Data cerpen
Judul: Lukisan Kaligrafi
Penulis: A. Musthofa Bisri
Penerbit: Buku Kompas Jakarta
Cetakan: Cetakan I :2003,Cetakan II :2005,Cetakan III :2008,Cetakan IV :201 7
Jumlah halaman: 144 hal
Dimensi buku: 14 cm x 21 cm
Harga: Rp.49.000
Resensi
A. Musthofa Bisri atau yang biasa disapa dengan Gus Mus merupakan seorang tokoh agama sekaligus salah satu sastrawan kondang era ini. Meskipun banyak berkecimpung dalam dunia keagamaan beliau juga cukup produktif dalam dunia kepenulisan, khususnya penulisan karya sastra. Semua itu bisa kita lihat dari sekian banyak karya tulis yang lahir dari kecerdikan beliau, mulai dari cerpen, puisi, dan karya tulis lainnya. Dalam kepenulisan puisi ataupun cerpen, tulisan beliau sedikit banyak bernuansa keagamaan. Itu saya lihat dari beberapa puisi yang beliau unggah di akun instagramnya dan dari buku Lukisan Kaligrafi yang menjadi fokus tulisan saya saat ini.
Buku Lukisan Kaligrafi adalah kumpulan cerpen yang ditulis oleh beliau, buku ini berisikan 15 cerpen yang diantaranya sudah diterbitkandi beberapa media seperti Kompas, Suara Merdeka, Media Indonesia, Jawa Pos dan sisanya baru diterbitkan lewat buku ini.
Ada sebuah cerpen yang begitu menarik perhatian saya, cerpen itu berjudul “Lukisan Kaligrafi”, judul sebuah cerpen yang sekaligun menjadi judul kumpulan cerpen milik Gus Mus ini. Cerpen Lukisan Kaligrafi menceritakan sebuah lukisan yang dibuat oleh Ustadz Bachri dengan tema “Alifku Tegak Dimana-mana”.
***
Cerita ini bermula dari kunjungan silaturahmi kawan lamanya yang bernama Hardi, yang merupakan seorang pelukis kondang. Pada kunjungan silaturahmi itu, Hardi berniat untuk membincangkan masalah kaligrafi bersama Ustadz Bachri. Dalam perbincangan itu Ustadz Bachri agak kaget. Ternyata, meskipun sering mengikuti pameran kaligrafi, Hardi sama sekali tidak menahu tentang aturan-aturan penulisan khath Arab. Hardi tidak menahu perbedaan Naskh dan Tsulust, Diewany dan Faarisy, atau Riq’ah dan Kufi. Apalagi falsafah yang tersirat pada tiap-tiap khath arab yang bervariasi itu. Hingga ketika Hardi ingin pamit pulang dari kunjungan silaturahminya di rumah Ustadz Bachri, dia tidak sengaja melihat kertas bertuliskan Arab yang tertempel di atas pintu utama rumah, tulisan Rajah yang Ustadz Bachri lukis dengan tinta bercampur minyak za’faron. Bagi Hardi lukisan itu begitu unik, dan jarang ditemui oleh seniman lukisan kaligrafi sepertinya. Tanpa pikir panjang Hardi langsung menyarankan Ustadz Bachri untuk mengikuti pameran yang akan diselenggarakan tiga bulan lagi, karena menurutnya lukisan Ustadz Bachri mempunyai keunikan tersendiri, dan
sangat berpotensi bisa bersaing dengan banyak seniman dalam dunia kaligrafi. Atas saran Hardi maka Ustadz Bachri asal mengangguk pertanda setuju, dia merasa tertantang dengan ajakan hardi dan akhirnya meng-iyakan. Kenapa tidak, pikirnya. Orang yang tak tahu khat macam Hardi saja berani memamerkan kaligrafinya, mengapa saya tidak? mulai dari situ Ustadz Bachri sering mencoret-coret kertas, menuliskan ayat-ayat Qur’an yang dia hafal.
Ustadz Bachri memulai membuka kitab-kitab tentang khat dan sejarah perkembangan tulisan Arab. Bahkan dia sampai datang ke kota untuk sekedar melihat lukisan-lukisan yang dipajang di galeri dan toko-toko lukisan. kemudian dia memutuskan untuk membeli alat lukis, seperti: kanvas, cat, kuas, dan perlengkapan lainnya. Dalam perjalanannya membuat lukisan itu banyak sekali hasil yang ia rasa gagal, sesekali Ustadz Bachri putus asa, tapi sindiran anakdan istri membuat tekadnya kembali tumbuh. Mencoba dan mencoba dengan banyak tulisan dan gaya khat, sampai akhirnya Ustadz Bachri mencoba menulis kalimat‘Allah’. Ketika hendak menulisnya ternyata cat untuk melukis sudah habis karna sudah terlalu banyak ia mencoba dan tersisa hanya dua warna, yaitu warna putih danabu-abu. Tapi bagaimana lagi, lukisan kaligrafinya harus segera siap untuk dipamerkan. Mulailah dia menulis alif, setelah menulis alif Ustadz Bachri merasa huruf yang dia tulis bagus sekali, huruf yang ia tulis sangat sesuai dengan standar penulisan khat Tsuluts Jaliy, maka Ustadz Bachri berinisiatif untuk tidak melanjutkan kalimat ‘Allah’ secara utuh karena letak tulisan alif dari kalimat ‘Allah’ yang sempurna tadi persis berada tengah-tengah kanvas, dan menurut Ustadz Bachri kalau dialanjutkan menulis kalimat ‘Allah’ pada seleranya waktu itu, lukisannya akan jadi tidak pas lagi, tulisan Allah akan condong ke kiri sehingga tidak presisi di lembaran kanvas.
Setelah tiga bulan berlalu, kurir yang dikirim oleh Hardi datang untuk mengambil lukisan tersebut. Ustadz Bachri kemudian memberi lukisan tersebut tanpa judul dan harga, dan akhirnya lukisan itu diberi judul oleh hardi, sang inisiator dari semua rencana ini.
Singkat cerita, ketika lukisan itu sedang dipajang dipameran ada seorang kolektor yang menawar lukisannya seharga $10.000 USdollar. Ustadz Bachri kaget bukan main, bagaimana tidak kaget, lukisan Ustadz Bachri hanyalah sebuah huruf alif yang berdiri tegak dengan cat silver di atas kanvas putih, tapi berkat pameran yang Hardi tawarkan dan judul “Alifku Tegak Dimana-mana” yang Hardi berikan membuat lukisan ini menjadi karya yang bernilai. Dalam benak Ustadz Bachri, kalau bukan karena Hardi lukisannya ini tidak ada apa-apanya, dan mungkin hanya akan menumpuk dengan lukisan-lukisan di rumah Ustadz Bachri yang dipenuhi debu.
Ada yang menjanggal dari lukisan Ustadz Bachri ini, karena lukisan kaligrafi ini tidak kelihatan difoto; hasil foto hanya menyisakan kanvas kosong yang diberi pigura, tanpa sebercak tulisan apapun. Banyak sekali media, dan desas-desus jika lukisan itu mempunyai nilai mistik tersendiri karena keanehannya yang tak tampak di foto tadi. Hampir seluruh media masa memberitakan tentang Ustadz Bachri dan lukisannya. Ustadz Bachri hanya menjelaskan jika lukisannya dibuat hanya dengan dua sisa warna yang ada, yaitu silver untuk huruf alif dan sedikit warna putih untuk backgroundnya, mungkin warna silver diatas putih itu yang membuat lukisannya tidak terlihat ketika difoto. Selain itu, Ustadz Bachri juga berpesan agar tidak mudah percaya kepada hal-hal mistik seperti itu. Dengan penjelasannya itu mereka tak bertanya-tanya lagi, tapi Ustadz Bachri tak tahu apa mereka percaya penjelasannya itu atau tidak.
***
Selain cerpen berjudul ‘Lukisan kaligrafi’ ini ada satu cerpen lagi yang begitu melekat dalam hati saya, cerpen itu berjudul ‘Gus Jakfar’, yang tidak mungkin saya jabarkan pada kesempatan ini. Hemat saya, buku kumpulan cerpen milik Gus Mus ini sangat layak dibaca, dengan tambahan secangkir kopi sebagai pelengkap bekal kita untuk memperdalam khazanah spiritualitas melalui karya sastra.
Sayangnya ada banyak Bahasa Jawa yang tidak diterjemahkan pada buku ini, sehingga sulit dipahami untuk pembaca yang tidak mengerti bahasa jawa seperti saya.