Diwan Asy-Syafi’i: Filsafat Ketenangan Hidup
Oleh Nazla Kayla Harahap
Mahasiswa S1 Universitas Universitas Sidi Mohamed Ben Abdellah Fes
Salam, Warga PPI Maroko! Lbas kidayr? Setelah melewati weekday dan menjalani berbagai rutinitas yang terkadang menjenuhkan ini, pasti tidak dipungkiri kita membutuhkan yang namanya istirahat atau refreshing. Kita perlu singgah dan minggir sejenak dari hiruk-pikuk kebisingan isi kepala seperti overthinking, anxiety, hopeless serta kawan-kawannyayang tidak ada habisnya.
Penulis teringat akan salah satu kitab monumental: Diwan Asy-Syafi’i karya Al-Imam Abu ‘Abdullah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i Al-Muththalibi Al-Qurosyi, atau yang masyhur di telinga kita dengan Imam Asy-Syafi’i. Ulama besar dan pendiri salah satu dari empat mazhab utama dalam fikih. Kitab yang memuat syair tentang pesan mutiara dan lautan hikmah kehidupan yang menenangkan jiwa. Berikut awal bait dalam kitab Diwan Asy-Syafi’i:
دع الأيام تفعل ما تشاء # و طب نفسا إذا حكم القضاء
و لا تجزع لحادثة الليالي # فما لحوادث الدنيا بقاء
“Biarlah hari-hari berbuat sesukanya, kuatkanlah dirimu ketika takdir telah memberikan ketentuan.
Jangan terlalu mencemaskan peristiwa yang terjadi di malam-malam hari, sebab tiada peristiwa duniawi yang abadi.”
Pada awal bait saja, kita sudah diberikan tashowwur (gambaran) yang sarat makna tentang qodho Allah yang telah ditetapkan pada kita. Ia memiliki sifat yang tidak bisa ditebak hasilnya, walaupun sebelumnya sudah direncakan sebaik mungkin. Hal demikian sering terjadi hingga membuat kita kesal dan putus asa. Sampai pada akhirnya berpikir untuk berhenti dan tidak melanjutkan langkah. Sejatinya bukan berarti kita tidak memiliki kontribusi terhadap cerita hidup yang kita jalani, karena kita bukanlah kaum jabariahyang hanya memangku tangan dan berserah pada takdir. Karena Allah telah memberikan sarana kepada manusia yaitu berdoa dan berusaha, hasilnya biarlah Sang Maha Kuasa menunjukkan hak prerogatif-Nya
الإنسان بالتفكير, والله بالتدبير (حكمة عربية)
Manusia berpikir (berencana), dan Allah yang mengatur.
Maka tenangkanlah dirimu ketika realita tidak sejalan dengan ekspektasi yang telah direncanakan.
Kemudian, Imam Syafi’i memberikan pesan bahwa dunia ini bersifat sementara. Hal ini pun telah termaktub dalam penggalan ayat 20 di Surat Al-Hadid:
اعلموآ أنما الحياة الدنيا لعب و لهو… وما الحياة الدنيآ إلا متاع الغرور (الحديد:٢٠)
“Ketahuilah sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan sendagurauan … kehidupan dunia (bagi orang-orang yang lengah) hanyalah kesenangan yang memperdaya.”
Tidak seharusnya bagi kita mencemaskan, menyesali, bahkan mengutuk peristiwa yang telah berlalu. Tetaplah berprasangka baik bahwa semua rentetan peristiwa yang terjadi pada diri kita adalah the best fate yang telah Tuhan hadiahkan kepada kita.
Menyinggung tentang peristiwa yang terjadi di alam dunia ini, tidaklah aneh bagi kita akan perubahan yang kian terjadi di dalamnya, baik perubahan yang berkaitan dengan perasaan, suasana hati, maupun sikap orang lain terhadap diri kita. Karena dunia ini adalah perkara yang baru dan fana (tidak kekal), maka tak heran jikalau ia identik dengan perubahan. Berkaitan dengan perubahan dan ketidakstabilan suatu kondisi, Imam Syafi’I menekankan hal tersebut dalam syairnya pada bait ke-9 dan 10 berikut:
ولا بؤس عليك ولا رخاء # ولا حزن يدوم ولا سرور
فأنت و مالك الدنيا سواء # إذا ما كنت ذا قلب قنوع
“Tiada kesedihan yang kekal, tiada pula kegembiraan yang abadi. Demikian pula, tiada kefakiran yang lama, dan tiada pula kemakmuran yang lestari.
Apabila sikap hatimu selalu rela dengan apa yang ada, maka tak ada perbedaan bagimu antara dirimu sendiri dan para hartawan.”
Melalui bait tersebut, kita diajak untuk memahami hakikat ketidakpastian ketika hidup di dunia. Baik bagi pembaca maupun penulis sendiri seringkali terjebak dalam ketidakstabilan emosional. Contohnya, bisa jadi pada detik ini kita senang kemudian beberapa menit bergulir kita dirundung oleh kesedihan dan kegalauan. Begitupun dalam perkara rezeki, kita tidak bisa menebak dan mengira bahwa semua keberuntungan harus tertuju kepada diri kita. Hal yang pasti adalah tidak ada yang abadi dalam siklus kehidupan yang kita jalani. Justru dari ketidakpastian itulah yang nantinya akan memunculkan secercah harapan bagi kita untuk meraih hal yang diinginkan kedepannya.
Lalu apa hikmah dan pesan filsafat ketenangan hidup dari bait-bait di atas? Mari kita renungi sejenak. Mengutip penjelasan Dr. H. Fahruddin Faiz, S.Ag., M.Ag. di kanal YouTube Ngaji Filsafat, dari Maulana Jalaluddin Rumi, yaitu ibarat air dalam kendi yang ingin diminum, kemudian kendi tersebut tidak sengaja jatuh dan pecah sehingga air di dalamnya mengalir dan bersatu dengan sungai yang menjadi tempat air tersebut berasal. Sementara kita berada dalam kondisi kehausan dan sangat membutuhkan minum. Apakah kita kesal? Kecewa? Yap, itu hal yang wajar. Namun perlu diingat bahwasannya air tersebut telah kembali ke tempat semulanya yaitu sungai, yang kelak akan memberikan manfaat dan menjadi sumber rezeki bagi orang banyak. Begitupun dengan diri kita dan semua keinginan atau rencana yang telah kita atur sedemikian rupa, kelak pada akhirnya Allah yang menentukan dalam bahasa takdir-Nya.
Oleh karena itu, perlu bagi kita untuk mengatur ego sebagai hamba dengan menumbuhkan sikap kanaah sebagai kunci ketenangan hidup. Mungkin kadangkala kita resah karena kurang berserah. Semua cobaan dan penderitaan yang kita rasakan merupakan salah satu dari love language Tuhan yang jarang dipahami. Ternyata, ada hikmah di balik itu semua yang membuat kita bertumbuh dan bertambah tiap harinya. Kita bisa mencontoh suri tauladan kita, Nabi Muhammad saw ketika beliau diberi musibah tetap mengucap kalimat syukur kepada Allah:
عن عائشة قالت: كان رسول الله صلى الله عليه و سلم إذا رأى ما يحب قال: “ الحمد لله الذي بنعمته تتم الصالحات”. وإذا رأى ما يكره قال: “ الحمد لله على كل حال”. (رواه ابن ماجه في سننه و صححه الحاكم ص ٣٣٨/ ٣٨٠٣)
Dari Aisyah r.a. berkata: terbukti Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam ketika melihat apa yang disenanginya beliau mengucapkan: “Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya sempurnalah segala kebaikan,” dan jikalau melihat apa yang tidak disukainya beliau mengucap: “Segala puji bagi Allah atas semua keadaan.”
Sebagai closing statement dari uraian kali ini, penulis ingin memberikan maqolah yang dinukil dari kitab Hikamkarya Ibn ‘Athoillah As- Sakandary tentang ketentuan Allah yang tidak akan lari dari pemiliknya yakni manusia itu sendiri, serta larangan daripada berandai-andai yang berlebihan:
الحكمة الرابعة: أرح نفسك من التدبير, فما قام به غيرك عنك – لا تقم به لنفسك.
Hikmah ke-4: Istirahatkanlah dirimu dari berangan-angan, karena apa yang tidak ditetapkan bagimu tidak akan terjadi pada dirimu.
Sekaranglah waktunya pulang, setelah sebelumnya tak tau arah dan bimbang. Kembali tuk menjadi tenang. Petunjuknya yang kian terang adalah sarana kita tuk menghadapi kehidupan yang kian penuh aral melintang, dengan pembersihan jiwa dan hati, senantiasa merapal doa kehadirat Ilahi Robbi. Mari kita gapai masa depan yang lebih cemerlang layaknya bintang yang kian terang benderang.
Sekian dari penulis, semoga bermanfaat.
Wassalam.
Diwan Asy-Syafi’i: Filsafat Ketenangan Hidup, Nazla Kayla Harahap, Mahasiswa S1 Universitas Universitas Sidi Mohamed Ben Abdellah Fes
Simak Serial Literatura #1: Komunitas Alumni di Lingkungan PPI Maroko
Simak Webinar Kesekretariatan: Penggunaan Bahasa Indonesia yang Baik dalam Dokumen Surat