Belum Ketemu Judul
oleh: Syibli Nasrullah*
Seorang perempuan berkata kepada kekasihnya, kalau kamu mencintaiku masih melihat fisikku bagaimana kau bisa mencintai Tuhanmu yang tanpa fisik?
Menurut penulis pernyataan ini tidak tepat untuk diungkapkan, pasalnya dalam Bahasa Arab, istilah cinta terdapat beberapa istilah, pertama mawaddah, kedua rahmah, dan yang ketiga mahabbah. Mawaddah adalah ungkapan cinta seorang pria kepada wanita, dan mawaddah berasal dari kata madiyyah yang artinya materi, jadi cintanya seorang pria kepada perempuan itu bersifat materi, kalau cintanya seorang perempuan bersifat non materi, jadi wajar saja bilamana seorang pria akan melihat dari kecantikan wanita terlebih dahulu sebelum ia mencintainya, dalam istilah Jawa, ada cerita ketika seorang pria ingin menikahi seorang perempuan dan dia berkata, “Isun pengen rabi sing rambute andan-andanan, alise kaya semut melaku atau matane nanggal sepisan, matane damar kena angin, untune wijil timun.” Yang itu adalah istilah untuk diungkapkan calon suami yang ingin mencari istri yang sempurna, secara umum wanita juga menginginkan kesempurnaan dari kekasihnya, tapi tidak ada istilah yang sama ketika seorang wanita ingin mempunyai keinginan untuk mempunyai suami, karena cinta seorang wanita bersifat Rahmah yang berartikan belas kasih.
Dalam sebuah catatan kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali di sebutkan ketika seorang suami berkata pada istrinya:
خذي العفو مني تستديمي مودتي * ولا تنطقي في سورتي حين أغضب
Yang artinya:
Carilah Maaf dariku, maka hal itu akan melanggengkan cintaku,
dan janganlah engkau berkata akan kepribadiaanku saat aku sedang marah.
Dalam bait itu, mawaddah di artikan sebagai cintanya seorang suami kepada istri, Kalau keduanya disatukan dalam pernikahan yang sah, insya Allah akan timbul dari keduanya rasa Mahabbah yaitu cinta sepasang suami istri kepada Tuhannya yang bersifat non materi dan, karena bagaimana bisa seseorang mencintai Tuhan dengan Mawaddah apalagi dengan Rahmah, selayaknya jika seorang mencintai Tuhannya harusnya menggunakan Mahabbah dalam firmanNya surat Ali Imran ayat 31 disebutkan:
قل إن كنتم تحبون الله فاتبعوني
Kalau perkataan dua orang sahabat yang akrab dan dia bilang Ana uhibuka fillah, tentunya bukan cinta yang tumbuh karena paras atau kelebihan fisik dari salah satu keduanya, melainkan mungkin karena sikap atau kepandaian atau kepribadian yang terpuji salah satu dari keduanya.
Dari kesimpulan ini, maka penulis kira ucapan do’a kepada seseorang yang baru menikah berupa kalimat “semoga pasangan menjadi keluarga yang Sakinah mawaddah wa rahmah” kurang tepat, karena bagaimana mereka bisa langsung sakinah sementara mereka baru menjalin hubungan yang sakral, yang tepat menurut penulis adalah Semoga pasangan selalu dalam Mawaddah yang dilengkapi Rahmah hingga menuju tingkat Sakinah.
Kenyataannya menurut penulis memang demikian, dalam Al-Qur’an di sebutkan dalam surat Ar Ruum:
وَمِنْ ءَايَٰتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةً إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَايَٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ
Yang pemahaman penulis itu begini, pertama, pernikahan itu adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Tuhan dan itu hanya ia yang mengatur dengan siapa seseorang akan menikah, tidak ada satupun yang bisa mengatur perkara ini selain atas izinnya, kedua, firman Allah “litaskunuu” adalah ghoyah atau tujuan dari pernikahan itu sendiri, ketiga, kalimat “waja’ala bainakum mawaddah wa rahmah” adalah proses yang harus di usahakan oleh pasangan suami isteri untuk menuju kehiduan yang sakinah, dan sedikit penulis menjelaskan perbedaan antara kalimat Ja’ala dan Kholaqo.
Kalau kholaqo walaupun Fa’ilnya sama-sama Allah akan tapi itu adalah kuasa Allah dan tidak ada intervensi dari siapapun, jadi jodohnya Zaid misalnya dengan Laila itu kehendak Allah dan tidak ada yang bisa menghalanginya layaknya penciptaan langit dan bumi.
Kalau Ja’ala itu ada proses yang di kerjakan oleh manusia, meskipun fa’ilnya Allah tapi harus di upayakan oleh manusia seperti halnya proses Mawaddah dan Rahmah itu sendiri yang ada ketika ada usaha dari kedua belah pihak dari suami istri tersebut.
Namun anehnya dalam proses penciptaan manusia, Allah menggunakan dua kalimat tersebut, awal penciptaan, Allah menggunakan lafadz kholaqo.
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak (memiliki anak). (Q.S. Ar-Ruum ayat 20).
Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman:
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ . فَإِذَا سَوَّيْتهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.” (Q.S. Shaad ayat 71-72).
Namun setelah seseorang menikah, Allah ‘Azza Wa Jalla menggunakan kalimat Ja’ala untuk melanjutkan proses terbentuknya manusia di dalam janin, Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظ
َامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
َامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ
“Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu kami bungkus dengan daging, Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasuci-lah Allah, Pencipta yang paling baik.” (Q.S. al-Mu’minuun ayat 13-14).
Artinya, awal penciptaan manusia yang dari tanah memang hanya Allah saja yang bekerja, namun proses selanjutnya harus di perjuangkan oleh suami dan istri untuk merubah dari Nuthfah menjadi ‘Alaqah yang kemudian menjadi Mudhghah dan seterusnya dan seterusnya hingga lahirlah anak manusia.
Dan terakhir penulis ingin mengatakan bahwa tulisan ini bukanlah acuan atau rujukan buat apapun, apalagi di buat bahan diskusi, karena semua ini hanya coretan kecil yang sebenarnya tak layak untuk di publikasikan, bila mana pembaca setuju dengan penulis silahkan, bila mana tidak setuju, ya silahkan, bilamana pembaca menemukan perbedaan dari apa yang telah dibaca dari sumber yang sama maka ini adalah salah satu pendapat dari satu sumber dan seandainya menurut pembaca ini adalah kesalahan besar, maka benarlah pendapat atau apa yang pembaca pikirkan, dan kesalahan ada pada diri penulis sendiri, dan barangkali memang ada yang benar, kebenaran hanya milik Tuhan.
Wallahul Musta’an.
Sumber: Qalam Asshafa Min Mawaidzi Sidi Musthofa.
Ngaji Ihya Ulumiddin karya Imam Ghozali, Bab Haq Suami atas Istri.
*Penulis adalah mahasiswa S1 di Ta’lim al-‘Atiq Imam Nafie Tangier. Penulis dapat dihubungi melalui FB: Syibli Farozdaq