ya atas rapat itu”
            “oh iya, santai aja, toh semua sudah diputuskan, tidak ada gunanya menyesali yang sudah lalu kan? Kalau itu yang terbaik, ya saya harus mendukung”  jawab Zaka bijak. Sakdul senang atas tanggapan Zaka saat itu.
            “iya Zak, makasih ya” jawab Sakdul senyum tampak dibibirnya.
            “yaudah, angkringan kuy, sambil nongkronglah” Sakdul menambahi perkataannya.           
            “kuylah!” jawab  Zaka.
            Sakdul dan Zaka beranjak dan mengambil perlengkapan seadannya untuk dibawa ke angkringan. Sakdul mengambil dompet dan kunci motor di lemarinya. Zaka mengambil jaketnya yang dicantol di pintu kamar pembimbing.  
            Mereka melesat kencang menyusuri jalan, seakan tak sabar untuk nongkrong dan berbagi cerita di angkringan kesukaan mereka semasa aliyah dulu.
            Di angkringan, Zaka memesan es teh dan mengambil tiga sate usus. Dan Sakdul memesan kopi hitam ditambah gorengan.  Sembari pesanan dibuat oleh akang penjaga angkringan, mereka saling tertawa berbagi cerita, kami memerhatikan dari belakang, seraya bergumam.
            “kelak perdamaian mereka yang akan menjadi simbol program baru di pondok kami, Aamiin”.
           
Catatan:
·         Cak [bahasa Jawa]: panggilanuntuk mas atau kakak laki-laki
·         Bandongan: metodedari proses belajar mengajar yang ada di pesantren
·         Ta’dzir [bahasa Arab]: diberi hukuman
·         Nang [bahasa Jawa]: panggilan orang tua untuk anak laki-laki
·         Njih [bahasa Jawa]: iya
·         Kuy: isitilah gaul untuk mengganti kata ayo
Tetouan, 16 Oktober 2019
Tag Post :
Cerpen
Share This :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *