Oleh: Ahmad Rajiv Muzakki
Indonesia merupakan sebuah negri yang dikenal oleh kacamata bangsa dunia sebagai bangsa yang santun, toleran, ramah, berbudaya dan well-mannered, bahkan tak jarang kalimat-kalimat seperti “Indonesia bangsa bergotong royong” atau “Indonesia bangsa yang toleran” adalah term yang tak asing di telinga kita yang mencerminkan betapa santun dan berbudayanya negri ini.
Bukti kongkrit lain akan keramahan-tamahan bangsa ini yang tak jarang kita jumpai di kehidupan nyata sebagai penuntut ilmu di maroko adalah pengakuan dari penduduk lokal dari bangsa berikon Masjid Hassan Tsani tersebut.
Seringkali ketika kita berpapasan dengan mereka baik di tempat-tempat umum atau di moda transportasi umum, mereka yang awalnya mengira kita sebagai bangsa cina (anggapan yang paling sering dilontarkan ke orang Indonesia) dan terlihat dari raut wajah mereka mimik merendahkan dan sedikit mengesalkan dengan sedikit balutan senyuman jahat namun, ketika mereka tahu identitas asli kebangsaan kita, urat wajah menyebalkan itupun berbalik 180 derajat dan sedap dipandang, bahkan banyak dari mereka mengatakan “ahh…andunusia Musyarrofiin” sebagai bentuk kekaguman bukan hanya terhadap bangsa yang mayoritas penduduknya muslim tapi juga terhadap perangai santun individunya.
Padahal menurut pengakuan mereka, sekalipun mereka belum pernah ke Indonesia atau bertemu secara face-to-face dengan orang-orangnya bahkan hanya mengetahui kabar tersebut melalui saudara atau teman mereka yang bertemu orang Indonesia ketika haji atau umroh di tanah suci.
Namun, sayangnya semua citra baik tersebut dalam beberapa tahun kebelakang ini seakan mulai kandas dan status kesantunan yang disematkan ke negri ini seakan mulai hilang. Hal tersebut bisa terihat dari dekadensi moral yang siginifikan pada bangsa ini.
Tengok saja beberapa pertanyaan yang muncul dari fenomena yang sering terjadi akhir-akhir ini; orang Indonesia yang katanya santun koq cepat marah? Yang katanya santun koq sering nyinyir? Katanya bangsa beradab tapi kok senang melecehkan orang lain? katanya santun koq songong ke orang tua?
Rasanya sangat mudah memicu dan menebarkan kemarahan yang menimbulkan kegaduhan di negri ini, sehingga tak sedikit info bersliweran dihadapan kita baik dari televisi, media cetak, radio atau media sosial yang seakan tak pernah bosan menampilkan keburukan keburukan dari jati diri bangsa ini.
Konflik antar golongan dan agama, tawuran antar pelajar, umpatan kebencian terhadap seseorang, isu SARA yang sering diviralkan bahkan yang terhangat adalah rusaknya keharmonisan hubungan persaudaraan bahkan antar orangtua dan anak hanya karena berbeda pandangan politik juga masih banyak fenomena fenomena lain yang menunjukkan bangsa ini jauh dari predikat santun.
Masih pantaskah bangsa ini disebut bangsa yang bertata-krama, sampai-sampai harus di revolusi mentalnya???
Sedikit saya akan mengutarakan opini saya tentang beberapa faktor yang menimbulkan pertanyaan “mengapa bangsa yang dikenal dunia sebagai negri yang penuh kesantunan namun saat ini gelar tersebut seakan mulai terkikis bahkan yang terlihat adalah potret sebuah negri bercover santun tapi berisi bangsa yang songong?”.
Songong merupakan bahasa non-standar yang lazim digunakan anak muda kekinian atau bahasa gaul yang berarti tidak tahu adat dan biasanya disematkankan kepada orang-orang yang kehilangan sopan santun dan tata kramanya.
Adapun faktor-faktor yang menyebebkan kesongongan di negri ini diantaranya adalah :
1. Buruknya Kualitas Membaca Narasi
Faktor utama yang menyebabkan sering munculnya kegaduhan dan penurunan nilai-nilai kesantunan terhadap bangsa ini adalah kualitas membaca yang buruk, padahal firman allah yang pertama kali di turunkan ke muka bumi adalah “iqro” yang berarti “bacalah!”, sayangnya bangsa yang mayoritas penduduknya muslim ini seakan lalai bukan hanya dalam mentadabburi wahyu suci tersebut, tapi juga dalam mewarnai hari dengan membaca dan menelaah narasi yang berkualitas.
Membaca bisa dikategorikan menjadi 2 macam, yaitu: membaca narasi dan membaca situasi, ironisnya bangsa ini buruk dalam 2 hal tersbut. Buruk dalam membaca narasi baik secara kuantitas dan kualitas, secara kuantitas minat membaca orang indonsia terhadap narasi atau buku sangat rendah dan memprihatinkan. Terbukti berdasarkan studi “The World’s Most Literate Nation” (WMLN) yang diadakan oleh Central Connecticut State University tahun 2016 lalu, Indonesia menduduki peringkat ke-60, persis
Ranking literasi dunia versi World’s Most Literate Nations
di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61), lebih rendah dari Malaysia (53) dan Singapura (36). Sebagai negara dengan peringkat literasi tertinggi di Asia Tenggara.
Dari segi kualitas agaknya cara membaca narasi bangsa ini lebih memprihatinkan, seiring dengan adanya perkembangan teknologi, penyebaran informasi lebih mudah di akses baik melalui televisi dan media sosial daring dengan berbagai variannya, namun sisi negatif dari kemudahan tersebut adalah minimnya filterisasi baik terhadap informasi yang yang real dan hoax atau terhadap yang pantas dan tidak pantas untuk dikonsumsi.
Dilansir oleh The Next Web, Selasa (24/4/2018), disebutkan bahwa Indonesia ada di dalam daftar pengguna paling banyak yang memakai media sosial Facebook dan Twitter, dengan menempati peringkat ketiga dengan jumlah pengguna 140 juta, setelah India (270 juta pengguna) dan Amerika Serikat (240 pengguna). Untuk pengguna Instagram Indonesia menempati peringkat ketiga dengan raihan 56 juta pengguna dan peringkat 12 untuk media social Twitter dengan jumla 6,6 juta pengguna.
Hal ini mungkin terkesan baik karena data ini menunjukkan meleknya bangsa ini akan informasi terkini dan ikut nimbrung eksis dalam pergolakan fenomena kehidupan di dunia maya, namun ketika kegiatan tersebut tidak diimbangi dengan membaca narasi/buku yang lengkap atau mengklarifikasi langsung objek yang bersangkutan kebenaran pun tak kunjung terungkap, inilah yang terjadi pada bangsa ini.
Walhasil, yang terjadi adalah miskomunikasi informasi yang digembar-gemborkan individu-individu yang kagetan sehingga alih-alih semakin baik nilai budi pekerti anak-anak bangsa malah yang ada justru menurunkan nilai-nilai kesantunannya.
Pernah suatu hari, saya berbincang dengan sopir petit taxi dalam sebuah perjalanan, dia mengungkapkan kekaguman terhadap bangsa Indonesia yang ia sebut “sya’b ‘amal” (bangsa yang mempraktekan konsep islam) karena islam disana tidak hanya sekedar teori namun juga dipraktekan, tengok saja dengan cara bicara orang-orangnya, cara menghormati guru dan bagaimana cara menjunjung tinggi toleransi dalam kehidupan beragama.
Lalu ia melanjutkan pernyataanya : “berbeda dengan dengan disini (maroko) meskipun negri ini negri muslim, namun nuansa islam tidak terlalu kerasa, terbukti banyaknya seperti bnyak pedagang terang-terangan jualan khamr dietalase tokonya, cara bertatakrama masyarakatnya yang buruk dsb.”.
Agaknya terlalu berlebihan kekaguman pak sopir ini, karena secara realita terkini banyak yang terjadi justru kurang lebih sama atau bahkan sebaliknya.
Namun, boleh jadi ada benarnya juga, karena dalam hal ini perbedaan antara Indonesia dan Maroko itu bagaikan ‘’sya’bun mumaaris” atau “practice people” dan ‘sya’bun mufakkir” atau “thinker people”. Karena meskipun muslim maroko terlihat kurang mengamalkan konsep keislaman secara komperhensif, kualitas membaca dan literasi bangsa ini merupakan salah satu kiblat dunia khususnya dunia islam, berapa banyak negri pemakan couscous tersebut memproduksi buku-buku dan ulama-ulama terkemuka.
Sebut saja ibnu Khaldun dengan muqoddimah-nya, As-Sonhaji dengan al-Jurumiyah-nya, ahmad syukairij dengan berbagai karangannya atau yang terkini seperti Muhammad al-Ghumari dan ahmad ar-Raisuni yang karya-karyanya menjadi santapan para santri di Indonesia.
Perbedaan antara dua karakter bangsa tersebut sangat kentara dalam hal dunia sufistik, tak sedikit aliran tarekat yang berasal dan berkembang dari maroko justru lebih berkembang dan tersebar di Indonesia, seperti Thariqah Tijaniyah, Thariqah al-Jazuliyyah dan Thariqah Masyisyiyyah.
Indonesia pun sebenarnya memiliki segudang ulama dan segudang karya yang berkualitas, hanya saja belum terlalu banyak dan melejit ke level internasional atau menjadi kiblat bagi banyak bangsa dunia, sebut saja syekh Nawawi al-Bantani, syekh Khatib al-Minagkabawi, syekh Arsyad al-Banjari dan syekh Muhammad Yasin al-Fadani.
Namun, yang jadi perhatian adalah meskipun banyak pemikiran-pemikiran yang lahir dan tumbuh di Maroko justru malah berkembang dan menjadi corak beragama di Indonesia, sebagaimana kita ketahui bahwa dalam penyebaran islam di Indonesia ada peran ulama maroko seperti ibnu bathutah dan syaikh Maulana al-Maghribi yang sedikit banyak pengaruhnya berfusi dalam diri masyarakat Indonesia.
2. Buruknya kualitas membaca situasi
Membaca tidak hanya diartikan sebagai melihat dan memahami suatu uraian tulisan, membaca juga bisa berarti memahami situasi yang aktual sehingga bisa mengambil langkah yang tepat untuk menghadirkan solusi.
Sayangnya, hal ini belum benar-benar diterapkan kedalam jati diri sebagian besar negri maritim ini, terbukti dalam beberapa tahun terakhir ketika ada sebagian orang mempunyai gagasan tertentu dan di blow up ke publik, sebagian orang lain yang tidak sepakat langsung menyerang habis-habisan tanpa mengerti latar belakang dari gagasan tersebut.
Sebut saja misalnya ide “Islam Nusantara” yang di gagas salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yang mengandung multi-tafsir, yang bisa berarti Islam yang mempertahankan pondasi utamanya namun dengan mengimplementasikan corak nusantara, yang tentunya beramakna baik, tapi bisa pula bermakna negatif ketika diartikan sebagai islam yang anti-arab, akhirnya sebagian orang yang berkualitas buruk dalam membaca konteks ini menyerang habis-habisan tanpa mengklarifikasi gagasan yang maksud.
Dalil lain atas buruknya cara membaca konteks adalah cara menyikapi gagasan tagar 2019 ganti presiden (#2019gantipresiden), penggagas bermaksud untuk mengkampanyekan pendapatnya agar pada pemilu tahun 2019 presiden lalu diganti yang baru, namun sebagian orang justru membaca dan menafsirkan konteks tersebut dengan perspektif negatif, menganggap ada niat makar dibalik tagar tersebut, yaitu mengganti sistem kepresidenan dengan sistem khilafah atau bentuk negara yang lain, tanpa mengklarifikasi i’tikad dari si penggagas.
Saya yakin setiap orang yang memiliki gagasan atau ide di negri ini pasti memiliki tujuan yang baik selama tidak keluar dari koridor Syariat, Pancasila dan Undang-undang, oleh karena itu setiap gagasan yang disampaikan mestinya ditampung, dikaji dan ditelaah secara objektif serta diuji kelayakannya sebelum dipraktekan ke publik, bukan dengan menyinyirnya dan menolaknya secaralangsng, atau bahkan menyerangnya secara memababi buta bukan karena tidak setuju kepada idenya tapi karen pertikaian pribadi terhadap pihak penggas
Kenapa orang-orang yang seperti itu tidak mencontoh para ulama dan pendiri bangsa ini dari cara mereka membaca situasi ketika mendirikan dan melestarikan keutuhan NKRI, sebut saja misalnya ketika indonesia baru merdeka, para putra bangsa dirundung dilema dan kesulitan dalam menentukan ideologi dan dasar negara pada waktu itu.
Kaum sekularis ingin menjadikan Indonesia ini sebagai negara sekuler yang bertentangan dengan kaum agamis dimana mereka bertekad menjadikan islam sebagai falsafah negara, hingga akhiranya dihasilkan konsep Pancasila -melalui buah pikiran mereka- dalam bentuk terakhirnya setelah melalui perdebatan Panjang sehingga sampai saat ini kita bisa merasakan kesatuan negara Indonesia yang terbentang dari sabang sampai merauke.
Hal itu merupakan representasi dari cara membaca situasi yang sangat baik ditengah polemik antar dua kubu yang bersebrangan, andai saja pada waktu itu, para pendiri negri salah membaca dan menafsirkan situasi bukan tidak mungkin negara dengan ribuan kepulauan yang terpisah pisah secara geografis ini, sudah terpisah-pisah pula secara ideologis.
Ketika cara membaca bangsa ini baik, mungkin tak ada lagi orang yang berpolemik terhadap “Pengucapan Selamat Natal” dari seorang muslim kepada saudara nasraninya hanya dengan bersandarkan hadits nabi «مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُم» dengan menjustifikasi si pengucap muslim akan dicap sebagai bagian dari kaum Nasrani karena apresiasi tersebut berpotensi mengganggu dan merusak keimanannya. Kalau begitu mengapa mereka tidak mempermaslahkan qubah-qubah yang ada pada setiap bagian atas masjid yang konsepnya berawal dari gereja dengan dalih yang sama atau bahkan lebih tendesius?
Membaca yang berkualitas baik terhadap teks ataupun konteks itu tidak mudah, karena menghasilkan sesuatu yang berkualitas sangat membutuhkan proses yang bertahap dan ketajaman cara pandang juga berfikir yang berkualitas.
Masih lekat ingatan saya terhadap pesan dosen mata kuliah ayaatul ahkam Dr. Muhammad al-Idrussaat mengembara mencari ilmu di negri Hadhramaut, berkali-kali beliau mengucapkan saat sesi perkuliahan : “ “أيها المشايخ! حَرِّرُوْا عُقُولَكم عن سُلْطَةِ النَّصbeliau dengan segudang keilmuannya dan ketinggian sifat rendah hatinya memanggil kami dengan masyayikh(bentuk plural dari syekh yang biasanya disematkan kepada seorang yang berilmu tinggi) dan berharap kepada kami agar tidak terbelenggu dengan narasi-narasi ulama dan fuqoha yang kami pelajari terlebih dalam konteks berfatwa.
Karena disadari atau tidak, dalam kehidupan bermasyarakat mengeluarkan fatwa atau statementyang berbau hukum dan agama dengan pertimbangan yang tidak tepat sangat berpotensi menimbulkan polemik yang berkepanjangan khususnya di negri indonesia yang penuh dengan kebhinekaan ini.
3. Fanatisme
Faktor terakhir yang mencuat sebagai penyebab dekadensi moral dan mental bangsa ini adalah fanatisme atau ashabiyah, sebuah kondisi dimana seseorang meyakini atau mencintai sebuah ajaran, golongan atau sosok tertentu secara berlebihan sehingga mengkultuskan apa yang ia yakini atau yang ia sukai.
Karena fanatisme banyak konflik terjadi yang berakhir dengan ketegangan, perelisihan, dendam kesumat, pendiskreditan terhadap individu, golongan dan atau agama tertentu hingga bahkan bisa merenggut nyawa.
Tak sedikit kasus-kasus di negri ini terjadi karena fanatism effect beberapa diantaranya mungkin sampai saat ini belum bisa diselsaikan secara tuntas, tengok saja misalnya fanatisme yang dihasilkan dari rivalitas supporter sepakbola the Jakmania dan Viking yang menelan banyak korban.
Ada juga fanatik buta yang menimbulkan letupan-letupan emosi yang meretakan hubungan pertemanan, persaudaraan bahkan pasutri yang agaknya sering terjadi setiap perhelatan pemilu karena berbeda pandangn politik, yang terpanas dan teraktual saat ini adalah panggung Pilpres 2019 yang bisa mengakibatkan satu rumah dihuni oleh kecebong dan kampret yang tak pernah akur karena fanatisme yang membabi buta terhadap salah satu capres idamannya hanya karena perbedaan ijtihad dalam kontestasi politik.
Perbedaan pandangan dalam hal pilpres yang dilandasi fanatisme ini hanya akan menghasilkan debat kusir yang melelahkan dan buang-buang waktu, tenaga, juga buang-buang pahala, karena yang banyak dibahas adalah kejelekan-kejelakan capres dan cawapres dari pihak yang berseteru bahkan mendiskreditkan sosok pribadi mereka, hingga terbesit di benak saya “mungkin orang yang banyak pahalanya saat ini adalah capres dan cawapres Indonesia karena sering kecipratan pahala dari orang-orang yang meng-ghibahi mereka”.
Boleh-boleh saja mengkritisi kebijakan dan track record mereka yang merugikan banyak pihak, tapi menyinyir tabiat dan masalah pribadi mereka adalah dalil kuat dari kesongongan bangsa ini.
Fanatisme di Indonesia merupakan barang sensitif yang cepat menimbulkan kegaduhan dan mengusik kesejukan di tengah masyarakat. Provokator penghancur negri tak jarang menggoreng isu ini dengan memanfaatkan heterogenitas masyarakat indonesia, sehingga berbagai macam polarisasi dalam masyarakat menjadi sebuah keniscayaan.
* * *
Memperhatikan realita yang terjadi beriringan dengan faktor-faktor yang saya sebutkan, kiranya bukan revolusi mental yang diperlukan bangsa ini, akan tetapi rehabiltasi mental dalam skala besar yang merupakan tugas bangsa ini yang diawali dari skala yang kecil yaitu dimulai dari diri sendiri dan keluarga.
Oleh karena itu kita sebagai orang-orang yang disebutkan dalam surat [at-Taubah ayat 122], yaitu sebagai kategori manusia yang pergi dari kaumnyanya untuk memperdalam ilmu pengetahuan supaya memberi peringatan kepada mereka kelak ketika kembali kepadanya, mestinya lebih meningktatkan kualitas kita sebagai mahasiswa khususnya dalam membaca baik terhadap narasi dan situasi.
Hal itu dikarenakan masa depan menuntut kita bukan hanya untuk tahu terhadap narasi yang pernah kita baca, namun juga terhadap kualitas dari cara pandang dan pemahaman kita terhadap narasi lalu menerapkan nilai-nilai bacaan tersebut dalam konteks yang tepat sasaran dan bukan malah menerapkan nilai-nilai kondisi dan budaya negri di tempat kita belajar kepada negri indonesia secara komperhensif, sehingga tidak jarang alumnus luar negri yang kekanan-kananan dicap sebagai kaum radikalis dan yang kekiri-kirian sbagai kaum liberalis karena salah kaprah dalam membaca narasi dan situasi.
Sebagai pelajar dari negri yang santun ini, di masa depan nanti mestinya kita menghadirkan konsep-konsep pemikiran dan pembuka jalan tentang cara hidup bermasyarakat dan bernegara yang melampaui batas-batas golongan, suku, bahkan agama tertentu tentunya hal ini tidak lepas dari norma beragama dan berbudaya, sehingga keeksistensian Indonesia sebagai negri yang santun layak dipertahankan,
Terakhir, saya mencoba mengajak para pembaca untuk merenenungi dan mentadabburi bencana – bencana alam yang akhir-akhir ini sering membombardir negri kita ini, karena boleh jadi musibah dan bencana alam yang terjadi dikarena kelalaian bangsa ini dalam menjaga dan mempertahankan kesantunan dan tabiat yang baik yang merupakan identitas asli bangsa ini.
Semoga bermanfaat.Wallahulmuwaafiq ilaa aqwaamith thoriiq, wa huwa a’lam bishshowaab.