Tell Me Why

Event
Oleh Khobirotunnisa
Matahari siang ini terik sekali. Oh, bahkan aku lupa, bukan hanya siang ini, tapi  setiap hari di jam di mana bel berbunyi. Bel yang siap membangunkan santri-santri yang tertidur kehabisan baterai di kelas. Tentu karena pelajaran yang tak kunjung habis. Sampai terkadang hanya tersisa beberapa santri saja yang menegakkan kepala, tangguh menghormati guru. Berbeda dengan teman-teman di sekelilingnya, yang sudah tiarap lemas menanti istirahat.
Tapi, kami para siswa tingkat aliyah sekaligus santri yang tinggal di dalam pondokan pesantren yang nge-trend, tentu tidak pernah lemas untuk mengejar cita-cita yang sudah kami ikrarkan. Ia sungguh semacam nutrisi bagi kami untuk selalu bangun di pagi hari dan mengembangkan diri. Meski tidak aku pungkiri bahwa aku masih mempunyai pertanyaan pada diriku sendiri. Apakah aku sudah berikrar dengan benar dan yakin?.
“Sarah! Sebelum berangkat sekolah di jam siang, beli es kopi dulu, yuk.” Ajak seorang teman mengagetkanku.
“Oke, warung Ibu Sri Jaya Barokah, ya.” Sahutku.
“Oke, siap!” jawabnya sembari mengangkat jempol kecilnya.
Kami berjalan keluar kelas, melewati dan beriringan dengan banyak santri. Mereka berlari dengan menampakkan begitu jelas tujuannya masing-masing. Lihat yang sudah jauh di depan, jelas ia ingin cepat mendapat satu kamar mandi kosong tanpa mengantre. Atau ia yang terlihat lapar ingin menyantap mie rebus dengan gorengan dan tidak lupa minuman esnya. Atau ia yang bergegas dengan tujuan mulia, ia yang ingin mendapat fadhilah jamaah di masjid. Atau pun ia yang hanya ingin sekadar melanjutkan tidurnya di kamar. Macam-macam sekali, bukan?
Dan sungguh menarik, untuk aku yang belum dianggap dewasa dan tidak tahu untuk menentukan arah hidup (karena, aku masih mencarinya), tapi aku bisa begitu menikmati kehidupan pesantren dan betah. Mungkin aku mulai banyak mengambil pelajaran hidup dan mengerti.
“Oy!” kali ini teriak Ila membuyarkan lamunanku.
“Kamu udah nggarap rangkuman teks dari Pak Asep, belum?” tanyanya.
“Oh... itu, sedikit lagi,” ia melanjutkan ingin berbicara, tapi sepertinya aku tahu maksudnya.
“Ya Allah Il... aku lupa, belum nyuci tepak makan buat nanti sore. Sebentar, ya.” aku berjalan menghindarinya, lebih baik begitu. Sebut saja aku sedang belajar mempertahankan prinsip-prinsip baik, meski harus tidak sungkan untuk sekadar membantu mengarahkan.
Dan akhirnya aku bertemu kembali dengan Sarah. Ia masih dengan mukena warna putih polosnya. Tangannya penuh membawa beberapa buku dan tepak makan yang masih terlihat basah. Tatapan mata kami bertemu, memahami janji masing-masing untuk ngopi dulu. Iya, agar jam selanjutnya tidak ngantuk lagi.
“Rah, untuk tugas rangkuman Pak Asep, kamu pilih sudut pandang yang seperti apa?” tanyaku memulai perbincangan di depan warung Bu Sri.
“Oh, tentang judul radikalisme dan rasisme itu,” balasnya, yang cepat kutanggapi dengan anggukan penuh semangat.
“Rahasia. Haha,” candanya membuatku lemas.
“Ahh, kenapa Pak Asep selalu menggiring kita untuk sesuatu yang kita sendiri tidak pernah alami?” kesalku frontal terdengar.
“Mungkin, beliau hanya ingin kita bersiap diri untuk kemudian nanti, sekolah kita kan selalu ngapdet, lihat. untuk apa juga koran-koran Arab dipelajari oleh kita kalau tidak ada gunanya, Silma?” kali ini ia menyebut namaku lengkap.
“Oke baik, anggap saja begitu.”
Aku meneguhkan diri. Iya, aku hanya mengeluh dan lupa, alih-alih mengakui kebenaran yang Sarah katakan. Kami benar di sini. Fokus belajar, dan belum mengalami atau melihat secara langsung. Tapi kami bebas melihat apa saja yang terjadi di luar sana, entah lewat portal berita Aljazeera di jam pelajaran terjemah kami misalkan, atau artikel-artikel mading yang selalu diperbarui oleh tim kominfo.
Kami tidak buta, kami melihat dengan jelas dan berpikir kritis. Dan setidaknya, kami benar dilatih untuk mendebat di perlombaan debat nasional maupun internasional, tentu dengan tema-tema yang sebelumnya tidak pernah terpikirkan oleh kami.
Akhirnya aku sudah berada kembali di kelas, mapel tafsir siap kami santap siang ini. Tentu dengan beliau, guru tafsir kami yang tampak gagah pun galak. Ia tidak membawa kitab. Kitab Tafsir Al Maroghi dengan ayat-ayat pilihan yang akan dipelajari sudah kami siapkan sebelumnya. Terlihat beliau sekarang beranjak duduk, dan kemudian dengan khas membuka kelas.
“Iqro!”
Begitu ia memerintah salah satu santri untuk menjadi qori di jam pelajarannya. Iya, kami mempelajari kitab Tafsir Al Maroghi karangan Ahmad Musthafa Al Maroghi yang berasal dari Mesir, dan merupakan murid dari Muhamad Abduh. Ia tokoh pembaharu islam yang agaknya dianggap berbeda dari mazhab akidah yang kita anut. Dan meski pada akhirnya Muhamad Abduh harus pergi meninggalkan Mesir. Untuk kemudian tidak berhenti melanjutkan dakwah pemikirannya.
“Bacalah Tafsir Al Maroghi, ia mempunyai bahasa yang kontemporer dan ta’birnya juga bagus, sangat efektif dipelajari oleh siswa bahasa” pesan beliau bijak. Aku ingat jelas, bagaimana Kyai kami pun selalu mengarahkan kami untuk banyak membaca kitab ini, bahasanya benar-benar kekinian.
Dua jam berlalu, ustaz mengakhiri kelasnya. Seperti biasa, terlihat beberapa dari kami mengantuk nikmat lagi. Pergantian jam yang ditunggu-tunggu, langkah guru menuju pintu keluar yang dinantikan, untuk sekadar melemaskan badan setelah berpikir keras, dan sebelum guru selanjutnya datang mengganti pelajaran.
“sil, paham nggak tadi yang diterangkan Ustaz?” tanya Sarah di sampingku.
“sedikit. Hehe,” jawabku.
“Oke, aku percaya apa yang diceritakan Pak Asep, kalo soal paham itu bisa datang nanti setelah kita lulus, iya! Aku akan terus percaya itu.” balasnya penuh yakin.
Dan entah bagaimana, aku pun mengangguk setuju dan percaya. Meski terkadang aku berpikir seakan ingin menyangkal, mengapa tidak paham setelah memuroja’ahnya di kamar saja. Mengapa harus menunggu waktu yang lama. Tapi benar begitu setelah kami belajar lagi bersama, pun tidak nampak bahwa kami benar-benar paham. Lalu akhirnya, kami percaya dan optimistis lagi. Besok kami akan belajar dan paham. Kalau bisa sebelum lulus, harapan tambahannya.
            Kini kelas tampak gaduh, ramai di sana-sini. Mereka terlihat sibuk, sibuk berbicara  ingin suaranya didengarkan. Entah apa yang sedang didiskusikan, aku abai. Sedang pintu kelas masih menganga, tidak nampak bayangan siapa yang akan datang, sesekali terlihat bayangan dan langkah kaki yang terus mendekat, membuat penasaran para santri yang memerhatikan. Dan sayang bukan seorang guru yang datang. Tapi ia hanyalah salah satu dari kami yang tadi keluar untuk ke kamar mandi.
            Sudah lima belas menit kami menunggu. Ketua kelas yang menjadi panutan dan teladan mengarahkan divisi pendidikan untuk pergi menanyakan jam kami. Tidak rela kelasnya terlihat tidak kondisional, ia akhirnya mengajak teman-temannya untuk melakukan sesuatu. Dan seperti biasa, kami serentak kompak menyenandungkan bait-bait Alfiyah yang sebenarnya tidak kami hafalkan. Lalu salah satu dari kami bersemangat menabuh meja, mengubahnya menjadi musik pengiring. Semangat menggelora, wajah-wajah tersenyum semringah. Benar, kami sangat bahagia walau hanya seperti itu.
            Kau tahu? Ia yang datang dengan membawa kabar dari kantor pun, tidak kami hiraukan. Kami terus melanjutkan bait, dan hanya akan berhenti pada bait terakhir yang kami pelajari. Ia paham dan mengerti. Tidak bisa menyela kami meski dengan kabar guru yang tidak datang sekalipun.
            “Bu Ani berhalangan tidak bisa hadir. Beliau memberikan tugas kelompok.” lapornya pada kami setelah kami merampungkan senandung bait Alfiyah.
            “Yey! Tugas kelompok. Alhamdulillah.” sebagian dari kami bersorak riang. Sebagian lagi lebih merasa senang jika tidak ada tugas. Itulah aku dari sebagian itu.
            Kelas ini, setidaknya mempunyai masternya masing-masing di setiap mapel. Sebut saja sang profesor matematika yang tidak mempunyai beban angka-angka.  Atau sang kamus berjalan yang hafal setiap kosakata. Atau mufassiroh yang menghafalkan ta’bit-ta’bir Tafsir Al Maroghi. Semua jelas ada dan terkumpul dalam kelas ini. Sebutlah mereka adalah agents of change, termasuk aku pastinya. Dan sungguh merugilah bagi siapa pun yang meremehkan kami.
            “kelompoknya seperti biasa, ya.” saran Sarah kepada teman-temannya.
            “Iya, silahkan mengerjakan tugasnya masing-masing malam nanti,” jawabnya membuat kami yang akan memulai berhenti.
            “Sekarang, kita harus bergegas masuk lab bahasa bersama Pak Asep.” sambungnya sembari menyiapkan diri.
            Firasatku berkata, bahwa tugas teks yang beliau berikan, akan segera diulas dan dibahas. Aku tidak tahu akan secepat ini. Untungnya buku tempatku mengerjakan tugas selalu aku bawa. Ahh buku tebal isi 200 ini, memang terkadang menyebalkan. Aku benar telah mengeluh lagi karena ia terlalu berat. Sama dengan ukuran kitab atau kamus. Walau berbeda, tapi aku tetap saja menganggapnya sama. Berat.
            Kami bersiap dengan mengambil kamus bahasa Inggris John M. Echols yang dominan berwarna biru tua, tidak lupa dengan warna kuning, hijau, dan merahnya yang berbaris rapi dan berurutan di cover depannya. Ia benar merepresentasikan warna pelangi di langit atas yang menarik hati. Kami sebenarnya sangat penasaran sembari berjalan menuju lab, berharap kelas ini menjadi kelas watching atau listening. Itu semacam hiburan yang selalu dinantikan oleh kami. Dan ketika kami memasuki lab, layar proyektor sudah terpasang menyilaukan. Kini kami bersemangat mengambil posisi duduk, dan merapikan diri.
            “Morning.” Sapanya penuh wibawa. Beliau seperti biasa menyapa dengan selamat pagi, tidak peduli sudah siang atau sore. Hey, kami memahami maksudnya. Itu seperti sugesti yang beliau berikan, untuk mengembalikan semangat kami seperti di pagi hari. Dan sudah menjadi naluri kami, kami dengan sendirinya akan bersemangat sekali di kelas ini,  dengan tontonan film atau mendengarkan lagu yang nantinya harus kami isi apa lirik tepatnya.
            “Sebelum memasuki pelajaran, sudah siapkan tugas kemarin untuk dipresentasikan?” tanyanya membuat kami menelan ludah.
            “Pak, belum sepenuhnya saya yakin dengan rangkuman teksnya, Pak. mungkin satu kali revisi lagi,” sang kamus berjalan yang memintali ternyata.
            “Oke, kali ini, saya akan sedikit membantu kalian, agar kalian lebih yakin lagi. Bagaimana? Siap?” jawabnya memberikan kami asupan antusiasme.
            “Siap, Pak!”
            Kami menyahut kompak memberi sinyal tanda antusias. Beliau terlihat membuka Youtube, lalu menuliskan nama pada pencarian, “Declan Galbraith Tell Me Why”. Benar, kami di kelas Listening sekarang, video seorang anak bule berumur 10 tahun sudah terlihat jelas di layar proyektor. Ia tampak layaknya seorang penyanyi cilik. Gagah dan bersemangat seperti sedang meneriakkan sesuatu, lalu seorang anak seperti berkebangsaan Afrika menemaninya, tapi gambarnya seakan membuyar dan memudar. Ia terlihat sederhana. Dengan interior hitam pekat di sekelilingnya.
            Pak Asep yang berdiri di depan kami, lalu memerintah kami untuk menutup mata dahulu. Mungkin agar kami lebih khusyuk dalam mendengarkan, atau karena lirik lagunya yang memang sudah tertulis dalam videonya. kami tidak mengerti. Dan saat video lagunya diputar untuk pertama kali oleh beliau, betapa kami tertegun. Pelafalannya sangat  jelas. Kami tidak perlu lagi membuka kamus. Kami mengerti maksud lagunya. Lalu hanyut pada kekhidmatan masing-masing.
            Ini adalah sebuah lagu jeritan hati seorang anak kecil. Ia mengeluhkan dunia yang ia lihat tidak seperti mimpinya. Ia menanyakan apa yang terjadi dengan dunia yang  tidak seharusnya. Ia mencari jawaban. Ia menyindir orang-orang dewasa yang selalu berkepentingan. Sedang kami mulai dibangunkan oleh liriknya yang begitu dalam. Oleh ekspresinya yang  tidak aku bayangkan.
            “Everyday I ask myself what will I have to do to be a man.
            Do I have  stand and fight to prove to everybody who i  am?
            Is that what my life is for to waste in a world full of war?”
            Lalu kami tertampar. Dan merasakan sakit yang begitu menyakitkan. Kami tertunduk dan mulai berpikir. Kami menangis untuk kemudian tersenyum optimistis. Kami terisak untuk kemudian sama-sama berteriak. Kami beranjak untuk memperjuangkan sampai darah penghabisan.
“Tell me why (why, why, why does the tiger run?) Tell me why (why, why, why, do we shoot the gun?)
Tell me why (why, why, why do we never learn?)
Can someone tell us why we let the forest burn?
Tiga kali sudah lagu ini diputar berulang-ulang, dan sudah membayang lekat di pikiran kami. Pak Asep yang sedari tadi memerhatikan kami terlihat tersenyum penuh arti. Beliau sudah memberikan pelajaran yang tidak akan terlupakan. Seorang guru yang menyiapkan muridnya untuk berjuang di  jalan perdamaian dan keamanan. tekad yang sudah mulai tertanam, akan tumbuh subur di hati para petualang. Kami siap menantang masa depan. Lalu, pada saat beliau meminta kami untuk mengulas dan menghubungkan dengan tugasnya, kami berbinar penuh percaya diri. Mengangkat tangan tinggi-tinggi. Aku siap maju.
            “Sama seperti Declan, aku juga selalu bermimpi. Membayangkan dunia selalu menjadi tempat yang nyaman dan aman bagi siapa pun. Tapi saat kami tumbuh, dan kami melihat bersama realitas sejarah yang terus berjalan dari masa ke masa, khususnya pada masa sekarang, aku menjadi tidak mengerti. Mengapa begitu rumit. Jika kita bisa berteman dan saling membantu, mengapa yang terjadi justru saling menyalahkan dan bermusuhan?. Seperti itu, seharusnya kita berpikir dan menentukan pilihan untuk menjadi manusia yang berguna bagi dunia. Tidak dengan radikalisme atau rasisme. Dan aku menyuarakan. Aku mengajak kita semua untuk memperbaikinya dengan sesuatu yang kita bisa. Walaupun itu terlihat kecil. Aku yang akan kembali kepada desaku nanti, aku akan menjaganya. Karena ia adalah bagian dari dunia. Kamu yang mencintai alam, akan mengabdikan diri padanya. Menjaganya. Karena ia adalah bagian dari dunia. Kamu yang akan pergi melaut, akan menyayangi dengan setulus hati merawatnya. Karena ia adalah bagian dari dunia. Kita yang akan merantau jauh menuju negeri orang, bahkan sama mempunyai tanggung jawab untuk menebarkan persatuan dan toleransi. Aku, kita akan mengampanyekan tentang kemanusiaan, keamanan, perdamaian, dan iklim dunia melalui sekrup-sekrup kecil yang tidak boleh dimatikan pada mesin raksasa yang sedang berjalan ini. Bukankah begitu Abah Yai kita berpesan?”.
            Cukup panjang ulasan yang aku berikan. Gemetar untuk sekadar menatap teman-teman, lalu mencair seiring dengan mode pengaturan sadar untuk terus mengontrol diri. Dan sejenak kemudian aku membayangkan, menjadi orang-orang yang  berada di majlis umum PBB yang menyuarakan keadilan dan sebagainya. Ah, selalu ada yang perlu aku jaga. Setidaknya harus menjadi sekrup kecil seperti pesan Kyaiku.
            Dan begitu cerita singkatku kali ini berakhir cepat. Latar belakang kami sebagai santri, tentu akan menjadi dorongan yang kuat bagi kami. Iya, untuk selalu berjuang pada bidang-bidang yang akan kami tekuni. Karena kami adalah bagian dari dunia. Terima kasih kyai-kyaiku. Terima kasih guru-guruku. Terima kasih pesantrenku.
Ditulis Oleh : Khobirotun Nisa
Mahasiswa tingkat dua Ma’had Imam Nafie Tangier
No.telp +212 604-025873
Tag Post :
Cerpen
Share This :

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Artikel Populer