Mingguan Menulis – Tubuhku disini, pikiranku disana

Tubuhku disini, pikiranku disana

Oleh: Fariz Fudla Fasih

Suatu saat kau akan mengalami apa yang kurasakan.
Begitulah yang diucapkan Dyah teman SMA ku dulu. Dia teman dekatku, sahabatku, sekaligus saudaraku. Dyah sudah mengajarkanku banyak hal kehidupan dikala jauh dari kampung halaman. Permasalahan hidup yang kompleks pernah ia hadapi selama masa perantauan. Katanya, jika kamu jauh dari orang tua, kamu harus siap menderita. Harus mendewasakan sifat dan sikapmu. Harus tegar, tabah dan ikhlas terhadap kemungkinan apapun tanpa bantuan siapapun. Dan yang paling mendasar ialah jangan pernah lupa siapa dirimu dan darimana asalmu. Jangan seperti kacang yang lupa kulitnya.
Ah, kini aku sepakat dengan Dyah. Masalahnya belum satu hari merantau di Semarang, aku sudah kelabakan. Aku kangen kamar tidurku yang berantakan, aku kangen sama tumpukan buku novel di atas ranjangku, aku kangen sama Bi Sunarti yang bisa kusuruh-suruh, kangen sama omelan mama, kangen sama suara papa yang suka karaokean di hp walau sering nadanya sumbang, kangen adik ku yang suka rebutan makanan denganku. Bahkan aku kangen sama Bubu kucingku!
Oh, Tuhan dimana aku!
Bi Sunarti, mana baju-bajuku? Kenapa lemariku kosong!!
Mah, Pah, Dek?? Dimana kalian semua?!!
Bubu. Pusssss. Hey, kenapa tidak ada orang disini??
To-To-Tolong. Tolooong!!!
Sha, bangun Sha, bangun!
Mataku tiba-tiba terbuka. Di hadapanku ada langit-langit yang menyilaukan karena cahaya lampu. Aku masih setengah sadar. Ku atur nafasku agar lebih tenang. Kemudian kutengok ada Lasma yang tengah duduk di sampingku dengan raut wajahnya yang tampak cemas dan kebingungan.
“Lasma?” Akhirnya aku mampu berbicara. “Aku bermimpi tadi.” Sambungku dengan nada seperti orang kebingungan.
“Lah, kau ini. Macam mana pula. Jelas-jelas kau tadi bermimpi. Aku tau itu!” Balas Lasma dengan logat khasnya. “Kau tadi itu berteriak-teriak macam begu-pasar. Lontong. Lontong.” Lanjutnya. “Tau kau begu-pasar?”
Aku hanya geleng-geleng kepala, pertanda tidak mengerti. Aku ingin melanjutkan, menceritakan mimpiku tadi kepadanya. Tapi Lasma keburu mendahuluiku.
“Ah sudahlah. Besok saja kau ceritakan ke aku mimpimu itu. Kau tengoklah jam itu, jarum pendeknya masih di angka sebelas.” Kata Lasma seraya tertawa kecil. Kemudian dia kembali ke atas ranjangnya dan menarik selimut hingga ke leher.
“Ito, matiin dong lampunya. Silau nih.” Rengek ku. Kututup mataku dengan pergelangan tanganku supaya mataku tidak sakit.
“Eh, iya lupa aku. Sorry.” Balasnya terkekeh-kekeh.
Pagi harinya aku ceritakan mimpiku semalam kepada Lasma sembari kami melahap sepotong roti yang diolesi selai kacang. Lasma tampak antusias mendengarkan.
Di dalam mimpiku itu, aku seperti berada di sebuah rumah. Rumahku di Jakarta, tapi tampak sangat berbeda. Aku melihat lemari bajuku yang kosong melompong. Hanya ada pemandangan dinding-dinding kayu yang dicat putih. Bau kapur menyengat hidungku. Aku kemudian memanggil-manggil Bi Sunarti pembantu kami yang biasa merapikan baju-bajuku ke lemari. Tapi tidak ada sahutan. Biasanya Bi Sunarti sigap sekali ketika mendengar suaraku berteriak memanggilnya.
Kemudian aku mencari Bi Sunarti ke seisi ruangan, tapi batang hidungnya tidak ada. Bahkan aku tidak menemukan keluargaku seorangpun. Seisi ruangan rumah kosong melompong. Aku juga bisa mendengar suaraku memantul-mantul di tiap dinding. Bubu kucingku tidak menyahut. Aku sangat panik. Kakiku seakan terpaku kaku di atas lantai keramik. Lalu menjerit-jerit minta tolong hingga suaraku parau.
Mendengar ceritaku itu malah membuat Lasma tertawa terkekek-kekek. Lalu aku tanya sama dia apanya yang lucu sih. Eh dia malah makin tertawa lebar. Menyebalkan. Wajahku memerah karena malu. Lasma bilang, aku mabuk asrama. Istilah macam apa coba itu?
Sebenarnya aku cuma kangen di rumah. Di dunia ini tempat yang paling mengasyikkan itu adalah rumah. Soalnya aku bisa melakukan apapun sesuka hatiku kalau di rumah. Tak ada perasaan yang terbatas, tak ada aturan yang kaku. Sedangkan aku dikasih tahu kalau di asrama putri ini banyak sekali aturan. Mulai dari tidak boleh menempelkan dinding dengan gambar atau poster selain daripada tempelan resmi yayasan kampus kami, membawa peralatan elektronik kecuali handphone, laptop, tablet, menjaga kebersihan kamar dan toilet, hingga tidur dan bangun tepat waktu. Ah, mengingat itu semua saja sudah membuatku stres.
Aku merasa hidup mandiri itu adalah beban. Banyak hal yang aku lalui. Tugas kuliah menumpuk dan kadang sulit. Kebutuhan sehari-hari harus kupenuhi sendiri. Kegiatan yang biasa dilakukan bibi, aku kerjakan sendiri.
Awalnya sih memang sulit, namun lama-lama akupun mulai terbiasa. Hingga aku yang tadinya adalah Adisha yang manja, menjadi Adisha yang dewasa.
Sorenya aku kelaparan, aku punya uang cukup tapi males beli di luar. Liat makanan yg dimakan lasma aku tambah laper. Mau minta tapi disuruh beli sendiri. Mau beli makanan via ojol tapi aku sudah bertekad untuk tidak jadi cewe manja. Akhirnya aku keluar asrama nyari-nyari makanan, berjalan kaki. Lalu aku aku memutuskan untuk beli mie ayam saja. Aku bawa mie ayamnya ke asrama, karena kursi penuh.
Sesampainya di asrama, aku makan dengan lahap. Lasma nanya. “Lo laper, ya?”
“Iya, dari pagi bingung mau makan apa”. Jawabku santai.
Terus hpku berdering, ternyata ada vidcall dari mama. Nanyain kabar, gimana asramanya. Mama melihatku sedang makan mie ayam yg belum selesai kukunyah. Mama terkekeh.
“Baru kali ini ya kamu makan segitu lahap, tumben.” Singgung mamaku.
“hehe iya mah…” Aku membalas dengan malu-malu.
“Kamu harus membiasakan diri ya sayang di sana. Nanti kalo uangnya kurang, akan mama transfer.” Kata mama. Dari layar hpku raut wajah mama memperlihatkan kekhawatiran.
“Engg… Ga usah mah. Hehe.” Jawabku ragu-ragu.
“Loh. Knp?” Tanya mama penasaran.
“Udah cukup yg mama kasih udah banyak ma, hehe.” (dlm hati, meskipun aku jauh aku ga mau ngerepotin mama. Mungkin aku bisa belajar mencari uang disini).
Malam hari di asrama sebenarnya tidak berbeda jauh dengan malam hari di kompleks perumahan kami di Jakarta. Sama-sama sepi. Peraturan asrama membuat putri-putri disini tidak diperbolehkan keluar hingga batas jam delapan saja. Kecuali ada keperluan yang sangat mendesak. Aku pun mulai terbiasa dan mulai mandiri.
Tiba saatnya nyuci baju sendiri. Capek juga nyuci manual. Keringat mengucur. Ingat perbuatanku sendiri saat aku suka menyuruh bibi mencucikan bajuku, kadang aku suka marah kalo baju belum siap. Selesai mencuci, aku jemur pakaian. Kutinggalkan jemuran itu. Saat ingin ku ambil, bajuku berserakan dimana-mana. Aku mengambil baju-bajuku dengan lemas. Lalu terpaksa kucuci ulang.
Sementara itu, Lasma sedang mengetik tugas. Aku ajak ngobrol. “Lasma, di kampung halamanmu, kamu biasa ngapain aja?” Tanyaku.
“Ya… Kadang aku suka bantu pekerjaan bapak ku di sana. Bapak ku punya usaha sepatu. Kadang aku suka membuatkan desain sepatu untuk usaha bapak. Aku lebih menguasai desain sepatu pria daripada wanita. Barangkali jika kau berminat, kau bisa mengunjungi website bapak ku, ada di bio instagramku. Aku juga suka upload desain-desain sepatu yg kubuat.” Jawab Lasma panjang lebar. Melihat Lasma yang semangat itu aku jadi teringat Dyah.
Dalam hati aku merasa mendapatkan inspirasi. Dulu waktu SMP aku pernah iseng membuat desain pakaian dan jilbab, lalu aku posting di sosmed. Aku baru mengepost nya sekali, namun respon saat itu banyak yang menyukai. Sayangnya saat itu aku hanya iseng, dan tidak pernah ada niat dengan pekerjaan seperti itu. Bagaimana jika aku mencoba untuk membuatnya lagi? Mungkin akan ada yg berminat dengan desain pakaianku. Hingga lama kelamaan aku menggeluti kegiatan sampinganku itu. Kebetulan juga disini kami memiliki UKM desain dan seni rupa yang kuikuti berdua sama Lasma untuk mengasah kemampuan kami.
Aku selalu terngiang-ngiang dengan pesan Dyah. Benar-benar aku belajar banyak dari sahabatku itu, dan benar-benar menjadi cermin bagi diriku setiap kata yang pernah ia ucapkan. Walaupun sekarang aku adalah Adisha yang tidak kekanakan lagi, Adisha yang bisa mandiri, Adisha yang jauh lebih dewasa, tapi aku tidak melupakan siapa aku dulu dan darimana asalku. Aku tetap selalu rindu dengan keluargaku di Jakarta. Aku tetap selalu bermimpi hal yang serupa saat terlelap.
Saat aku iseng membuat desain baju di kertas, Lasma melihatku yg tengah sibuk menghapus-hapus gambar dengan penghapus.
“Kau lagi apa sih?” Tanya Lasma dengan nada penasaran.
“Aku buntu, Lasma.” Jawabku singkat dan spontan.
“Huwaat!!??” Lasma membalas setengah berteriak. Aku takut seisi penghuni asrama terbangun. Kutunggu sejenak, hingga kupastikan tak ada yang terbangun karena suara Lasma yang lantang tadi. 
“Eee, maksudku, aku sedang coba bikin desain pakaian. Dulu aku pernah membuatnya, dan responnya bagus-bagus lho, tapi baru sekali itu aku membuatnya. Hehe.” Jawabku seraya cengengesan.
Lasma menggaruk-garuk kepalanya yang bundar. “Kapan terakhir kau bikin itu, Sha?” Tanyanya penasaran.
“SMP, sih.” Balasku singkat lagi seraya mengangkat bahu.
“Yahh. Dicoba dulu saja terus, aku siap kasih komentar buat karya-karya kau itu kalau kau butuh.” Tutur lasma. Tangannya memegang pundak ku.
“Hehe… Siyaap.” Kuangkat jempolku dan kuarahkan ke dia.
“Aku tidur duluan ya. Mangat.” Kata Lasma seraya berjalan ke ranjangnya.
Lembar demi lembar teremas dan terbuang sia-sia. Kedua tangaku menumpu kepala. Huuffttth, what can I do. Aku tertunduk, lalu tertidur di meja.
Alarmku berbunyi. Aku terbangun, dan berdiri. Aku kaget tiba-tiba Lasma sudah ada di belakangku dengan wajah betenya dan kedua tangannya menekan pinggang. Lalu tangan kanan Lasma menunjuk ke lantai. Aku lihat ke lantai, lalu aku menutup mulutku.
“Hhhaahhh, Uuppss!! Eeeeh, anu. Hehe, a-aku bisa jelaskan kok. Hehehe.” Kataku cengengesan dihadapan Lasma. Ternyata sampah kertasku semalam sudah berserakan dimana-dimana.
Uang transfer tiap bulan dari mama terasa kurang untukku. Namun sekarang, justru uang transfer mama tiap bulan terkumpul banyak di ATM-ku, seringkali tak ku pakai. Berkat aku giat mengasah kemampuanku. Dan akhirnya banyak desain pakaianku yang diapresiasi dan dibeli orang. Hingga akhirnya, ada pengusaha pakaian muslim Jakarta yang usahanya sudah Go Internasional merekrutku. Banyak karyanya dipamerkan di ajang (model pakean khusus muslim ngonolah di catwalk) di Inggris. Aku dijadikan salah satu desainer gamis disana, namun aku harus menyelesaikan kuliahku dulu disini yang tinggal sebentar lagi. Dan mereka tak keberatan untuk menunggu.
Tak terasa aku telah melewati beberapa tahun di tanah orang untuk mengejar cita-citaku. Wisudapun tiba, dan ortuku datang. Mungkin aku tidak mendapatkan cumlaude, tapi lihatlah berita bahagia apa yang akan kuberikan kepada kedua orang tuaku dibanding soal IPK. Yaitu soal diriku yang akhirnya direkrut oleh perusahaan pakaian muslim di jakarta yg sudah go internasional. Mereka berdua sangat gembira hingga mereka berdua memelukku erat.
“Mama dan papa memang sudah yakin dengan kemampuanmu, nak. Sudah pernah mama bilang kan waktu kamu masih SMP. Teruskan saja menggambarmu itu.” Ujar mama yang sangat bahagia dengan pencapaianku.
“Hehe, iya Mah. Aku baru sadar kalau kemampuanku memang disitu.” Kataku yang juga ikut bahagia karena akhirnya bisa ketemu Mama lagi dan membuatnya bangga.
“Papa juga sangat bangga sama kamu nak.” Ujar papa seraya tersenyum haru. Tangannya yang lebar mengusap-usap kepalaku.
Beberapa tahun kemudian.

Akhirnya desain pakaianku dapat dipamerkan di catwalk, di London. Aku terharu sekali saat banyak penonton terpukau pada model yang mengenakan desain pakaianku. Mereka bertepuk tangan. Sesekali aku mendengar mereka memuji desainku. “Alhamdulillah, Ya Allah.”
Tag Post :
Cerpen,Karya,Keilmuan & SDI,Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *