Teori Bungkus Permen: Rasa Manis di Balik Proses

Teori Bungkus Permen: Rasa Manis di Balik Proses

Oleh Wafda Zaidani

Pelajar Institut Al Faqih Abo Alaabass Aljachtimi, Taroudant

Pernah enggak sih, kamu dapet permen kecil yang bungkusnya lucu dan menarik? Warna-warni, rapi banget, bikin penasaran. Kita tahu isinya manis, tapi sebelum bisa dinikmati, harus dibuka dulu bungkusnya. Kadang gampang, kadang bikin kesel. Ada yang cepet kebuka, ada yang bikin jari pegel.

Dari situ aku berpikir kalau hidup mirip banget sama permen. Nikmatnya sering kali tersembunyi di balik bungkus yang enggak selalu enak dilihat. Bungkus itu bisa jadi masalah, kecewa, atau rasa capek yang menumpuk. Tapi bukan berarti di dalamnya enggak ada hal manis yang menunggu.

Kita sering mengira, yang ribet-ribet itu pasti buruk. Padahal, enggak semua yang bikin kita capek itu sia-sia. Bisa jadi itu cara Tuhan, membungkus hadiah terbaik-Nya buat kita.

Bayangin gini, deh, kamu dikasih permen tapi tanpa bungkus. Jujur aja, pasti kamu mikir dua kali buat makan. Tapi kalau dibungkus rapi, kamu terima dengan senang hati. Padahal tetep aja harus sabar dulu buat bukanya, dan toh ujungnya bungkus itu dibuang juga. Nah, hidup juga begitu. Tuhan kasih kita kenikmatan, tapi sering kali dibungkus dulu sama tantangan. Biar kita belajar. Biar kita tumbuh, sabar, dan jadi lebih kuat.

Kadang, ketika dapet ujian, kita bertanya, “Kenapa harus aku? Kenapa hidupku kayak lebih berat dari orang lain?” Padahal, setiap orang punya “bungkus” masing-masing. Ada yang diuji lewat kehilangan, ada yang lewat gagal, ada juga yang lewat rasa sepi. Tapi satu hal yang pasti: di balik semua itu ada sesuatu yang Tuhan siapkan, yang enggak main-main nilainya.

Bungkus itu juga enggak selalu soal hal besar. Bisa jadi cuma perkara kecil: gagal ujian, rencana yang batal, penolakan, atau cuma hari yang rasanya enggak sesuai ekspektasi. Tapi justru lewat hal-hal itu kita dilatih. Pelan-pelan, kita dibentuk.

Kalau hidup kita selalu mulus, tanpa tantangan, kira-kira kita bakal belajar apa? Apa kita bisa benar-benar memahami arti bahagia kalau kita enggak pernah merasakan sedih? Kayak permen yang dibungkus rapi, proses buka bungkusnya itu bagian dari kenikmatan.

Sering kali kita terlalu fokus sama “bungkus” yang kita enggak suka, sampai lupa melihat apa yang ada di dalamnya. Kita iri lihat hidup orang lain yang kelihatannya lebih gampang, padahal kita enggak tahu cerita lengkapnya. Kita pengen semuanya cepet, instan, padahal justru proses itulah yang bikin kita jadi versi terbaik dari diri kita.

Ada satu pepatah berkata, “Hidup itu bukan soal seberapa cepat sampai tujuan, tapi soal gimana kita menikmati tiap langkahnya.” Itu bener banget, karena kalau kita terus terburu-buru, kita bisa aja kehilangan banyak hal indah di sepanjang jalan.

Sering kali, yang kita anggap cobaan ternyata adalah alat ukur. Kayak ujian buat naik kelas, bukan karena guru benci muridnya, tapi karena guru tahu murid itu mampu. Sama seperti kita diuji, bukan karena Tuhan ingin lihat kita jatuh, tapi karena Dia tahu kita bisa bangkit.

Tuhan enggak pernah beri kita ujian di luar batas kemampuan. Bahkan saat kita merasa enggak sanggup, sebenarnya ada kekuatan tersembunyi di dalam diri yang belum kita temukan. Terkadang kekuatan itu cuma bisa keluar kalau kita ditekan, diuji, dijatuhkan dulu. Kayak kopi, harus digiling dan diseduh dulu baru keluar aromanya.

Mungkin sekarang kamu lagi merasa semua serba salah. Lagi ada di titik lelah, muak, bahkan pengen menyerah. Tapi coba pikir: gimana kalau ini cuma “bungkus” dari sesuatu yang jauh lebih indah di dalamnya? Gimana kalau ini proses awal sebelum manisnya hidup benar-benar kamu rasain?

Kita enggak akan pernah tahu rasa permen sebelum kita berani buka bungkusnya. Sama halnya kita enggak akan tahu seberapa kuat diri kita, seberapa sabar, seberapa Tangguh, sebelum kita benar-benar melewati fase sulit.

Hidup memang enggak selalu sesuai rencana, tapi bukan berarti itu kesalahan. Bisa jadi, itu justru jalan yang lebih tepat, cuma kita belum lihat gambaran utuhnya. Kadang, rencana kita ditahan dulu, karena Tuhan punya yang lebih besar, lebih indah, lebih cocok.

Coba bayangkan, berapa banyak hal dalam hidupmu yang awalnya kamu benci, tapi akhirnya justru kamu syukuri? Berapa banyak kejadian yang awalnya bikin kamu nangis, tapi akhirnya bikin kamu tumbuh? Kita jarang sadar bahwa luka-luka kecil itulah yang membentuk kita hari ini.

Maka kalau hari ini kamu lagi dapet “permen” yang bungkusnya kusut, susah dibuka, bahkan bikin kamu kesel, jangan buru-buru nyerah. Jangan buang dulu. Bisa jadi, itu justru permen paling manis yang pernah kamu dapat.

Setiap luka bisa sembuh. Setiap kecewa bisa berubah jadi pelajaran. Setiap bungkus bisa terbuka, asal kita sabar dan enggak kehilangan harapan.

Karena hidup bukan soal kecepatan, bukan soal siapa yang paling duluan sukses, paling cepat bahagia. Tapi soal siapa yang tetap mau jalan, meskipun pelan, meskipun sendiri, meskipun harus jatuh bangun berkali-kali.

Jadi gimana kalau mulai sekarang kita ubah cara pandang? Enggak lagi mengeluh soal bungkusnya, tapi mulai penasaran sama manis apa yang Tuhan siapin di dalamnya. Karena permen yang paling manis, selalu punya bungkus. Dan rasa manis itu, enggak akan terasa sempurna kalau kita enggak menikmati proses bukanya terlebih dulu.

Unduh Al-Munabbi 2025: Panduan Studi Maroko di sini

Sahara 2025’s Photography ZineZINE POTRET SAHARA MAROKO

Tag Post :
Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

satu Respon

  1. 👆🏻part paling menyentuh dr tema paradox of candy yg sangat Relate sy rasain saat ini cik.. huhuhu.. terimakasih mas Zidan sdh diingatkan kembali untuk lebih sabar membuka bungkus permen yg sedang Allah berikan saat ini. 🥹

    Semangat terus untuk berkarya mas Zidan 💪🏻💪🏻💪🏻🤩✨️
    Salam dari seluruh keluarga K.Muslim di Bani Abdullah.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *