Mingguan Menulis – 99 Cahaya di Langit Eropa, Cornwall, Inggris

Oleh: Muhammad Nawawi

Banyak cerita serta pengalaman menarik yang aku alami selama kurang lebih satu bulan berada di The Three Lion, julukan bagi negara Inggris. Singkatnya sebagaimana yang tertuang pada tulisan ini.
Tidak percaya adalah rasa sekaligus ungkapan yang timbul ketika melihat visa United Kingdom tertempel di halaman pasporku. Yang berarti salah satu cita-citaku, yaitu manginjakan kaki di Inggris akan terwujud segera. Tujuanku berlibur utamanya untuk mengunjungi kerabat yang berada di salah satu daerah yang terletak jauh dari ibukota. Jikalau dihitung lama perjalanannya, butuh kurang lebih 10 jam mencapai pusat kota London menaiki National Express, bus nasional Inggris. Hal ini senada dengan apa yang kutulis di lembaran pertanyaan persyaratan visa yang membawa pesan bahagia untuk pemiliknya.
Waktu menunjukkan pukul 21.30 di Kota Rabat. Ransel berisi beberapa pakaian serta tas laptop yang diisi bekal makanan telah siap. Aku mulai pamit kepada teman-teman di rumah, berangkat ke terminal bis qamra Rabat menuju Kota Fes, tepatnya Bandara Saiss International. Masdu’ begitu sapaanku terhadap Mas Dutra Khaer, salah satu temanku yang lebih dahulu telah melanglang buana ke benua biru, sambil memegang bahuku ia berpesan dengan bahasa jaksel nya yang begitu viral di dunia maya sebelum langkah kaki ini melewati pintu, “Lu disana jangan sedikit-sedikit nervous ya, literally lu keep calm aja seakan-akan lu udah kesekian kalinya flight kayak gini.” pesan masdu’ setengah serius setengah canda. Sontak teman-teman sekitar tak kuasa melepas gelagak tawa.
Bus CTM yang kunaiki tak terasa dalam beberapa blok lagi akan tiba di stasiun Kota Fes. Deretan lampu di sisi jalan berpadu dengan tata bangunan Kota Fes yang unik menjadi objek pandangan dibalik kaca bis. Tiba di terminal, aku langsung menyewa grand taxi, salah satu jenis taxi yang beroperasi di Maroko, menuju bandara.
“Masha Allah… akhirnya aku beneran sampai di Inggris! Alhamdulillah.”gumamku setibanya di Bandara London Stansted, Inggris.
Siang itu suasana di lobby bandara begitu ramai, lalu-lalang calon penumpang pesawat berbagai maskapai melintas kesana-kemari. Rasa lelah pun menghampiri setelah menjalani flight selama 3 jam, berangkat dari Fez pukul 10.15 hingga pukul 13.00  di London, tidak ada perbedaan waktu diantara keduanya di musim panas (GMT+1). Langkah kaki ini akhirnya menuntun ke Toilet Bandara, sejenak mengusap wajah yang tentunya kusut, juga menuntaskan panggilan alam. Terbesit di pikiran untuk menunaikan shalat, karena mindset ini telah dibentuk bahwasanya masjid di bandara bakalan nggak jauh dari toilet. Hingga aku kembali sadar bahwa tempat ini, negara ini bukanlah negara muslim, juga bukan negara yanlg mayoritas masyarakatnya muslim. “Oh iya ya, ini di Inggris boss! Mana mungkin ada masjid nya.”batinku. Ternyata dugaanku benar-benar salah! Ada sebuah ruangan khusus yang diberi nama “Prayer Room” yang memiliki arti ruangan beribadah tepat beberapa meter disebelah toilet. Aku bergegas menuju ke ruangan tersebut dan memasukinya. Di dalam ruangan terdapat penunjuk kiblat, mushaf Al-Qur’an dan sajadah. Ku ambil sajadah tersebut untuk kemudian menunaikan Shalat Dzuhur diatasnya.  Setelah mengucapkan salam kedua pada shalat, membaca wirid dan doa, terlihat seseorang melihat ku dari balik pintu. Kemudian ia membukanya dan bertanya singkat padaku, “Have you done?” Aku menggangguk dan mempersilahkannya masuk.
                Selang beberapa menit kemudian, kembali seseorang memasuki ruangan. Kali ini seorang wanita paruh baya yang kemudian duduk pada kursi tersedia. Aku tidak mengerti apa yang ia lakukan. Tetapi yang terlihat olehku ia menatap ke depan sambil sesekali mengucap sesuatu. Mungkin itu bentuk ibadah dalam agamanya. Cukup unik bahkan cukup aneh bagiku mendapati penganut agama yang berbeda-beda bergabung dalam satu ruangan melakukan praktik ibadah nya masing-masing. Tetapi memang begitulah keadaannya pada salah satu ruangan Bandara London Stansted. Hal ini diperkuat dengan statement pihak bandara pada dinding informasi ruangan tersebut yang menerangkan bahwa ruangan ini memang dikhususkan untuk ibadah berbagai macam agama, tetapi yang jelas ditujukan yaitu bagi tiga agama yaitu: Islam, Yahudi, Kristen, dimana salah satu perwakilan pemuka tiga agama tersebut ikut menandatangani statement. Terdapat juga kitab-kitab agama tersebut selain Al-qur’an yang ditata pada sebuah rak.
                Gemuruh serta getaran perut tidak diduga makin menjadi-jadi. Wajar, karena sebungkus biskuit yang aku dapati semenjak landing pagi tadi hingga siang hari belum memadai. Aku beranjak dari ruangan ibadah menuju sisi lain dari bandara.  Kerumunan manusia lebih padat di sisi bandara yang satu ini, karena sisi ini tergerai toko makanan, merchandise, tiket kereta, bis dan lainnya. Aku mulai mencari makanan yang terjajar di toko. Tetapi tetap harus berhati-hati karena kembali lagi, harus memerhatikan kandungan halal dan haram pada makanan.
Bacon sandwich, egg rice with bacon, mushroom pizza with bacon oil… duh, kok serba bacon sih!”gumamku ketika membaca satu-persatu nama makanan yang ada. Ya, tidak mungkin bahkan tidak diperbolehkan untuk kita umat muslim mengkonsumsi bacon. Mengapa? Karena bacon merupakan istilah dalam bahasa Inggris untuk daging yang diambil dari bagian punggung, samping atau perut babi, juga dari sapi yang kemudian diasinkan (curing) atau diasapi (smoking). Bahkan Komisi Fatwa MUI pun telah memutuskan untuk tidak memberi sertifikat pada produk bacon meski berasal dari sapi untuk menghindari kerancuan istilah yang dapat membingungkan konsumen. Hingga pada akhirnya aku membeli tortilla yang masyhur di Meksiko dan negara sekitar Amerika Tengah, yaitu sejenis roti pipih tanpa ragi yang terbuat dari jagung giling atau gandum, dengan filling telur dadar, sayuran diantaranya timun, selada serta dibalur dengan saos tomat. Alhamdulillah asupan siang hari yang cukup dengan tambaha air mineral lemon pelepas dahaga.
                Flight selanjutnya ialah tujuan perjalanan sebenarnya, yaitu mengunjungi bibi yang ku sapa dalam bahasa minang “etek” beserta keluarga. Butuh satu jam lima belas menit untuk mencapai daerah tujuan. Etek tinggal bersama suaminya yang sehari-hari aku menyapanya dengan uncle, juga anak-anaknya yang berarti sepupu bagiku, James dan David. Aku berlibur di istana sederhana mereka yang berada di Helston, Cornwall, yaitu sebuah county (wilayah seremonial) yang terletak di Inggris bagian barat daya.
                Sesampainya di rumah, etek sekeluarga merasa bersyukur sekaligus bahagia dengan kehadiranku. “Welcome to our beloved home, Bang Awi!”ucap David padaku. Ya, nama itu menjadi nama panggilan dari James dan David padaku, sebagaimana yang diajarkan etek pada mereka. Setelah mangadakan percakapan sederhana, melepas rindu dan bertukar kabar masing-masing, aku meminta izin untuk membersihkan diri serta istirahat sejenak dari perjalanan agak panjang yang kualami tadi.
“Wi… sini ke ruang makan nak!”sahut etek terdengar dari dalam kamar. Mendengar etek memanggil, aku langsung beranjak dari kamar. Ternyata hidangan spesial sudah tersaji di meja makan.  Mulai dari aneka panggangan seperti sosis, nugget, pizza, kemudian yang berkuah kari ayam dan lainnya. Aku agak heran bagaimana etek mempersiapkan semuanya secepat itu. Mengingat baru saja aku berbaring singkat di kasur. “Mudah aja nyo masaknya, tinggal ambil dari freezer terus panasin aja lagi di alat tu.”jelas etek dengan logat minang khas nya, yang seakan-akan menjawab raut wajah heranku. Ya, perlu diketahui bahwasanya homemade cooking di dapur-dapur Inggris umumnya bukan seutuhnya homemade cooking. Mengapa? Karena sebagian besar merupakan masakan telah jadi atau setengah jadi yang kemudian didinginkan atau dibekukan. Dijual dan ditata pada freezer yang tersedia di berbagai supermarket dan mall. Mulai dari jenis masakan India berupa kari ayam, daging, nugget, ayam panggang dan lan sebagainya. Semua masakan itu hanya tinggal dipanaskan saja pada microwave ataupun oven, tidak lagi memerlukan muqaddimah memasak seperti menumis bawang dan langkah-langkah lainnya.
Etek sekeluarga begitu lahap menyantap masakan yang disajikan, begitu juga aku sebagai tamu spesial dan keluarga baru bagi mereka. Hari itu benar-benar penuh dengan suasana keakraban.
                Hujan rintik-rintik menyelemuti halaman rumah. Kicauan burung bersahutan senada dengan rintikan hujan. Kebun belakang rumah menjadi objek perpaduan rintikan dan kicauan yang memanjakan mata. “Bang Awi, would you like to have breakfast?seru David, anak paling bungsu etek mengajakku sarapan bersama. “Okay, let’s go then”jawabku.
Berbagai macam sereal tersaji di meja makan. Ada sereal jagung, cokelat, gandum, hazelnut dan jenis lainnya. Beginilah keadaan sarapan sehari-hari orang-orang eropa, tidak terkecuali Inggris. Sereal tadi kemudian dipadu dengan susu sapi murni yang dituang pada sebuah mangkuk atau gelas. Aku, etek dan dua anak-anaknya memilih masing-masing sereal yang disukai. Selain sereal, ada jenis sarapan lain diantaranya toast atau roti bakar yang menjadi pilihan uncle untuk sarapan paginya.
Setelah selesai, masing-masing kemudian membersihkan sisa makanannya. Etek meminta David dan James untuk mencuci tangannya. “James, David… Wash your hand, please!”seru etek kepada kedua anaknya. Maka bergegaslah James dan David menuju wastafel yang berada di dalam kamar mandi. “Allahumma inni a’udzubika minal khubutsi wal khobaitsi”serentak David dan James membaca do’a sebelum masuk kamar mandi. Aku seketika kaget serta takjub melihat mereka yang mampu melafalkan doa’. “Lah, udah bisa tah?gumamku sambil menatap etek tak percaya. Etek hanya tersenyum kecil.
                Pembiasaan yang dilakukan etek kepada kedua anaknya dalam mengajarkan do’a begitu luar biasa. Betapa tidak? Anak-anak yang lahir di lingkungan barat, atau yang akrab dengan kita dengan istilah bule, tumbuh dan berkembang hingga memililki aksen barat tanah kelahirannya, mampu menghafal do’a-do’a dalam bahasa arab tanpa melihat teks, walaupun masih ada satu dua huruf yang belibet dan salah panjang pendeknya. Hal ini bukan serta-merta dikarenakan hafalan yang dibiasakan, ada faktor pendukung lain yang menunjang hafalan David dan James. Teks do’a do’a yang ditempel di sepanjang dinding rumah, dihias dengan ornamen yang indah membuat suasana pembelajaran menjadi lebih berwarna. Memang suatu cara yang brilian dengan menghadirkan suasana rumah yang kondusif dalam masa pembelajaran, apalagi bagi anak-anak seusia James dan David yang masih duduk di bangku sekolah dasar.
Alhamdulillahilladzi azhaba ‘anni-l-‘aza wa’aafaanii.”sebut David dan James seraya melangkahkan kaki kananya keluar kamar mandi. Aku pun meneguk segelas air sebelum beranjak dari ruang makan.
                Banyak kegiatan yang kulakukan selama berlibur di rumah etek. Salah satunya ialah mengajar James dan David hal-hal mengenai Agama Islam terkait ibadah sehari-sehari seperti shalat, mengaji, hafalan do’a dan lainnya, walaupun sebenarnya secara umum mereka telah dididik dan diajar oleh etek hingga telah mampu membaca do’a sehari-hari dengan baik. Aku lebih menitikberatkan kepada shalat, karena dengan kehadiranku dapat menjadi pengajar sekaligus Imam bagi mereka.
                Hari Jum’at merupakan hari istimewa, dimana kita dapat menunaikan shalat Jum’at berjamaah di masjid.
“James, David let’s take wudhu for the Shalat Jum’ah!”panggilku pada kedua sepupuku ini. Mereka yang sedang asik dengan games XBOX nya, membalas pangiilanku, “Yap Bang Awi, five minutes more okay!”pinta mereka meminta tambahan waktu 5 menit bermain. “Come on boys, You can play it again after we have finished shalat together in Masjid, okay?”jelas ku pada mereka. “Okay then, let’s go David we take our wudhu’ first before going to shalat!”bujuk James pada adiknya untuk segera berwudhu. Mereka pun lekas berwudhu sesuai dengan arahan dan koreksi yang kuberikan. Kemudian bergegaslah Aku, James, David dan Uncle berangkat ke masjid yang dituju.
                Mobil yang dikendarai uncle telah sampai ke masjid yang dituju. Sebuah masjid yang sangat jauh letaknya dari rumah. Butuh kurang lebih satu setengah jam perjalanan mobil mencapainya. Jamaah Jum’at berdatangan dari berbagai daerah dengan jumlah begitu membludak. Lahan parkir kendaraan di halaman masjid pun tidak tersisa, hingga akhirnya kami mengambil tempat di luar masjid untuk memarkirkan mobil. Aku menuntun David dan James masuk ke masjid dahulu, sementara Uncle menyelesaikan proses memarkirkan mobil nya.
“Boys, please remember that you are prohibited to talk each other while Khatib is giving his sermons, got it?terangku kepada kedua sepupuku untuk tidak berbicara ketika khutbah sedang berlangsung. Mereka pun mengangguk mengiyakan. Kami dan para Jamaah pun larut dalam khidmat menyimak khutbah, dilanjutkan dengan dua rakaat shalat. Kesulitan tidak terpancar dari kedua sepupuku ini, karena mereka telah mampu melakukan gerakan shalat seperti apa yang pernah kuajari pada mereka. Setelah rangkaian shalat Jum’at selesai, segera kami pulang ke rumah.
                Cornwall Islamic Community Centre adalah sebuah wadah komunitas muslim yang memusatkan kegiatan keislamannya di masjid tempat kami menunaikan shalat Jum’at tadi. Bangunan masjid dahulunya merupakan sebuah gereja yang tidak lagi digunakan bernama Quenchwell yang dibeli pada tahun 2008. Alhamdulilah pada tahun 2016 yaitu 8 tahun berselang, perbaikan bangunan ini telah selesai. Komunitas ini terbuka bagi siapa saja dari berbagai macam latar belakang keyakinan. Dengan harapan akan saling memahami satu sama lain, serta kian mendekatkan budaya dan komunitas lokal lainnya.  
Quenchwell Chapel, salah satu gereja ‘tak terpakai’ yang kini menjadi masjid di Cornwall, Inggris
                Adapun kegiatan dan acara komunitas yang diadakan di masjid beragam, berupa acara mingguan juga tahunan. Acara mingguan seperti Shalat Jum’at berjamaah sebagaimana yang kulakukan bersama kedua sepupuku, lalu sekolah mengaji Alqur’an dan ilmu keislaman. yang Kemudian tiap tahunnya juga diadakan shalat ‘id berjamaah. Komunitas ini juga menjadi wadah pelaksanaan pernikahan dan pengurusan kematian muslim yang menghajatkannya.
               
Jamaah shalat Jum’at di Masjid Komunitas Muslim Cornwall
Satu hal yang sangat kusukai dari Komunitas Muslim di Cornwall adalah keakraban antar sesama. Ya, ini dibuktikan dengan hangatnya sambutan saudara muslim kepadaku ketika pertama kali menginjakkan kaki di masjid sana. Keakraban persaudaraan ini memang sudah selayaknya dimiliki oleh seorang muslim, karena sesungguhnya muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, sebagaimana firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
 {إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ فَأَصْلِحُوا بَيْنَ أَخَوَيْكُمْ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (االحجرات: 10)
yang artinya: Sesugguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara , karena itu damaikanlah antara kedua saudara (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat. (Surah Al-Hujurat ayat 10). Hal ini semakin dipertegas oleh sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
المؤمن للمؤمن كالبنيان يشد بعضه بعضًا (متفق عليه)
Rasa persaudaraan oleh kaum muslim muslimah disana ditunjukkan dengan berbagai kegiatan. Diantaranya Shalat ‘Ied Adha pada bulan Agustus lalu. Aku dan keluarga etek juga turut ikut. Shalat ‘Id diundur dua hari ke Ahad, untuk menyesuaikan hari libur kerja. Karena memang tidak ada libur nasional untuk Hari Raya Islam ‘Id seperti ini di Inggris. Saudara-saudari muslim satu persatu berdatangan sejak pagi hari dan memenuhi ruangan masjid untuk melaksanakan shalat ‘Id terlebih dahulu. Setelah selesai, acara-acara berikutnya telah menanti. Anak-anak diarahkan ke berbagai macam permainan yang disediakan, seperti bungee jumping, kastil karet dan lain-lain. Aku, etek dan uncle menuju lantai tiga bangunan masjid, dimana kaum muslimin bersilaturrahim, saling kenal satu sama lain dengan membagun obrolan dan percakapan. Di ruangan ini terdapat berbagai macam makanan dan camilan yang disajikan serta hiasan disekeliling ruangan yang semakin menghidupkan suasana, demikianlah Hari Raya Islam di peringati hingga penghujung acara pada sore hari.
Fasilitas bermain anak bungee jumping tersedia ketika Perayaan Hari Raya Islam
                Warga Negara Inggris saat ini sudah banyak yang meninggalkan agamanya. Dilansir dari situs daring BBC News, dalam penelitian yang dilangsungkan tahun 2017 oleh Pusat Penelitian Sosial Nasional terhadap 2.942 orang dewasa, sebanyak 53% orang-orang mengaku ‘tidak beragama’. Bahkan pada orang-orang dalam rentang usia remaja 18-25 tahun, proporsinya lebih tinggi yaitu di angka 71%. Agama Kristen yang menjadi mayoritas beserta agama-agama lain mengalami penurunan signifikan, yaitu sekitar 4 juta orang meninggalkan agamanya menurut analisis survey terbaru, sedangkan Islam meningkat sebanyak 1,6 juta umat tahun ini (2018) seperti yang dilansir oleh Kompas Internasional.
                Data yang sedemikian rupa memang benar adanya. Aku sendiri mengamati diantara fenomena yang mendukung kenyataan tersebut. Gereja sudah banyak ditinggalkan bahkan beberapa sudah tidak dipakai lagi, salah satu contohnya saja masjid bagi Komunitas Islam Cornwall yang merupakan bekas gereja yang tak terpakai. Jelas sudah, Allah ingin memperlihatkan kuasanya bahwa benar-benar Islam adalah satu-satunya Agama yang diridhoi-Nya. Islam akan terus berkembang meskipun berbagai framing buruk menimpa Islam dan umatnya, mulai dari tuduhan teroris yang mengatasnamakan Islam, ISIS dan lainnya. Padahal itu semua bukanlah ajaran Islam yang sesungguhnya, melainkan perbuatan oknum muslim yang menyimpang, bahkan dibalik itu semua ada segelintir kaum borjuis yang sengaja mendiskreditkan Islam dengan memanfaatkan muslim yang lemah, demi tujuan-tujuan biadab mereka.
                Tidak terasa 4 minggu lebih 3 hari liburanku di rumah etek telah selesai. Ingin rasanya menetap lebih lama lagi, namun keadaan berkata lain. Kegiatan belajar mengajar akan segera di mulai di Inggris, begitu juga jam kerja akan berlaku kembali. Aku berpamitan kepada keluarga yang telah menerimaku dengan begitu baik, seraya membawa kisah dan pengalaman di dalamnya. Langkah berikutnya adalah menyambangi London sebelum akhirnya kembali ke negeri seribu banteng, Maroko.
“Masha Allah… indah banget pemandangannya!”ucapku kagum ketika bus yang kunaiki dari rumah etek di Cornwall melewati landmark terkenal di London, Big Ben. Meski ketika itu bangunannya ditutupi oleh semacam kain dan kerangka kayu yang menjadi penanada bahwa ia sedang di renovasi hingga beberapa tahun ke depan.
Walaupun hanya dua hari berada di Kota London, bagiku kota ini telah begitu banyak membekas di ingatan. Disamping keindahan bangunan-bangunannya yang bergaya arsitektur Renaissance berpadu dengan gaya Modern nan memanjakan mata, Negara ini ternyata mulai menunjukkan toleransinya dalam kehidupan beragama,
Di Kota London, Kita dapat menemukan masjid di berbagai sisi kota. Masjid tersebar di berbagai wilayah mulai dari East London, West London, dan Central London.
Tetapi alangkah buruk nasibku ketika itu, waktu yang sangat singkat tidak memungkinkan untuk menjelajahinya. Hingga akhirnya kisah ini sementara berakhir disini. Kisah yang mungkin sedikit bisa menggambarkan perkembangan terkini keadaan keagamaan warga negara Inggris, beserta polesan pengalamanku yang kebetulan atas izin Allah terjun langsung mengamati. Harapannya semoga para pembaca dapat mengambil nilai-nilai yang terkandung dalam kisah ini.

Tag Post :
Artikel,Karya,Keilmuan & SDI,Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *