Thalib, Wirid, dan Nasihat

Kabar Berita
Syekh Abul Huda al-Ya'qubi

Catatan sowan al-‘Allāmah Syaikh Syarif Dr. Muhammad Abul Huda al-Ya‘qubi

Senin sore, 19 Mei 2025, segenap pengurus Zawiyah Nusantara bersama beberapa rekan dari PPI Maroko diajak oleh seorang senior sekaligus pendiri Zawiyah Nusantara untuk sowan ke kediaman ulama besar Suriah berdarah Maroko, al-‘Allāmah Syaikh Syarif Dr. Muhammad Abul Huda al-Ya‘qubi bin al-‘Allāmah Syaikh Ibrahim al-Ya‘qubi. Beliau merupakan imam mazhab Mālikī dan Ḥanafī di Masjid Agung Umayyah, Damaskus. Tiga orang dari keluarganya secara berturut-turut pernah menjabat sebagai Mufti Mazhab Mālikī di Masjid Agung tersebut. Keluarga al-Ya‘qubi dikenal sebagai keluarga intelektual Islam terkemuka, khususnya di Syam, dan termasuk keturunan Nabi melalui jalur Moulay Idris al-Akbar.

Tentang Syarif Abul Huda, beliau lahir pada tahun 1963 di Damaskus. Sejak kecil, beliau mendapatkan pendidikan dan tarbiyah langsung dari ayahnya, al-‘Allāmah Syarif Ibrahim al-Ya‘qubi. Track record keilmuan beliau sangat mencengangkan: pada usia lima tahun beliau telah mulai menghafal Al-Qur’an, Arba‘īn al-Nawawiyyah, Mukhtaṣar al-Bukhārī karya Ibn Abi Jamrah, sebagian besar Riyāḍ al-Ṣāliḥīn, serta beberapa matan dan nadzam seperti al-Jauharah, al-Muqaddimah al-Jazariyyah, Sullam al-Munawraq, Naẓm Ibn ‘Āshir, Bad’ al-Āmālī, Alfiyyah Ibn Mālik, sebagian besar Alfiyyah al-Ḥadīŝ karya Imam al-Suyūṭī, Naẓm Mukhtaṣar al-Manār, dan sebagian dari Naẓm al-Syāṭhibiyyah dalam qirā’āt, serta nazam-nazam karya ayahnya sendiri. Pada usia 15 tahun, beliau telah menggantikan ayahnya dalam khutbah dan mengajar.

Kalau ketemu dengan beliau, kita akan menyaksikan sosok ulama sejati; penuh perhatian terhadap ilmu hadis dan tasawuf. Keilmuan dan tarbiyah yang diwariskan dari ayahnya tampak nyata dalam dirinya. Selama 29 tahun bermulazamah dengan sang ayah, beliau telah mengkhatamkan lebih dari 500 kitab, risalah, dan matan. Kitab-kitab induk dari berbagai fan (bidang ilmu) telah beliau pelajari langsung dari ayahnya dan beliau memperoleh ijazah ‘āmmah maupun khāṣṣah. Selain itu, beliau juga menerima ijazah periwayatan dari para ulama besar seperti Syaikh Muhammad Abul Yusr (Mufti Syam), Syaikh Muhammad al-Makkī al-Kattānī (Mufti Mazhab Mālikī), Syaikh Zainal ‘Ābidīn al-Tūnisī, Syaikh Muhammad Ṣāliḥ al-Furfūr, Syaikh Muhammad Ṣāliḥ al-Khaṭīb, dan lainnya.

Beliau dikenal sebagai ulama yang mendedikasikan hidupnya untuk dakwah dan pengajaran, baik di timur maupun barat. Sejak muda, beliau aktif  berkhutbah dan mengajar. Setelah wafatnya ayahanda, beliau fokus mengajar ilmu-ilmu syar‘i di berbagai masjid dan lembaga pendidikan.

Beliau memainkan peran penting dalam menyebarkan ilmu Islam di dunia Barat, terutama di Amerika dan Eropa. Dengan menggunakan metode terjemahan dan penjelasan langsung, beliau mengajarkan berbagai kitab klasik kepada para penutur non-Arab. Di antara kitab yang rutin beliau ajarkan adalah Syamā’il al-Tirmiżī, Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, dan al-Muwaṭṭa’ karya Imam Mālik, yang beliau sampaikan lengkap dengan terjemahan dan syarah. Bahkan dalam beberapa kesempatan, beliau menyelesaikannya secara intensif dalam waktu yang sangat singkat.

Perhatian beliau terhadap hadis Nabi ﷺ sangat menonjol. Usahanya menghidupkan kembali tradisi riwāyah, isnād, dan ijāzah di negeri-negeri Barat menjadi bukti semangatnya dalam menjaga warisan keilmuan Islam. Beliau telah membacakan kitab-kitab hadis utama seperti Ṣaḥīḥ al-Bukhārī (4 kali), Ṣaḥīḥ Muslim (2 kali), dan al-Muwaṭṭa’ (6 kali) kepada para penuntut ilmu secara langsung, baik di Timur maupun di Barat. Beliau juga sangat teliti dalam memverifikasi hadis, menyampaikan sanad secara muttashil, dan menguasai sanad-sanad penting dari wilayah Timur dan Barat Islam.

________

Sore itu, beliau menerima 12 orang tamu: 10 dari kami adalah pelajar Indonesia, satu lagi adalah Sidi Muhammad Mahdi Mansur—khatib Zawiyah ‘Alawiyyah Casablanca—dan satu orang talibah program doktoral dari Universitas Ibn Tofail, Kenitra.

Setibanya di sana, kami disambut oleh ajudan beliau yang berpakaian rapi dan sopan. Rumah beliau sangat kental dengan nuansa khas arsitektur Maroko. Kami langsung dipersilakan duduk di ruang tamu untuk menunggu kedatangan Syekh Syarif. Tak lama, beliau datang dengan membawa sebuah kitab yang akan kami kaji sore itu: Manŝūr al-Khiṭāb karya Imam al-Qusyairī, yang telah beliau syarahi dan tahqiq sendiri dengan judul Raf‘ as-Sutūr ‘an Kitāb al-Mantsūr. Beliau memberikan kitab itu kepada kami satu per satu, disertai dengan ijazah ‘āmmah untuk kitab tersebut. Alhamdulillah, sebagai tambahan kehormatan, beliau juga menghadiahkan kami parfum eksklusif milik beliau dari kotak parfum yang hanya dimiliki kalangan terbatas.

Setelah itu, kami mulai membuka kitab yang beliau berikan. Beliau mengawali majelis dengan menyampaikan biografi Imam al-Qusyairī, silsilah keluarganya, serta keistimewaan syarḥ (penjelasan) yang beliau susun. Di antara keistimewaannya adalah penyebutan mu‘jam (daftar) guru-guru Imam al-Qusyairī secara rinci, dan penjelasan tentang madrasah beliau yang bertahan hingga 300 tahun dan melahirkan para ulama kaliber tinggi. Beliau juga menekankan bahwa tidak ada seseorang yang benar-benar mendalami tasawuf, kecuali dengan melalui kunci utamanya, yaitu Risālah al-Qusyairiyyah.

Sebelum memulai membaca isi Manŝūr al-Khiṭāb, beliau mengajak kami untuk mengirimkan Al-Fātiḥah kepada penulis kitab dan para perawi risalah ini. Lalu beliau mulai membaca dari muqaddimah hingga bab Tawbah sampai Wişāl. Setiap bagian beliau bacakan dengan menjaga sajak huruf sukun di akhir kalimat. Kami benar-benar terhipnotis oleh untaian kalimat yang penuh makna dari ulama besar tasawuf, dibacakan oleh seorang ulama besar pula.

Setelah khataman, Syekh menyampaikan beberapa nasihat dan faedah, di antaranya adalah cerita beliau saat berkunjung ke Indonesia pada tahun 2006. Saat itu, beliau mengunjungi beberapa kota seperti Pekalongan, dan disambut oleh Habib Luthfi bin Yahya, KH. Saifuddin Masir di Jakarta, dan KH. Asrori al-Ishaqi di Surabaya. Beliau bercerita tentang bagaimana dirinya dikawal oleh banyak aparat dan sangat terkesan dengan ketawadukan para ulama Indonesia.

Beliau juga sangat antusias membahas rekam jejak ulama Nusantara. Karena beliau memiliki perhatian besar terhadap ilmu periwayatan hadis, beliau menyebut beberapa nama besar seperti Syekh Yusuf Tajul Khalwati, Syekh Abdurrauf al-Fanshuri, Syekh Abdussamad al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh Mahfudz Termas, dan lain-lain. Namun, beliau menyayangkan bahwa hingga kini belum ada satu kitab khusus yang menghimpun tarājim (biografi) para ulama Nusantara. Padahal, banyak dari mereka yang menjadi guru besar di berbagai penjuru dunia karena mereka pernah mengajar di Haramain. Beliau menitipkan amanah kepada kami untuk menulis sebuah kitab yang menghimpun biografi para ulama Nusantara, dan menyarankan judul: سِجِلُّ الأَكَابِرِ لِعُلَمَاءِ جَاوَةَ وَمَا جَاوَرَهَا مِنَ  semoga harapan beliau ini bisa terwujud suatu hari nanti, āmīn. Sebenarnya masih banyak faedah yang beliau sampaikan, namun, tidak semuanya dapat penulis rangkum di sini. ‘Alā kulli ḥāl.

Sanad beliau sangat tinggi, bahkan dalam beberapa jalur sanad, setara dengan sanad sang musnid besar Syekh Yasin al-Fadani raḥimahullāh. Di antara yang beliau ijazahkan kepada kami adalah sanad Hadis al-Raḥmah. Saat ini, beliau juga sedang menyusun sebuah mawsū‘ah (ensiklopedia) sanad Dalā’il al-Khayrāt dari berbagai belahan dunia dalam 20 jilid.

Sampailah pada saat yang ditunggu-tunggu: Syekh mempersilakan kami untuk bertanya. Talibah program doktoral dari Universitas Ibn Tofail menjadi yang pertama mengajukan pertanyaan. Ia bertanya, “Syekh, di masa sekarang ini, masihkah mungkin bagi kita untuk mendapatkan mursyid untuk suluk?”

Beliau menjawab, “Kalau kamu mencari mursyid yang ma‘ṣūm, maka selamanya kamu tidak akan menemukannya. Di zaman ini masih ada mursyid yang bisa dijadikan pembimbing dalam ber-ṭarīqah. Hanya saja, Allah akan mempertemukan seseorang dengan guru yang sesuai dengan kondisinya dan maqām-nya. Dan bagi kalian yang belum dipertemukan dengan mursyid, cobalah istikamah membaca Dalā’il al-Khayrāt, karena Dalā’il akan membuka jalan bagi seorang sālik dalam segala urusannya, termasuk untuk dipertemukan dengan mursyid yang sesuai dengannya.”

Selanjutnya, saya memberanikan diri untuk bertanya, “Wahai, Syekh, pada fase kami saat ini sebagai ṭālib al-‘ilm, apakah ada keharusan bagi kami untuk tetap memiliki wirid harian berupa zikir dan selawat? Sebab ada yang mengatakan bahwa wiridnya penuntut ilmu adalah membaca kitab.”

Syekh langsung menanggapi, “Itu tidak benar. Penuntut ilmu tetap harus memiliki waktu khusus untuk beribadah. Karena itulah tujuan utama belajar.” Beliau lalu memberi contoh yang dekat dengan kita: “Imam al-Jazūlī, ketika menuntut ilmu di Al-Qarawiyyīn, memiliki ruang khusus di Madrasah al-Ṣaffārīn di kota Fès. Di sanalah beliau selalu berkhalwah. Tidak ada satu pun orang yang masuk ke dalam ruangan itu, hingga teman-temannya mengira beliau menyembunyikan harta karun. Akhirnya mereka mengirim surat kepada ayah beliau. Ketika ayahnya datang dan masuk ke ruangan tersebut, beliau mendapati di dinding tertulis:

الموت، الموت، الموت

Maka seorang penuntut ilmu harus punya waktu khusus untuk berzikir dan beribadah. Karena maksud dari belajar adalah untuk diamalkan. Siapa yang ingin ilmunya bermanfaat, maka harus dikaitkan dengan zikir.”

Beliau melanjutkan, “Inilah yang disebut sebagai al-faqīr al-mutasabbib—seorang sālik yang menempuh jalan menuju Allah dengan mengambil sebab. Berbeda dengan al-faqīr al-mutajarrid yang hidupnya hanya untuk zikir dan suluk, serta menggantungkan kebutuhan hidupnya pada orang lain. Maka ṭalab al-‘ilm masuk dalam kategori al-faqīr al-mutasabbib. Menuntut ilmu termasuk sebab-sebab datangnya dunia: menjadi dosen, pengajar, penulis, mendapat pujian, dan lain-lain—meskipun tujuan utamanya adalah menolong agama dan menyebarkan kebenaran, tetap saja tercampur dengan tujuan-tujuan duniawi. Maka harus dibarengi dengan zikir.”

“Bila seseorang belum memiliki wirid-wirid tertentu, hendaknya ia mendawamkan qiyām al-lail, zikir-zikir sunah, puasa Senin-Kamis, dan membaca selawat kepada Nabi ﷺ  minimal 1000 kali dalam sehari. Jika merasa condong kepada maksiat, maka perbanyaklah istigfar, minimal 1000 kali sehari. Lihatlah bagaimana Imam Nawawī dan Imam Ibn Ḥajar al-‘Asqalānī, keduanya memulai suluk pada masa-masa menuntut ilmu.”

Kemudian, Sidi Mehta mengajukan pertanyaan, “Yā Syaikhanā, sebagaimana yang Anda sebutkan bahwa Imam al-Qusyairī menyusun kitab ini dengan menempatkan bab-bab berdasarkan tingkatan dan derajat tertentu. Dan kita tahu bahwa susunan bab juga memiliki isyarat maknawi. Dalam kitab ini, Imam al-Qusyairī meletakkan bab tasawuf di tengah-tengah, seakan-akan menjadi jembatan antara bab sebelumnya dan sesudahnya. Apakah hal ini menunjukkan bahwa seseorang tidak bisa dianggap telah bertasawuf sebelum menempuh tahapan-tahapan dasar terlebih dahulu? Dan benarkah bahwa tasawuf bukanlah tingkatan tertinggi?”

Syekh langsung menanggapi, “Tasawuf itu adalah wadah. Di dalamnya terdapat orang-orang jujur dan orang-orang yang hanya mengaku-ngaku sebagai sufi. Siapa yang menjalankan tasawuf sebagaimana mestinya, maka ia akan sampai pada derajat ihsān. Permulaan tasawuf adalah firman Allah:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا

Inilah yang dinamakan ilmu tazkiyah dan tarbiyah. Adapun ujung dari tasawuf adalah:

أَنْ تَعْبُدَ اللَّهَ كَأَنَّكَ تَرَاهُ

Dan hadis qudsi:

وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ…

Serta firman-Nya:

وَمَا رَمَيْتَ إِذْ رَمَيْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ رَمَى

Di antara awal dan akhir itu terdapat tingkatan-tingkatan yang berbeda-beda.”

والله أعلم

Begitulah kisah sowan sore itu. Wajar bila tulisan ini panjang, karena penulis merasa sangat kagum sekaligus bersyukur bisa menghadiri majelis khusus yang dipimpin langsung oleh seorang ulama besar. Semoga Allah menjaga beliau dan para guru-guru kita.

Ditulis oleh:

Muhammad Ammar Al Amudi, Mahasiswa S1 Ma’had Mohammed VI lil Qira’āt wa ad-Dirāsāt al-Qur’āniyyah

Media Zawiyah Nusantara PPI Maroko

Tag Post :
Share This :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *