Oleh: Ali Mahrus Fuad*
Seperti yang dikatakan oleh Mbah Modin[1] Markasem, dahulu ada desa yang bernama Desa Njekikrek dan Desa Njarpelem. Desa Njekikrek berada di sebelah baratnya kuburan desa, sedangkan Desa Njarpelem berapa di utaranya kuburan desa. Kedua desa ini saling bertengkar. Akhirnya, untuk menyatukan kedua desa ini kemudian dikumpulkan masyarakat desa di lapangan sebelahnya kuburan desa. Berembuk dan disatukanlah kedua desa tersebut menjadi Desa Padengan agar tidak ading-ading, maksudnya adalah meleburkan kepentingan masing-masing dengan menyatukan kedua desa tersebut. Lama kelamaan desa yang sudah terbentuk itu melakukan rombak deso. Rombak deso maksudnya adalah penataan kembali setelah penyatuan kedua desa tersebut. Rombak deso menghasilkan bahwa diberinya tanah bumi 10 atus [2] pada waktu di bawah pimpinan Petinggi[3] Mukman. Bumi 10 atus tersebut agar digunakan untuk melaksanakan nyadran atau sedekah bumi. Tanah bumi 10 atus itu berupa sawah yang diamanatkan kepada 10 orang secara bergiliran. Siapa saja yang termasuk 10 orang tersebut, wajib membelikan sapi untuk disembelih pada saat pelaksanaan nyadran. Desa Padengan pada zaman dulu kalau tidak diadakan nyadran banyak terjadi pagebluk, yaitu banyak orang yang ketempelan (kerasukan makhluk halus), bahkan sampai terjadi gantung diri. Oleh karena itu, diadakannya nyadran untuk melerai pagebluk tersebut. Ditelisik[4] bahwa penunggu (danyang) desa adalah seorang perempuan. Jika tidak menyembelih sapi, dayang tersebut akan marah.
Dari sawah 10 atus tadi, dulu diadakan dua kali nyadran, yaitu pascapanen jagung dan pascapanen padi. Penyembelian sapi hanya dilakukan ketika nyadran pascapanen padi saja. Sekitar tahun 1974/1975 Desa Padengan mendirikan masjid yang diambil dari hasil sawah 10 atus itu, sehingga terjadi pemungkasan[5] tradisi nyadran. Tadinya dilaksanakan dua kali dalam setahun, kini hanya satu kali, yaitu pascapanen padi. Hal ini menjadi pertanda baik bagi masyarakat Desa Padengan, sebab dapat mewujudkan pembangunan masjid dari hasil sawah 10 atus tersebut. Sawah 10 atus kemudian dilelang kepada masyarakat dan hasilnya tetap digunakan untuk membangun masjid dan melaksanakan nyadran. Namun, pelaksanaan nyadran pada waktu itu tidak menyembelih sapi, karena hasilnya dianggarkan untuk pembangunan masjid. Sebagai penggantinya, masyarakat tetap membawa nasi tumpeng dan lauk pauknya (disebut tumpengan) saja. Pemberhentian menyembelih sapi pada masa pimpinan Petinggi Kasemin sampai Petinggi Namin. Petinggi Kasemin menjabat pada tahun 1979 menggantikan Petinggi Mukman yang telah lengser, sedangkan Petinggi Namin menjabat pada tahun 1982. Pergolakan politik yang kuat membuat Petinggi Namin hanya menjabat dua tahun saja. Desa Padengan mengalami kekosongan jabatan, akhirnya di masa transisi, pemerintahan desa dipegang oleh seorang PJ, yaitu Carik[6] Narsudi. Kondisi nyadran pada waktu itu tetap berjalan tiap tahunnya. Namun, sebatas ngaji Alquran saja (khataman Alquran). Semasa jabatan Petinggi Kasemin, menyembelih sapi dan ngaji Alquran ditiadakan. Hingga berlanjut pada masa jabatan Petinggi Namin yang hanya melaksanakan khataman Alquran saja. Sekian lama tidak dilaksanakannya penyembelihan sapi, terjadi pagebluk di Desa Padengan. Pagebluk melanda masyarakat, banyak masyarakat yang marah-marah, bicara tidak jelas, ketempelan makhluk halus, bahkan sampai ada yang gantung diri dua orang, laki-laki dan perempuan. Pegebluk ini membuat masyarakat resah. Akhirnya para tokoh masyarakat berkumpul, bermusyawarah mengembalikan desa menjadi aman dan tentram. Hasil musyarawah tersebut bahwa masyarakat membayar iuran uang 500 rupiah untuk digunakan menyembelih sapi. Nyadran pada akhirnya berjalan dengan baik dan pagebluk pun hilang.
Pada tahun 1990-an, ada inisiatif dari Pak Modin untuk memperbaiki tradisi Nyadran dengan memindahkannya ke masjid. Tentu tidak semua prosesi nyadran berada di masjid, hanya cerama agamanya (penajian umum) saja yang berada di masjid dan khotmil Alquran tetap berada di area kuburan. Inisiatif tersebut tidak disetujui oleh para tetua desa. Akhirnya tradisi Nyadran tetap dilaksanakan seperti semula. Pengalihan tempat ini dimaksudkan agar tidak mendatangkan perbuatan syirik bagi masyarakat, karena tempatnya berada di area kuburan. Untuk menghindari dari perbuatan syirik, sekitar tahun 1993/1994 Pak Modin dan Kades Achiat mendatangkan Kyai Hasyim dari Sidoarjo untuk menerawang makam yang berada di dalam cungkup. Cungkup adalah sebutan makam yang dikeramatkan oleh masyarakat Desa Padengan. Setelah Kyai Hasyim cerama agama di masjid, diteruskan dengan membaca tahlil di dalam cungkup. Beliau mengatakan bahwa makam tersebut adalah makamnya Mbah Karyosentiko dan/atau Mbah Kocobenggolo dan/atau Mbah Syarifullah yang dianggap sebagai sesepuh Desa Padengan. Tidak diketahui pasti asal-usul makam tersebut. Keberadaannya sudah sejak lama. Setelah itu, jelaslah makam tersebut. Sampai sekarang tradisi nyadran masih dilaksanakan dengan tidak mengubahnya sama sekali, baik tradisi maupun ritualnya.
Prosesi nyadran pada tahun-tahun terakhir ini berjalan dengan baik dan lancar. Pelaksanaannya dilakukan setiap satu tahun sekali, sekitar bulan Juli – Agustus atau ukuran waktu yang pas adalah setelah panen padi yang kedua (memasuki musim kemarau). Tradisi Nyadran di Desa Padenganploso Kecamatan Pucuk Kabupaten Lamongan ini bertempat di area kuburan desa. Pelaksanaan berlangsung dua hari. Secara ajek[7] setiap hari Kamis Keliwon atau Jumat Keliwon. Jika dilaksanakan pada Kamis Keliwon, itu artinya hari pertama pelaksanaan dimulai pada Rabu pagi dengan membaca Alquran sampai khatam (khataman Alquran). Pada Rabu malam dilanjutkan dengan doa bersama membaca tahlil dan masyarakat membawa tumpengan, yaitu nasi tumpeng dan lauk pauknya. Jatuh pada hari Kamis Keliwon menjadi puncak acara tradisi nyadran. Masyarakat kumpul di area kuburan dengan membawa tumpengan dan bagi perangkat desa membawa jajan-jajan yan
g dimasukkan ke dalam jodang[8]. Penyembelihan sapi dilaksanakan setelah salat Subuh pada saat acara puncak tradisi nyadran. Adapun prosesi acara puncak tradisi nyadran adalah pertama pembukaan, sambutan oleh kepala desa, membaca tahlil, cerama agama, doa penutup, dan diakhiri dengan pembagian makanan kepada masyarakat yang hadir. Hal ini pun berlaku jika puncak tradisi nyadran dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon.
g dimasukkan ke dalam jodang[8]. Penyembelihan sapi dilaksanakan setelah salat Subuh pada saat acara puncak tradisi nyadran. Adapun prosesi acara puncak tradisi nyadran adalah pertama pembukaan, sambutan oleh kepala desa, membaca tahlil, cerama agama, doa penutup, dan diakhiri dengan pembagian makanan kepada masyarakat yang hadir. Hal ini pun berlaku jika puncak tradisi nyadran dilaksanakan pada hari Jumat Kliwon.
Beberapa peralatan dan makanan yang dibawa pada saat tradisi nyadran adalah seperti biasanya. Peralatan berupa alat-alat masak, karena untuk memasak daging sapi. Makanan yang biasa dibawa adalah nasi tumpeng dan adutumpeng-nya (lauk pauk). Bagi para perangkat desa membawa jodang yang berisi makanan dan jajan-jajan. Jodang adalah tempat untuk membawa makanan, biasanya (umumnya) digunakan oleh pengantin ketika nyonjok nganten, yaitu pengantin laki-laki berkirim makanan kepada penganti perempuan pada saat perkawinan berlangsung. Makanan dan jajanan yang ada di dalam jodang adalah tumpeng dan lauk pauknya, apem[9], kucur[10], lemét[11], pisang, beraneka kerupuk, dan lain-lain serta teh atau minuman yang lainnya (untuk sekarang biasanya menggunakan air mineral kemasan). Selain itu semua, ada barang yang tidak boleh ditinggalkan yaitu semacam sesaji yang berupa nginang, daun sirih, bedak, lipstik, dan sisir yang ditaruh dalam sebuah wadah atau bokor dan keloso (tikar) yang masih baru, bantal baru, dan langitan. Langitan berupa kain berwarna putih, lebar dan panjangnya ± 2 x 2,5 meter yang dipasang di atas para pembaca doa. Barang-barang ini kemudian dibawa pada saat pembacaan doa berlangsung di puncak tradisi nyadran. Barang-barang tersebut disiapkan oleh kepala desa. Waktu pelaksanaan tradisi nyadran dari pagi (sekitar pukul 06.00 WIB) sampai sekitar pukul 10.00 WIB.
***
[1] Modin=singkatan dari imam ad din,panggilan untuk yang dituakan dalam masalah agama
[2] Atus=seratus dalam Bahasa jawa,istilah untuk luas tanah
[3] Kepala desa
[4] diduga
[5] pengurangan
[6] Sekretaris desa
[7] Tetap,teratur
[8] Kotak panjang terbuat dari kayu untuk menaruh makanan
[9] Makanan terbuat dari tepung beras dan santan berbentuk seperti telur penyet
[10] Makanan biasanya berwarna merahmuda untuk jamuan acara
[11] Makanan terbuat dari singkon yang diparut halus dicampur dengan gula merah
*Penulis adalah mahasiswa S1 jurusan Dirosat Islamiyyah di Universitas Hassan II – Ain Chock, Casablanca. Penulis dapat dihubungi via FB: Ali Mahrus Fuad