Menelusuri Jejak Snouck Hurgronje di Nusantara

Menelusuri Jejak Snouck Hurgronje di Nusantara

Siapa itu Snouck Hurgronje?

Berbicara mengenai sosok Snouck Hurgronje tak akan lepas dari sejarah Indonesia, khususnya daerah Aceh. Nama Snouck Hurgronje pastinya tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia terlebih para pegiat sejarah yang saat ini mulai menjamur di bumi pertiwi. Snouck Hurgronje merupakan seorang orientalis asal Belanda. Ia lahir di Tholen, Oostherhout, Belanda, pada 8 Februari 1857, berasal dari keluarga protestan yang taat. Pada tahun 1874, Snouck Hurgronje menjadi mahasiswa teologi di Universitas Leiden. Berkat ketekunan dan keuletan yang dimilikinya, ia pun meraih gelar doktor pada tahun 1880 dengan disertasi yang diajukannya berkenaan dengan Makkah. Belum puas dengan gelar doktor yang disandingnya, ia pun mulai mengembangkan karir dan karyanya dengan tujuan agar dapat meraih gelar profesor. Akhirnya, setelah satu tahun ia menyandang gelar doktor, impiannya untuk menyandang gelar profesor pun terwujud. Tepatnya pada tahun 1881 ia resmi menyandang gelar sebagai seorang profesor.

Perjalanan Snouck dalam Mempelajari Islam

Ia mulai memasuki Makkah pada tahun 1885 dengan tujuan untuk mendalami Islam. Karena hubungan baiknya dengan para gubernur Ottoman di Jeddah, ia pun berhasil menarik perhatian ulama di Jeddah untuk mempelajari agama Islam. Di Makkah ia pun menikah dengan seorang perempuan asal Jeddah. Setelah ia memperkaya pengetahuannya mengenai Islam di Makkah, para kolonial pun berencana untuk mengirimkannya ke Aceh dengan tujuan untuk mempelajari adat dan tradisi yang ada di Aceh, dikarenakan kolonial mulai kewalahan untuk menaklukan Aceh pada saat itu. Kolonial menyandangkan nama Aceh sebagai bangsa maut dikarenakan menjadi daerah yang sangat  sulit untuk ditaklukan di Nusantara. Bagaimana tidak, perang antara Aceh dan Belanda berlangsung sangat sengit dan dalam kurun waktu yang berkepanjangan.

Tercatat perang Aceh dengan kolonial Belanda berlansung sejak tahun 1873 sampai dengan datangnya Jepang ke Nusantara. Namun beberapa sejarawan juga ada yang berpendapat sebagian daerah Aceh takluk oleh Belanda pada tahun 1903. Aceh menjadi salah satu daerah incaran Belanda dengan alasan letak geografisnya yang bertepatan di Selat Malaka yang menjadi jalur perdagangan internasional. Akan tetapi, dengan slogan jihad fi sabilillah, para masyarakat aceh rela mengorbankan segalannya untuk mempertahankan daerah kelahiran mereka. Latar belakang inilah yang membuat para kolonial kewalahan dalam menaklukan daerah Aceh hingga terjadi peperangan yang berkepanjangan.

Hal inilah yang membuat para kolonial Belanda mengirimkan Snouck Hurgronje ke Nusantara, khususnya ke daerah Aceh, untuk menyerang bangsa Aceh melalui pendalaman adat juga agama yang dianut masyarakat Aceh pada saat itu yakni Islam. Hal ini pun dipertegas oleh Benhard H.M Vleke dalam bukunya Nusantara Sejarah Indonesia, “mereka pun sadar ada yang salah dalam kebijakan pemerintah Hindia Belanda dan menjadi jelas bahwa kesalahan yang dilakukan tersebut disebabkan oleh ketidaktahuan tentang negeri yang ditaklukan oleh mereka.”

Tipu Muslihat Snouck

Sejak menempuh pendidikannya di perguruan tinggi, Snouck Hurgronje juga telah memperhatikan peperangan antara Aceh dengan kolonial Belanda yang sangat berkepanjangan saat itu. Tak hanya itu, ia juga telah menyadari ada beberapa kekeliruan yang tak disadari oleh kolonial Belanda saat ingin menaklukan Aceh sehingga peperangan itu berlansung sangat sengit. Snouck Hurgronje juga mulai mempelajari tentang keadaan bangsa Aceh saat ia berada di Makkah yakni dengan berbaur dan beradaptasi dengan masyarakat Aceh yang berada di Makkah untuk melaksakan ibadah haji pada saat itu. Masyarakat Aceh yang melaksanakan ibadah haji pada saat itu pun ikut berbaur dan mempercayai Snouck Hurgronje yang dengan kelicikannya ia berlakon sebagai mualaf dan memalsukan namanya menjadi Abdul Ghaffar. Demikian penjelasan MH Gayo dalam bukunya Perang Gayo Alas Melawan Kolonialisme Belanda.

Sebagai bentuk siasat koloial Belanda dalam menaklukan Nusantara, akhirnya Snouck Hurgronje pun dikirim ke Indonesia pada tahun 1889 untuk menjadi peneliti pendidikan Islam di Buintenzorg atau yang saat ini dikenal dengan Bogor. Tak hanya itu, ia pun menjadi guru besar bahasa arab di Batavia pada tahun 1990. Tak lama setelah kedatangannya di Nusantara, ia pun kembali meminang seorang putri bangsawan asal Ciamis. Hal itu pun memberi ruang bagi Snouck untuk mempelajari tradisi Nusantara dan apa saja yang terselubung di dalamnya, termasuk cara beradaptasi dengan masyarakat Indonesia saat itu.

Peran Snouck dalam Penaklukan Aceh

Aceh yang saat itu masih dalam gencatan senjata perang dan menjadi sasaran bagi Belanda untuk ditaklukan pun mulai dimata-matai oleh Snouck. Bagaimana tidak, Tanah Rencong yang sejak dulu telah menjadi incaran kolonial, namun belum bisa ditaklukan sampai dengan saat itu, hingga dijuluki bangsa maut oleh para kolonial, masih berdiri dengan kokohnya di tepi Sumatera. Akhirnya dengan modal bahasa melayu, pada tahun 1891 Snouck Hurgronje mulai memasuki Aceh, sebagian sejarawan menyebutkan antara tahun 1891-1892 tepatnya. Ia mulai masuk pada 23 Mei 1891. Dengan nama Abdul Ghaffar yang dimilikinya, ia mulai membangun relasi dengan para tokoh-tokoh dan ulama Aceh hingga ia berhasil menjalin hubungan yang baik dengan mereka.

Selama 7 bulan Snouck menginjakkan kaki di tanah Aceh ia pun mulai memahami taktik  dan alasan mengapa Aceh sulit untuk ditaklukan oleh para kolonial Belanda, sehingga ia berencana untuk mengaplikasikan taktik politik devide et impera di kalangan masyarakat Aceh kala itu. Politik devide et impera ialah siasat politik yang dilakukan dengan cara memecah belah pihak atau adu domba dengan melakukan pendekatan kepada pihak tersebut tanpa mengedapankan kekerasan. Usahanya pun membuahkan hasil. Akhirnya, pada 23 Mei 18992 ia menulis Atjeh Versleg sebagai bentuk laporannya tentang Aceh kepada kolonial Belanda di Batavia saat itu, laporan tersebut berisikan cara dan taktik untuk menaklukan bumi serambi Makkah. Laporan ini pun sempat dibukukan dengan judul De Atjeher. Pada tahun 1898 ia pun kembali menikah untuk yang ketiga kalinya, kali ini ia meminang seorang putri pejabat agama Islam di Bandung yakni Siti Sadiah.

Snouck Hurgronje mulai menjadi petinggi Belanda, ia mengambil peran sebagai penasehat resmi kolonial Belanda. Ia juga berhasil menulis lebih dari 1400 makalah tentang Aceh termasuk mengenai Islam di Indonesia. Tak hanya itu, ia juga berhasil menjadi orang kepercayaan gubernur sipil dan militer Hindia Belanda untuk wilayah Aceh kala itu yakni J.B. Van Heutz. Ia pun mulai menjadi penasehat terdekat kolonel J.B Van Heutz pada tahun 1898. Berkat usaha dan siasat yang dimilikinya akhirnya Aceh pun takluk di bawah kekuasaan Belanda. Sebagian sejarawan menyebutkan Aceh takluk pada Januari 1904 di mana pada saat itu Sultan Daud Syah menyerah. Namun tak berhenti disitu, Aceh tetap melakukan perlawanan di bawah kepemimpinan para hululubalang yakni para pemimpin setingkat kabupaten jikalau ditinjau dari struktur pemerintahan Indonesia saat ini. Tak hanya hululubalang, para ulama juga ikut berperan dalam perang gerilya tersebut yang berlangsung hingga tahun 1914 M.

Berpulangnya Snouck ke Belanda

Pada tahun 1904 setelah Belanda menaklukan Aceh, Snouck Hurgronje pun kembali ke Belanda karena kekecewaannya kepada kolonial Belanda yang pada saat itu tidak mendengarkan sarannya, yaitu untuk tidak melakukan penyerangan melainkan dengan metode devide et impera, karena penyerangan hanya dapat menambah masalah baru bagi para kolonial Belanda sendiri. Pada tahun 1907 ia telah dikukuhkan sebagai guru besar Universitas Leiden dan diangkat sebagai penasehat kementrian urusan kolonial di Kerajaan Belanda setelah sebelumnya ia sempat ditawarkan untuk menjadi guru besar di Universitas Nasional Kairo, namun ia menolak tawaran tersebut dan memilih untuk menetap di Belanda dan menjadi guru besar di Universitas Leiden, Belanda.

Tak lama setelah ia kembali ke tanah kelahiranya di Belanda, ia pun kembali menikah untuk yang keempat kalinya, kali ini ia menikahi seorang putri pendeta Belanda. Hal ini pun menjadi bukti bahwa ia hanyalah berlakon untuk menjadi mualaf dulunya dengan tujuan untuk mempelajari Islam dan menaklukan Nusantara khususnya Aceh. Karirnya pun mulai meningkat saat ia kembali ke Belanda.

Snouck Hurgronje menghembuskan nafas terakhirnya pada 16 juli 1936 di Leiden, Belanda, tepat saat ia berusia 79 tahun, yang mana pada saat itu ia masih mengampu jabatan  sebagai penasihat kementrian urusan kolonial di Kerajaan Belanda.

Menelusuri Jejak Snouck Hurgronje di Nusantara, Muhammad Farhan, Universitas Ulumul Islamiyah Qarawiyyin, Casablanca.

Dapatkan konten menarik di TikTok PPI Maroko

Mingguan menulis: Father of Doctor

Tag Post :

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *