Prolog
16 Mei 2003, sebuah tanggal yang dikenal oleh hampir semua warga Maroko. Ia menyimpan banyak sekali luka dan memori kelam negeri sepak bola ini. Pada saat itu terjadi sebuah peristiwa bom bunuh diri yang menewaskan 40 warga Maroko termasuk 12 pelaku.
Mereka menargetkan beberapa tempat, seperti restoran, hotel, bahkan pemakaman Yahudi. Banyak sekali media yang menghubungkan aksi ini dengan gerakan Salafi-Jihadis yang dipelopori oleh Moroccoan Islamic Combatain Group (Kelompok Pejuang Islam Maroko). Organisasi ini memiliki hubungan dengan kelompok teroris paling berbahaya di dunia bernama Al-Qaeda.
Memang, sekilas, tidak banyak orang yang tertarik untuk membahas isu ini. Karena banyak dari mereka yang merasa dirinya aman dari teror dan bahaya. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa meskipun Maroko tergolong negara yang maju di benua Afrika. Tak dapat dipungkiri bahwa Ia menyimpan banyak permasalahan khususnya dalam bidang stabilitas dan keamanan negara.
Semenjak kejadian itu, Raja Muhammad VI memperbarui banyak kebijakan. Di antaranya ialah pembentukan Undang-Undang Anti Terorisme. Kebijakan ini menuai banyak kontroversi, melihat banyak sekali penangkapan yang dilakukan oleh aparat kepada masyarakat baik warga sipil maupun tokoh agama. Alhasil, banyak dari warga Maroko berbondong-bondong melakukan aksi demonstrasi agar raja mencabut undang-undang tersebut.
Ideologi
Maroko merupakan negara yang berpaham moderat, terbuka (open-minded), dan pluralis. Hal ini dibuktikan dengan cara masyarakatnya berinteraksi. Tak jarang kami sebagai mahasiswa Indonesia menikmati obrolan terbuka dengan dosen maupun teman sesama. Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa di negara ini terdapat beberapa pemikiran ekstremis yang merupakan sel dari jaringan Al-Qaeda.
Dilansir dari kanal Stanford University, disebutkan bahwa di Maroko terdapat sebuah organisasi terlarang bernama Morocco Islamic Combatain Group (GCIM) yang berafiliasi dengan jaringan Al-Qaeda di Irak. Organisasi ini memiliki paham yang sama dengan Hizbut Tahrir yang dibubarkan oleh Presiden Jokowi tahun 2015, yaitu revitalisasi dan pendirian negara Islam.
Asal-usul organisasi ini ditemukan pada tahun 1993 ketika para veteran mujahidin melawan Soviet di Afghanistan kembali ke Maroko, mencari perubahan serupa dan mobilisasi efektif, seperti yang dilakukan Taliban. Sebelum pembentukan GICM, mantan simpatisan & pejuang mujahidin ini membentuk Harakat Al-Islamiyah Al-Maghribiyyah Al-Muqatilah (HASM). Bertentangan dengan banyak organisasi militan di Maghrib Islam (misalnya AQIM), HASM hanya fokus pada penghasutan kekerasan dan perubahan politik di dalam negeri. Mereka berupaya menggusur Raja Maroko Hussein dan mengangkat pemerintahan Islam sebagai penggantinya.
Sebelumnya organisasi ini belum begitu mencolok, sampai kejadian 16 Mei di Casablanca mengubah semuanya, yaitu ketika kelompok Salafi-Jihadis melakukan aksi bom bunuh diri yang menewaskan 33 orang dan 100 orang yang terluka.
Tindakan para pelaku aksi terorisme ini merupakan hal yang sangat bertolak belakang dengan prinsip dasar agama (Maqashid Asy-Syari’ah), yaitu hifzhu an-nafs yang artinya menjaga nyawa. Bahkan Syekh Ramadhan Al-Buthi dalam kitabnya, Fiqh Sirah, menyebutkan bahwa dalam kondisi tertentu, hifzhu an-nafs lebih penting dari hifzhu ad-din, karena salah satu instrumen berdirinya suatu agama ialah manusia yang ada di dalamnya.
Transisi Terorisme menuju Moderasi
Melihat mirisnya isu terorisme di negaranya, Raja Muhammad VI pun berinisiatif untuk mendirikan lembaga khusus bernama Ma’had Muhammad As-Sadis li Al-Mursyidin wa Al-Mursyidat. Institut ini adalah sebuah tempat pelatihan para imam yang dibangun untuk menyebarkan paham wasathiyyyah.
Tidak hanya dalam pendidikan, institusi ini pun berperan sebagai sarana diplomasi agama yang dicanangkan oleh Kerajaan Maroko, melihat image mereka yang sangat hancur semenjak kasus terorisme di Casablanca.
Maka, tidak heran kerajaan berani menghabiskan dana begitu besar untuk membangun institusi ini dengan GDP tahun 2015 hanya sebesar 110 juta dolar. Hal ini sangat menarik untuk dikaji dikarenakan Turki dan Arab Saudi belum berani untuk mengambil langkah seperti ini dalam menjalankan diplomasi agama mereka.
Menurut direktur dari Institut Mohammed VI, Abdessalem Lazzar, peran dari institut ini adalah untuk mengoreksi interpretasi luas yang digunakan oleh teroris dalam membenarkan konsep-konsep, seperti kesetiaan dan pengingkaran, syura, salafisme dan jihad yang telah cacat dan disalahgunakan.
Sejak pendirian institut ini, Maroko berhasil mengubah wajah negara yang sebelumnya sempat dituding sebagai negara pengekspor teroris, menjadi pusat moderasi beragama di benua Afrika. Ia pun berhasil menarik negara-negara Afrika lain, seperti Mali, Guinea, dan Nigeria untuk ikut berkontribusi dalam pemberantasan aksi teroris demi menyongsong kemanusiaan dan perdamaian dunia.
Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop
Dapatkan Info-info terkini dari PPI Maroko
Dan peristiwa ini pulalah yang menyebabkan masjid-masjid di Maroko ditutup di selain waktu Sholat, semoga Allah senantiasa melindungi negri Maghrib ini.