Catatan Perjalanan Spiritual di Fes

3 Hari yang Tak Terlupakan: Catatan Perjalanan Spiritual di Fes

Oleh Khalid Muntadzar

Mahasiswa S1 Universitas Sidi Mohamed Ben Abdellah Fes

Tiga hari terakhir ini, hatiku berbunga bagai taman setelah hujan. Lidahku kelu, namun jiwaku merindukan berbagi kisah. Pengalaman yang begitu unik, seakan mimpi yang tak ingin sirna, dan pelajaran berharga yang akan kuingat selamanya. Bersama sahabat-sahabat terkasih dari Aceh-Syafaat Mulia, Raja Mumtaz, Ghazi Al-Ghifari, dan Fataya Almuwahhid-dengan mereka aku menjelajahi keindahan Madinah Qadimah Fes.

Hari Pertama: Bertemu Ulama dari Berbagai Negara

Pagi itu cahaya matahari menyinari wajahku, menyadarkan aku dari mimpi indah. Aku menarik napas dalam-dalam, menghirup udara segar kota Fes yang begitu berbeda dengan udara di kampung halaman. Perjalanan kami dimulai dengan Salat Jumat di Masjid Al-Qarawiyyin, bangunan megah yang telah berdiri ratusan tahun. Cahaya matahari menembus jendela kaca berwarna, menciptakan corak-corak indah di lantai marmer. Aroma kayu bakar dan dupa memenuhi udara, menciptakan suasana yang khusyuk. Kemudian, dengan penuh khidmat kami mengikuti pengajian di Zawiya Sidi Abdal-Qadir Al-Fasi hingga Salat Maghrib. Tak disangka, acara malam itu begitu istimewa, dihadiri para ulama dan muslim dari seluruh dunia.

Betapa terkejutnya kami saat bertemu langsung dengan Sayyid Syaikh Muhammad Abul Huda Al-Ya’qoubi, seorang ulama besar dari Syam, dan Syaikh Abdalhaqq Bewley, penerus Tarekat Syadziliya di Inggris. Kehadiran Syaikh Idris Al-Fasi sebagai tuan rumah semakin menambah keharuan malam itu. Lebih dari dua ratus tamu dari berbagai negara berkumpul, di antaranya dari Mesir, Andalusia, Inggris, Amerika, Afrika, London, Spanyol, Prancis, dan Malaysia, menciptakan suasana yang begitu kosmopolitan. Sudah hampir malam saat acara itu selesai. Namun sebelum pulang, kami dihidangkan dengan hidangan khas Maroko yakni tajine dengan tiga ekor ayam utuh dan bumbu yang meresap, sensasinya masih terasa hingga saat ini. Aroma rempah-rempah yang menggugah selera membuat kami semakin tak sabar untuk mencicipi setiap suapan. Sungguh pengalaman yang tak terlupakan, menikmati hidangan lezat bersama para ulama dan sahabat dalam suasana penuh keakraban.

Hari Kedua: Ziarah dan Tapak Tilas Para Ulama di Fes

Keesokan harinya langkah kaki kami menapak di tanah suci Bab Ftouh, gerbang kemenangan yang telah menyaksikan pergulatan sejarah Fes. Di sini ribuan kisah hidup terukir dalam batu nisan, menjadi saksi bisu perjalanan umat manusia. Setiap sudut makam seolah berbisik, mengajak kami merenung tentang makna hidup dan kematian.

Di antara lautan makam, kami menemukan makam Mawlana Al Qutb Sidi Abdul Aziz Ad-Dabbagh, sosok sufi agung yang telah meninggalkan warisan tak ternilai. Beliau, yang dikenal sebagai poros bagi umat Islam di masanya, telah menebarkan benih-benih kebaikan melalui konsep Tarekat Muhammadiyah. Keikhlasannya dalam beribadah menjadi inspirasi bagi kami. Pertemuan tak terduga dengan para penerus Tarekat Muhammadiyah di Maroko semakin memperkaya pengalaman kami. Meskipun harus melanjutkan perjalanan, undangan mereka untuk bersilaturrahmi di zawiya adalah sebuah kehormatan.

Perjalanan spiritual kami berlanjut ke makam Al-Imam Abdul Wahid Ibn ‘Asyir Al-Anshary Al-Andalusy, ulama besar yang karya monumentalnya menjadi rujukan utama para pelajar Fikih Maliki. Bait syairnya yang indah,

في عقيدة الأشعري وفقه مالك , وفي طريقة الجنيد السالك

yang artinya “dalam akidah Asy’ari, dalam fikih Maliki, dalam tarekat Junaid Al-Baghdadi,” adalah cerminan sempurna dari keluasan ilmu dan kedalaman spiritual beliau.

Kejutan berikutnya menanti kami di makam Ustadz Sidi Usama Canon, seorang mualaf Amerika yang telah mendedikasikan hidupnya untuk Islam. Perjalanan spiritualnya yang unik, dari Barat ke Timur, telah membuahkan pemahaman mendalam tentang Islam dan budaya. Pengajaran beliau yang relevan dengan zaman modern menginspirasi kami untuk terus belajar dan menyebarkan kebaikan.

Perjalanan kami ke Maroko tak lengkap tanpa menyambangi makam Ibnu Al-Jurum, ulama besar yang namanya harum dalam dunia ilmu nahwu. Makam beliau, yang terletak di kota Fes, menjadi saksi bisu atas jasa-jasa beliau dalam mengembangkan ilmu tata bahasa Arab. Setelah membaca doa dan tahlil di samping pusaranya, kami pun melanjutkan tradisi dengan mengkhatamkan kitab Al-Muqaddimah Al-Ajurrumiyyah, karya monumental beliau yang masih digunakan oleh para pelajar hingga kini. Di depannya juga terdapat Makam Al-Imam Ibn Abbad Al-Naffazi Al-Randi, salah seorang pensyarah mayshur kitab Al-Hikam karya Ibn Athaillah Al-Iskandari.

Dari makam seorang ahli bahasa, langkah kami beralih ke sebuah tempat yang sarat dengan nilai spiritual, yakni Zawiya Tijaniyah. Setelah menunaikan Salat Ashar di sana, kami berkesempatan bertemu dengan seorang keturunan langsung dari Syekh Ahmad Al-Tijani, pendiri Tarekat Tijaniyah. Beliau dengan ramah menjawab pertanyaan-pertanyaan kami tentang tarekat ini, sejarahnya, dan pengaruhnya terhadap masyarakat Fes. Pengaruh Tarekat Tijaniyah di kota ini memang sangat terasa. Arsitektur bangunan-bangunan tua, tradisi masyarakat, hingga kehidupan sehari-hari masyarakat Fes, semuanya terwarnai oleh ajaran-ajaran tarekat ini. Zawiya Tijaniyah yang kami kunjungi menjadi pusat kegiatan keagamaan dan tempat berkumpulnya para pengikut tarekat ini dari berbagai penjuru dunia. Perjalanan kami berlanjut ke makam Mawlay Syarif Idris Tsani Al-Azhar. Suasana khusyuk menyelimuti saat kami menghadap makam pendiri Fes. Gelar Al-Azhar yang melekat pada beliau sungguh pantas, mengingat kontribusinya yang luar biasa bagi peradaban Islam.

Malam itu, Salat Isya di Masjid Al-Qarawiyyin menjadi penutup yang tak terlupakan. Suara merdu imam yang melantunkan ayat-ayat suci dengan irama yang biasanya aku dengar di Indoesia membuat hati ini bergetar. Rindu yang selama ini terpendam akan irama itu seketika sirna. Sungguh sebuah anugerah dapat merasakan pengalaman spiritual yang begitu mendalam di tanah yang diberkahi ini.

Hari Ketiga: Motivasi Perjuangan dan Doa yang Luar Biasa Menyentuh

Hari ketiga petualangan di kota Fes, kami memulai perjalanan dari gerbang kuno Bab Jloud. Udara pagi yang sejuk menyambut kami, sembari menikmati pemandangan kota tua yang begitu memukau. Langkah kaki kami terarah menuju sebuah makam yang menyimpan sejarah panjang seorang ulama besar, Al-Qadhi Abu Bakar Ibnul Arabi al-Ma’afiri rahimahullah, seorang ulama besar yang berasal dari Andalusia. Beliau dikenal luas sebagai seorang ahli agama yang menguasai berbagai bidang ilmu, seperti fikih, hadis, tafsir, dan usul fikih. Karya-karya beliau yang terkenal antara lain Tafsir Ahkamul Qur’an, sebuah tafsir Al-Qur’an yang juga memuat fikih Mazhab Maliki, serta Al-Qabs Syarh Muwattha’ Malik, sebuah kitab syarah terhadap kitab hadis Muwatta’ karya Imam Malik. Kontribusi beliau dalam dunia Islam sangat besar, terutama dalam pengembangan dan pelestarian ilmu-ilmu agama.

Sore itu, langkah kaki kami terasa ringan menyusuri jalanan kota yang ramai. Tak disangka, pertemuan singkat dengan seorang peziarah asal Indonesia, Irawan Santoso Shiddiq, di tengah perjalanan mengubah segalanya. Obrolan ringan yang awalnya hanya sebatas basa-basi, perlahan berubah menjadi perbincangan mendalam yang menyentuh sanubari. Kami diajaknya duduk di sebuah kafe terkenal, ditemani secangkir attai bi na’na’ hangat. Di tengah suasana yang begitu akrab, beliau memulai kisahnya. Dengan nada penuh semangat, beliau mengisahkan sejarah Aceh yang begitu gemilang, tentang para ulama besar yang pernah mengharumkan nama Aceh di kancah dunia Islam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya bagai mantra yang membangkitkan semangat juang dalam diri kami. Beliau mengingatkan kami akan pentingnya kembali ke akar sejarah, menggali kembali khazanah ilmu pengetahuan yang pernah dimiliki oleh para leluhur.

“Aceh dulu negeri yang disegani, bangsa yang kuat,” ujarnya dengan nada penuh syahdu, “sekarang, kalian lihat sendiri, kita seringkali tidak dihargai. Tugas kalian adalah melanjutkan perjuangan mereka, menghidupkan kembali kejayaan Aceh.”

Kalimat itu menusuk kalbu kami. Seketika, kami merasa tertantang untuk lebih giat lagi menuntut ilmu. Beliau juga berpesan agar kami senantiasa berpegang teguh pada ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, agar ilmu yang kita dapatkan menjadi berkah dan bermanfaat bagi sesama. Obrolan malam itu terasa begitu singkat, namun ilmunya begitu mendalam dan membekas di hati. Setiap kata-kata beliau seakan menjadi penyuluh di tengah kegelapan, menjadi motivasi bagi kami untuk terus berjuang.

Malam itu, suasana magis kota tua semakin terasa. Setiap sudut lorong seakan menyimpan ribuan cerita yang siap diungkap. Kami menyusuri jalanan berliku, menyapa hangat para penduduk setempat. Mereka, dengan ilmu yang begitu dalam, menyambut kami bagai tamu kehormatan. Percakapan mengalir begitu saja, seakan tak ada jarak antara kami dan mereka. Puncak dari petualangan kami malam itu adalah pertemuan tak terduga dengan keluarga Syeikh Ilyas Binnani, seorang ulama terpandang di Maroko. Beliau dengan sabar membagi ilmu dan pengalamannya. Di akhir pertemuan, beliau berpesan agar kami menyampaikan salam kepada Syeikh Idris.

Tak lama setelah perbincangan, kami pun bergegas ke zawiya. Cahaya rembulan menari lembut di atas zawiya yang kembali semarak. Jejak kaki para tamu dari berbagai penjuru dunia memenuhi pelataran, menciptakan harmoni lintas budaya. Dengan hati berdebar, aku melangkah masuk, membawa pesan hangat dari adiknya Syeikh Ilyas. Zawiya yang sebelumnya sudah ramai, kini semakin dipadati oleh para tamu dari berbagai penjuru dunia yang datang untuk mengikuti acara zikir. Dengan degup jantung yang berdebar, aku melangkah masuk, membawa pesan dari adik Syeikh Ilyas Abanni yang kucintai.

“Wahai Syeikh,” ucapku dengan penuh hormat, “adik Syeikh Ilyas Abanni menyampaikan salam untuk Anda. ‘Uhibbuka fillah wa ana aidhan,’ pesan beliau.” Seketika, langkah beliau terhenti. Lalu, dengan senyum yang hangat, Syeikh Idris menyambutku. Tangannya yang lembut menyelimuti tanganku, seolah membawaku dalam pelukan kasih sayang. Air mataku hampir saja tumpah. Rasanya seperti sedang berada dalam mimpi yang tak ingin kukejutkan. Tubuhku terasa melayang, ringan bagai kapas, dan hatiku dipenuhi kedamaian yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Di akhir majelis, dengan suara yang sayu, aku memohon doa kepada Syeikh Idris agar Allah memudahkan langkahku. Beliau menatapku dengan penuh kasih sayang, lalu mengangkat kedua tangannya seraya berdoa. Air matanya mengalir.  Aku terdiam sambil menumpahkan air mata, tak mampu berkata-kata. Hatiku luluh-lantak oleh ketulusan doanya.

Penutup Kisah Tiga Hari yang Berkesan

Fes, permata tersembunyi yang memantulkan cahaya iman dan ilmu. Bersama sahabat, hatiku terukir keindahan perjalanan spiritual ini. Alhamdulillah, Allah telah mengizinkanku mencicipi manisnya ilmu di kota bersejarah ini.  Tiga hari ini terasa begitu singkat.  Namun perjalanan ini telah mengubah hidupku. Aku tak hanya mendapatkan ilmu, tetapi juga pengalaman spiritual yang mendalam. Aku merasa begitu kecil dan tak berarti di hadapan keagungan Allah. Namun, di saat yang sama, aku juga merasakan kasih sayang-Nya yang begitu besar. Sungguh Perjalanan tiga hari ini bersama temanku memberikan kesan yang begitu berarti bagiku. Mungkin aku tidak bisa menceritakan semuanya, apa yang aku rasakan, hatiku merasa bahagia dan semakin aku ingin menjelajah pesona keilmuan maroko, dengan perjalanan ini semakin aku ingin berlama disini. Aku bersyukur kepada-Mu, ya Rabb, yang senantiasa membimbing perjalanan hidupku. Kini aku semakin nyaman untuk berlama di sini, menggali lebih dalam ilmu pengetahuan di negeri para sufi ini. Semoga Allah selalu membimbing langkah kita semua.

3 Hari yang Tak Terlupakan: Catatan Perjalanan Spiritual di Fes, Khalid Muntadzar, Universitas Sidi Mohamed Ben Abdellah Fes

Simak Kajian Syekh Muhammad Ahnasy di Karasiy Ilmiah Zawiyah Nusantara

Mingguan Menulis: Diwan Asy-Syafi’i: filsafat ketenangan hidup

Tag Post :

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *