Selama ini kita mengenal Majusi atau Zoroastrianisme sebagai agama yang pengikutnya menyembah api, namun jika kita mempelajari dan meneliti lebih jauh, kita akan menemukan beberapa ajaran dan ritual agama tersebut yang mirip dengan yang ada dalam agama Islam. Muncullah beberapa pertanyaan; mungkinkah Majusi dahulunya merupakan agama yang lurus dan benar, namun seiring berjalannya waktu menjadi melenceng dan jauh dari ajaran aslinya?
Berikut ini penulis tidak akan menjelaskan apa itu agama Majusi secara panjang lebar, namun hanya akan membeberkan ajaran-ajaran yang mirip antara dua agama tersebut, setiap orang berhak memberikan pendapatnya, namun untuk masalah benar atau tidaknya hanya Allah lah yang tahu.
1. Zarathustra sang pelopor ajaran, apakah ia seorang Nabi?
Dari berbagai sumber, Zarathustra yang lahir dan besar di Persia dikenal sebagai seorang imam pengajar, tokoh masyarakat, tokoh pembaru agama tradisional dan seorang Nabi bagi beberapa golongan yang mempunyai karunia untuk menyembuhkan dan sanggup melakukan berbagai mujizat.
Melihat keadaan spiritual masyarakat Persia yang tidak jelas, yang mana sebelum ia lahir agama yang ada di Iran (Persia) terdiri dari macam-macam ajaran seperti politeisme, paganisme, dan animisme, maka Zarathustra ingin memperbaiki sistem kepercayaan dan cara penyembahan kepada dewa-dewa yang berkembang di Persia saat itu. Mulailah selama bertahun-tahun ia berusaha menemukan penyingkapan-penyingkapan dari kebenaran spiritual, dan akhirnya pada umurnya yang ke 30 Zarathustra menerima sebuah penglihatan (wahyu). Menurut legenda, ia melihat cahaya besar yang kemudian membawanya masuk dalam hadirat Ahura Mazda. Sejak perjumpaannya dengan Ahura Mazda tersebut, Zarathustra menjadi semakin giat menyebarkan ajaran bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Ahura Mazda. Ajarannya yang sangat berbeda dengan kepercayaan yang ada pada waktu itu menyebabkan Zarathustra mendapat tekanan yang pada akhirnya ia pun akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dan pergi ke Chorasma atau (Qarazm).
Ia meninggal pada umurnya yang ke 77 tahun (tahun kelahiran dan kematiannya tidak diketahui secara pasti) karena dibunuh, ketika ia berada dalam konflik melawan para Daeva (dalam bahasa Persia berarti raksasa, setan, dan hal negative lainnya) yang berasal dari daerah Turan Persia.
2. Monoteisme (Satu Tuhan)
Meskipun pengikut Zoroastrianisme meyakini prinsip dualisme yaitu mempercayai bahwa ada dua kekuatan yang bertentangan dan saling beradu yakni kekuatan kebaikan (Ahura Mazda atau Spenta Mainyu) dan kejahatan (Angra Mainyu atau Ahriman), namun pada dasarnya ajaran Zarathustra adalah monotheisme, yaitu menyembah hanya satu Tuhan, Ahura Mazda. Ia dianggap sebagai Sang Maha Pencipta, segala puja dan sembah ditujukan hanya kepadanya dan Ia juga merupakan Tuhan Universal (semesta alam) dan Maha Kuasa.
Sedangkan api yang mereka sembah, mereka anggap hanya sebagai perantara hubungan mereka dengan Tuhan. Api tersebut menjadi symbol kehadiran Sang Terang atau Dewa Kebaikan, selain itu juga menjadi simbol kesucian. Api tersebut selalu mereka jaga agar Dewa Kebaikan selalu menang atas Dewa Kejahatan, dan agar mereka selalu diliputi kesenangan dan kebahagiaan. Sepertinya fakta ini terasa sesuai dengan firman Allah dalam Al-Qur’an surat Az-Zumar ayat 3 yang artinya; dan orang-orang yang menjadikan sekutu-sekutu selain Allah (mereka mengatakan); “tidaklah kami menyembah mereka kecuali untuk mendekatkan kami kepada Allah.”
3. Makhluk suci tak terlihat
Ajaran Zarthustra meyakini adanya makhluk-makhluk suci tak terlihat yang bersifat pengasih yang membantu perjuangannya. Namun setelah meninggalnya Zarathustra, kepercayaan kepada makhluk-makhluk suci tersebut dirubah menjadi konsepsi kedewataan yang dihubungkan dengan penciptaan alam, yang terdiri dari enam tingkat penciptaan benda-benda alam, yaitu:
· Asha Vahista: Dewa tata tertib dan kebenaran yang indah dan sering digambarkan sebagai dewa yang menguasai api;
· Vohu Manah: Dewa hati nurani baik (God mind) dan sering digambarkan sebagai sapi jantan;
· Keshatra Vairya: Dewa pencinta dan penguasa segala logam;
· Spenta Armaity: Dewa ibadah yang penuh kasih dan penguasa bumi dan tanah;
· Haurvatat: Kebulatan dan kekuasaan serta penguasa air dan tumbuh-tumbuhan;
· Amertat: Sama seperti Haurvatat, sebagai dewa kebulatan dan kekuasaan serta penguasa air dan tumbuh-tumbuhan
4. Suci diri dan pakaian sebelum beribadah
Sebelum memasuki kuil tempat beribadah, ataupun melakukan ritual ibadah lainnya, para pengikut Zoroaster diharuskan untuk mensucikan dirinya dan menggugurkan dosanya dengan cara berkumur, membasuh wajah dan telapak tangannya menggunakan air bersih. Ritual ini sangat mirip dengan wudhu dalam agama Islam, meskipun dilakukan secara tidak sempurna
Pakaian pun menjadi perhatian mereka ketika beribadah. Pengikut Zoroastrianisme diharuskan memakai pakaian panjang putih bersih (melambangkan kesucian) yang menutup dari leher sampai ke kaki (seperti jubah Arab saat ini), adapun kaum wanitanya diharuskan memakai penutup kepala (seperti jilbab) sebagai lambang penghormatan dan ketundukkan. Terlebih lagi bagi pembesar mereka yang melakukan kontak den
gan api langsung (menjaga api tetap hidup dan berdoa didepannya) diharuskan memakai pakaian panjang juga penutup muka, hal ini dilakukan agar api yang suci tidak ternodai oleh air mata, keringat dan air liur manusia yang mereka anggap kotor.
5. Mengeluarkan sebagian harta
Jika di dalam agama Islam pengikutnya diwajibkan mengeluarkan sebagian dari hartanya yang baik-baik, maka dalam ajaran Zoroastrianisme juga terdapat sebuah ritual yang mirip. Yaitu mereka membagikan buah-buahan mereka kepada orang lain dan memasukkan buah delima ke dalam lubang api untuk dilahap api, karena menurut para pengikut Zoroastrianisme, buah delima lah buah-buahan yang paling berharga bagi mereka.
6. Kehidupan setelah kematian dan kiamat
Dalam pemahaman Zoroastrianisme, setiap orang akan mengalami penghakiman setelah meninggal. Penganut Zoroaster meyakini bahwa ketika seseorang meninggal, ia harus dapat membuktikan dirinya telah melakukan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan. Mereka percaya setiap roh manusia yang telah meninggal harus melewati Jembatan Cinvat yaitu jembatan yang menuju ke sorga. Jiwa manusia sesudah meninggal akan tetap tinggal selama tiga hari di dalam tubuhnya dan baru pada hari ke empat dibawa menuju penghakiman di Jembatan Cinvat.
Setelah berhasil melewati jembatan ini maka seseorang akan hidup bahagia dengan rahmat Ahura Mazda. Semakin banyak kebaikan yang dibuat seseorang maka akan semakin lebarlah jembatan itu dan sebaliknya, semakin besar kejahatannya maka semakin sempitlah jembatan itu hingga rohnya tidak dapat melewatinya dan jatuh dari Jembatan Cinvat. Di bawah jembatan inilah terdapat neraka yang penuh api, sebuah tempat yang suram dan penuh kesedihan. Menurut ajaran Zoroastrianisme, dunia akan mengalami pembaruan menuju kesempuranaan dan jiwa-jiwa baik yang masih hidup dan sudah mati akan dibebaskan selamanya dari kuasa jahat. Pembaruan dunia dan kebangkitan kembali seluruh ciptaan disebut Frashokeveti [1], atau umat Islam lebih mengenalnya dengan istilah Kiamat.
7. Etika hidup dan pertanggungjawaban
Para pengikut Zoroastrianisme menekankan tiga hal dalam hidup sebagai etika hidup yang ideal yaitu pikiran yang baik, perkataan yang baik dan perbuatan yang baik. Mereka memberi kebebasan bagi para penganutnya apakah hendak melakukan kebaikan atau keburukan, karena dalam keyakinan mereka, apa yang dilakukan, dikatakan dan difikirkan seseorang selama hidup akan dipertanggungjawabkan setelah kematiannya dan akan menentukan apa yang akan terjadi setelah orang itu meninggal.
8. Belum diwajibkan beribadah sampai cukup umur
Dalam ajaran Zoroastrianisme, seorang anak kecil belum wajib menjalankan ajaran-ajaran agama sampai ia bisa berpikir dan setelah mengikuti ritual Naojote (Nao: Baru, Jote: mempersembahkan doa-doa). Anak-anak laki-laki ataupun perempuan yang sudah dewasa, ataupun berumur tujuh hingga sepuluh tahun disucikan di ritual ini, kemudian diberikan pakaian Sadre dan Kusti yaitu pakaian suci yang harus dipakai seumur hidup. Setelah mengikuti ritual ini, barulah anak-anak dianggap sudah punya kewajiban dan tanggung jawab untuk menjalankan ritual-ritual keagamaan dalam ajaran Zoroastrianisme
9. Beribadah bisa dimana saja tidak harus di kuil dan cara doa
Meskipun lebih diutamakan beribadah di Atesgah (kuil api), namun para pengikut Zoroastrianisme tidak diharuskan pergi ke kuil ketika menjalankan upacara keagamaan sehari-hari. Mereka bisa berdoa dimana saja, baik di ladang-ladang, gunung-gunung ataupun di rumah.
Waktu terbaik bagi mereka untuk beribadah adalah ketika matahari terbit dan matahari terbenam. Mereka membungkukkan badan dan merunduk mencium tanah (sepeti sujud dalam Islam), kemudian mengucapkan harapan mereka sambil mengangkat tangan di depan kepala (seperti berdoa umat Islam, namun ketika sudah selesai mereka tidak mengusapkan tangan di muka, akan tetapi menyilangkan tangan di depan dada).
10. Isi Kitab Suci
Kitab suci mereka disebut Avestan Vendidad, mirip seperti dalam Islam mereka juga yakin dengan konsep membaca kitab suci akan membantu meringankan tugas manusia dari segala kekurangan yang didapatkan di bumi. Pengikut Zoroastriansme juga suka membaca kitab-kitab mereka sampai berhari-hari setelah kematian salah seorang keluarga.
Dan ternyata beberapa isi kitab Avestan juga relevan dengan apa yang disebutkan di kitab-kitab samawi (Taurat, Zabur, Injil, Qur’an) diantaranya:
· Kisah air bah: Disebutkan bahwa sebuah musim dingin memusnahkan populasi bumi kecuali keluarga Yima di Vara. Dalam kisah tersebut, bumi kemudian diisi oleh orang-orang baru dengan sepasang makhluk terbaik utk tiap jenis, dan lalu bumi terbagi menjadi tiga kerajaan (berasal dari tiga anak Yima). Tiga anak dari penerus Yima tersebut adalah: Airya, Sairima dan Tura. Kisah ini mirip dengan kisah Nabi Nuh dalam Al-Qur’an.
· Manusia berasal dari dua orang: Dalam agama abrahamik (Yahudi, Nasrani dan Islam), umat manusia berasal dari dua orang Adam dan Hawa. Sama halnya dengan Zoroastrianisme. Mashya (lelaki) serta Mashyana (perempuan) adalah Adam dan Hawa versi agama asli Persia ini
· Masa penciptaan: Enam hari penciptaan dalam Al-Qur’an (lihat surat Yunus ayat 3) mirip dengan enam perioda penciptaan yang dituliskan dalam ayat-ayat Zoroastrian
11. Pendapat ulama Islam
· Ulama Corddoba dari abad ke 11 Ibn Hazm berpendapat bahwa sebutan Kitabi “ahlul kitab” tidak berlaku bagi Zoroastrian dikarenakan pernyataan mereka bahwa kitab mereka telah dihancurkan dan dilenyapkan oleh Alexander Agung. Hal ini bisa mendukung teori yang mengatakan bahwa Zoroaster dulunya adalah agama yang benar, namun menjadi melenceng ketika kitab suci dan ajaran asli mereka ditinggalkan.
· Mengutip dari ulama abad ke 8 al-Kalbi, seorang sejarawan Sunni dari abad ke 9 dan 10 al-Tabari memberitakan bahwa Zaradusht bin Isfiman (Sebutan Arab untuk “Zarathustra Spitama”) adalah seorang penduduk Israel dan seorang pembantu dari salah seorang murid Nabi Jeremiah. Menurut cerita ini, Zaradusht menipu tuannya, yang kemudian menyumpahinya, dan menyebabkan ia terjangkit pe
nyakit kusta. (Gehazi si budak Elisha dalam kitab Yahudi).
Dari tulisan diatas kita dapat menemukan banyak sekali nilai-nilai diantara dua agama yang mirip atau benar-benar sama. Maka tak aneh ketika Islam datang dan berkuasa di Persia, penduduknya dengan mudah berpindah ke agama Islam dan meninggalkan ajaran Zoroastrianisme hingga hampir punah (kecuali sebagian kecil yang akhirnya memilih pindah ke Bombay India).
sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Zoroastrianisme