Hamzah, Sang Pujangga dari Aceh

Oleh: Fadhlurrahman Armi

Dengan mendengar namanya, seharusnya bagi masyarakat Nusantara -khususnya bagi rakyat Aceh- memiliki kesyukuran yang tinggi dan kebanggaan terhadap perjuangan dan kegigihan para pejuang dan pemikir bangsa tempo dulu. Di saat para Umara disibukkan dengan pemetaan strategi perang dan siasat politik yang begitu memanas dari masa ke masa, di saat itu pula, para Ulama dan Intelektual memiliki tempat di hati masyarakat luas. Tempat yang menjadi inspirasi bagi cendekiawan di masa-masa selanjutnya dan menjadi sebuah kehormatan bagi masyarakat Aceh. Karena setiap usaha dan jerih payah seseorang, akan selalu diperhitungkan oleh Allah ta’ala.

Seorang penyair yang lihai dalam menyusun kata dan bait-bait hingga menghasilkan untaian syi’ir dan puisi yang indah nan menyejukkan bagi para pembacanya. Seorang pujangga yang merupakan asli anak pribumi berdarah berketurunan Aceh. Bukan Arab dan bukan Portugis. Seorang yang bukan dari kalangan berdarah biru yang bisa mendapatkan kekuasaan dan kesenangan. Seorang yang hidup apa adanya dan mencapai derajat yang tinggi di mata dunia pendidikan, sosial, dan kesusastraan. Dia adalah Syeikh Hamzah Fansuri.


Dia adalah salah seorang tokoh besar putra Aceh yang terpelajar dan tersohor di lingkungan agama dan kesusastraan. Hidup di pertengahan ke dua abad ke 16 Masehi, membuat ia menjadi pemuda yang terampil dengan terus mengembangkan keilmuan dan pengetahuan agamanya. Begitu pula dengan kelihaiannya ketika berdakwah untuk menyebarkan inti dan pokok dari ajaran agama Islam dengan mau’izah hasanah dan penuh kesantunan. Salah satu ilmu yang ia tekuni sehingga menjadi intermeidary-nya dalam berdakwah adalah kebijakannya dalam menggunakan syi’ir dan puisi agar mudah diterima oleh masyarakat luas.

Di antara hasil keringat dari kemampuannya mendalami disiplin ilmu kesusastraan adalah berbagai syi’ir yang tersebar luas dan dapat dinikmati oleh masyarakat umum hingga tulisan ini selesai disunting. Yaitu “syair Dagang”, “syair Burung Pangai”, “Syair Perahu”, “Syair Sidang Fakir” dan lain-lain.[1]

A.                Biografi singkat Hamzah Fansuri
Dikatakan bahwa Hamzah dilahirkan di Barus[2]pada akhir abad ke 16 Masehi. Hal ini ditekankan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Teuku Iskandar. Walaupun kelahirannya masih diperdebatkan, namun kedua pakar ini berpegangan pada salah satu syair yang dianggap sebagai satu dari karya-karya Hamzah Fansuri. Syair ini menjelaskan kelahiran pengarangnya:

Hamzah fansuri di negeri Melayu,
Tempatnya Kapur di dalam kayu
Atau
Hamzah ini asalnya Fansuri
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa Hamzah di Barus selama berada di dalam kandungan ibunya kemudian dilahirkan di Shahr Nawi. Berikut bunyi syairnya:
Hamzah ini asalnya Fansuri,
Mendapat wujud di tanah Shahr Nawi,
Beroleh khilafat ilmu yang ali,
Daripada Abdul Qadir Sayyid al-Jilani

Disebutkan di dalam syair di atas bahwa Hamzah adalah keturunan dari Syeikh al-Fansuri dan bersulukkan selaku pengikut tarekat qadiriyyah yaitu tarekat Syeikh Abdul Qadir al-Jilani.
Di dalam syairnya, beliau juga menyebutkan bahwa dirinya hidup di masa Kerajaan Aceh yaitu ketika dirajai oleh Sultan Alaidin Riayat Syah IV Sayyid al-Mukammil.

Hamba mengikat syair ini,
Di bawah Hadirat Raja Wali,
Syah Alam Raja yang Adil,
Raja kutub sempurna kamil,
Wali Allah sempurna wasil,
Raja Arif lagi Mukammil.


B. Situasi Politik


Dikatakan bahwa kerajaan Islam telah berdiri tegak dengan hebatnya sekitar akhir abad ke 13 Masehi. Dengan berdirinya kekuasaan Islam di ujung pulau Sumatera, mulailah berkembang Islam ke penjuru Nusantara. Melalui tangan-tangan para Pendakwah ulung, penyair dan bahkan pedagang dari belahan dunia lainnya, termasuk Arab dan Persia.

Ibnu Batutah, melalui turastnya yang masyhur nan sohor, kita dapat mengetahui keadaan sekilas tentang kesultanan dan kekuasaan Islam serta perkembangan geopolitik di Aceh hingga ke Kedah, Penang, dan Malaka.

Dikatakan bahwa pada saat Ibnu Batutah tiba dan melewati Pasai yaitu sekitar pertengahan awal abad ke 14 lebih tepatnya tahun 1345/1346 Masehi. Kerajaan Samudera Pasai yang lebih familier di telinga akademisi, pada saat itu dipimpin oleh Sultan Malik al-Zahir yaitu putra sulung Malik al-Shaleh. Sang Sultan merupakan pemimpin yang sangat mencintai agamanya dan dia dikelilingi oleh para Ulama dan Fukaha. Baik mereka yang merupakan Ulama Pribumi maupun Ulama yang datanfg dari Persia. Sebagian dari mereka diangkat dan ditanshib menjadi Penasihat Sultan dan putra-putranya.

Ditemukan pula dalam catatan perjalanan Ibnu Batutah ini, berbagai pujian yang menyebutkan bahwa Sultan adalah seorang yang bermazhab Syafi’i dan menjalankan ibadah dengan benar sungguh-sungguh dan taat kepada Tuhannya. [3]

C. Hamzah Fansuri dan wahdah al-wujud[4]


Banyak yang menyimpulkan bahwa Fansuri, di samping sebagai pujangga penganut tarekat Qadiriyah, adalah juga sebagai pemrakarsa ajaran tasawuf wahdat al-wujud dan pengkaji tasawuf teoritis pertama di Nusantara. Tak heran jika ia dikatakan begitu terpengaruh dengan ajaran tasawuf Ibn Arabi dan al-Jilli[5]serta tokoh-tokoh sufi Arab lainnya.

Diketahui pula Fansuri banyak melakukan kritik dengan tulisan dan syair-syairnya. Ia juga menyelubungkan kekecewaannya di dalam karya-karyanya terhadap perilaku sultan, bangsawan dan orang-orang kaya yang tamak dan zalim kepada masyarakat Aceh. Dari berbagai problematika masyarakat yang berkembang inilah, semakin kuat keinginan Fansuri untuk mengajarkan ajaran tasawuf dan mengembangkannya di kalangan masyarakat luas. Sehingga di banyak karya-karya ditemukan konsep wahdat al-wujud yang disebut-sebut merujuk langsung kepada Ibn Arabi dan al-Hallaj.
Konsep wahdat al-wujud yang dikembangkan oleh Fansuri ini kemudian menjadi bahan perdebatan yang panjang, setidaknya di persoalan yang sangat inti. Yaitu bahwa Tuhan berada dalam kandungan (imanen) alam ini. Artinya Tuhan adalah hakikat fenomena alam empiris.[6]
Nilai-nilai sufistik dalam syair-syair Hamzah Fansuri, di antaranya adalah Makrifat Allah (Mengenal Allah).

Hamzah Fansuri mengajak kita untuk menyelami hakikat dari kehidupan ini dengan sebenarnya. Namun tidak dapat ditemukan hakikat tersebut tanpa mengetahui dan meyakini akan kebenaran dari asal mula hakikat tersebut. Dengan mengenal Allah Ta’ala, Dialah yang Haq dan Yang memberikan petunjuk melalui hakikat-hakikat yang tersemai dan terpancar luas di alam dan seluruh ciptaan-Nya.

Allah berfirman:
أفلا ينظرون إلى الإبل كيف خلقت وإلى السماء كيف رفعت وإلى الأرض كيف سطحت وإلى الجبال كيف نصبت… (الآيات)
Artinya:
“Tidakkah kamu memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan, dan langit bagaimana ia diangkat, dan bumi bagaimana ia dihamparkan dan bukit bagaimana ia dipasakkan…?”
Sejatinya pemikiran sufistik Fansuri selaras dengan firman Ilahi yang memerintahkan hamb
a-hamba Nya agar selalu memperhatikan alam dan seisinya. Dengan tujuan agar dapat mengenal Allah sebagaimana para sufi begitu rapat dan dekat dengan-Nya.
Berikut kutipan bait-bait dari syair Hamzah Fansuri
Kenal dirimu hai anak jamu
Jangan lupa akan diri kamu
Ilmu hakikat yoga kau ramu
Supaya terkenal ‘ali adamu
Barang siapa yang mengenali hakikat dirinya sendiri, bahwa ia adalah ciptaan yang lemah dan sangat membutuhkan yang lebih kuat darinya. Bahwa ia adalah ciptaan yang tahu dari mana ia berasal dan hendak ke mana ia bernaung di akhirat kelak, maka ia akan mengenali siapa Penciptanya.
Karena sesungguhnya siapa yang mengenal hakikat dirinya maka ia telah mengenal hakikat Penciptanya.
Dalam bait-bait lainnya Hamzah Fansuri mencoba untuk menjelaskan tentang hakikat Tuhan yang Esa, Yang tidak ada jelmaan dalam diri manusia, tidak bertempat dan tidak mampu dengan keterbatasan manusia untuk mengukur bentuk dan menggambarkan haiy’ah dari Allah Ta’ala.
Man ‘arafa nafsah sabda Baginda Rasul
Fa-qad ‘arafa rabbah tiada dengan hulu
Wahid-kan olehmu fa’il dan maf’ul
Jangan ditakhsiskan maqam tempat nuzul
Ia melanjutkan dengan penegasan bahwa Tuhan adalah Esa dan tidak dapat dilihat. Fansuri menerangkan pula akan makna hakiki dari pengakuan tiada tuhan melainka Allah Ta’ala. Bahwa lafaz pengakuan tersebut adalah makna yang dipahami secara zahir saja. Namun hakikatnya adalah menegaskan bahwa Allah kekal selama-lamanya dan tidak ada satu sifat pun yang melekat pada diri-Nya bersifat fana ataupun musnah seperti makhluk lainnya.
La ilaha illah Allah ma’nanya zahir
Barang yang munkir menjadi kafir
Dengan hakikat insan terlalu sair
Manakan jauh pada sekelian Nazir
La itulah yang bernama fana’
Dalamnya Isthbat illa Allah al-Baqa’
Mengenal Allah demikian pun kafa’
Mitsal ular Musa hakikatnya asa
Demikian, dapat kita perhatikan betapa kentalnya syair-syair Hamzah Fansuri dalam menyerukan ajaran tasawufnya sehingga benar-benar jelas dimengerti bahwa dia menjadikan syair seba­­gai alat untuk berdakwah. Dan masih banyak lagi doktrin sufistik di dalam syair-syairnya yang tidak mampu kita kupas satu persatu. Karena sangat luas dan banyak.

Pada akhirnya, tujuan tulisan kami ini adalah sebagai pengacu dan pembuka bagi teman-teman PPI Maroko agar dapat mengintip turast Nusantara, terutama kajian tentang Hamzah Fansuri. Karena itu, untuk dapat mendalami lebih detail dipersilakan mengkroscek kembali referensi-referensi yang dibutuhkan. Dan dapat kita simpulkan bersama bahwa dakwah dan pengembangan Islam di Nusantara sangat sarat dengan bau-bau sufistik yang berlandaskan hukum dan kaidah yang jelas dan dapat dipercaya. Adapun berbagai pertentangan yang terjadi di kemudian hari setelah masa kesultanan hingga saat ini, merupakan bagian dari dinamika kajian Islam dan kebudayaan di Nusantara.



[*]Mahasiswa jurusan Akidah dan Pemikiran di kawasan Barat Islam, Tetouan.

[1] H. Mohammad Said, ACEH Sepanjang Abad, (Waspada Medan: 1981), Hal. 248
[2]Merupakan nama dari daerah yang termasuk dari bagian Kerajaan Aceh.
[3] H. Mohammad Said, ACEH Sepanjang Abad, (Waspada Medan: 1981), Hal. 245-247
[4] Maksud dari wahdatul wujud adalah kesatuan wujud yang merupakan ajaran sentral Ibn Arabi. Istilah wadatul wujud sendiri berasal dari Ibnu Taimiyah, tokoh yang paling keras dalam mengkritik ajaran tersebut, atau setidak-tidaknya tokoh itulah yang telah berjasa dalam mempopulerkannya ke tengah masyarakat Islam, meskipun tujuannya adalah negatif. Di samping itu meskipun semua orang sepakat menggunakan istilah wahdat al-wujud untuk menyebut ajaran sentral Ibn Arabi, di lain pihak mereka berbeda pendapat dalam memformulasikan pengertian wadatul wujud.
Menurut Ibn Taimiyyah, wadatul wujud itu adalah penyamaan Tuhan dengan alam. Menurut penjelasannya, orang-orang yang mempunyai paham wadatul wujud mengatakan bahwa wujud itu sesungguhnya hanya satu dan wajib al-wujud yang dimiliki oleh khaliq adalah juga mumkin al-wujud yang dimiliki oleh makhluk. Selain itu, orang-orang yang mempunya paham wadatul wujud itu juga mengatakan bahwa wujud alam sama dengan wujud tuhan, tidak ada kelainan dan tidak ada perbedaan.
Dari pengertian yang dikemukakan di atas, Ibn Taimiyyah telah menilai ajaran sentral Ibn Arabi itu dari aspek tasybih nya (penyerupaan khaliq dengan makhluk) saja, tetapi belum menilainya dari aspek tanzih nya (pensucian khaliq). Sebab, kedua aspek itu terdapat dalam ajaran Ibn Arabi. Akan tetapi perlu pula disadari bahwa kata-kata Ibn Arabi sendiri banyak yang membawa kepada pengertian seperti yang dipahami oleh Ibn Taimiyah meskipun di tempat lain terdapat kata-katanya yang membedakan antara Khaliq dengan makhluk dan antara Tuhan dengan alam.
                      Menurut Ibn Arabi, wujud semua yang ada ini hanya satu dan wujud makhluk pada hakikatnya adalah wujud khalik pula. Tidak ada perbedaan antara keduanya (Khaliq dan makhluk) dari segi hakikat. Adapun kalau ada yang mengira bahwa antara wujud Khaliq dan makhluk ada perbedaan, maka hal itu dilihat dari sudut pandang pancar indera lahir dan akal yang terbatas kemampuannya dalam menangkap hakikat apa yang ada pada zat-Nya dari kesatuan zatiah yang segala sesuatu berhimpun pada-Nya. Hal ini tersimpul dalam ucapan Ibn Arabi berikut ini:
“Maha Suci Tuhan yang telah menjadikan segala sesuatu dan Dia sendiri adalah hakikat dari segala sesuatu itu.”
[5] Yunasril Ali, Manusia Citra Ilahi: Pengembangan Konsep Insan Kamil Ibn ‘Arabi oleh al-Jilii, hal. 183. (Jakarta: Paramadina, 1997)
[6] Hal ini ditegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, The Mysticism of Hamzah Hansuri, hal. 31
Tag Post :
Karya,Minggu-an Menulis,Ver

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *