Republik Literasi
Kedai Kopi Literasi adalah satu-satunya kedai kopi yang Alim kunjungi. Dia tidak pernah ngopi di tempat lain. Kedai yang sudah buka selama sepuluh tahun ini memiliki dua lantai. Di lantai dasar difasilitasi dengan alat-alat musik dan di lantai dua difasilitasi dengan tiga rak penuh buku. Sesuai dengan namanya, kedai ini didisain penuh dengan ilustrasi dunia musik dan buku.
Keunikan kedai ini membuat tertarik banyak pengunjung dari kalangan musisi papan atas dan penulis beken. Tak terkecuali Alim. Dan tentu saja Alim memilih kedai ini karena di lantai dua penuh dengan buku. Kedai ini tidak jauh dengan rumah Alim. Dia hanya butuh sekitar 15 menit ke arah Barat rumahnya, tepatnya terletak di JL. Bung Hatta yang juga masih satu jalan dengan rumah Alim.
Hampir setiap malam Alim mengunjungi kedai ini untuk berdiskusi bersama teman sekolahnya atau sekadar baca-baca. Saat Hari Ahad Alim bisa seharian di kedai. Kedai ini tidak begitu mewah. Di lantai dua hanya tersedia tiga meja bundar besar yang cukup untuk dikelilingi sepuluh sampai lima belas orang. Menariknya juga di kedai itu terpampang foto intelektual hebat dari seluruh dunia. Semua itu membuat suasana kedai ini khas dan unik bagi pengunjung yang ingin diskusi dan membaca.
Setiap kali Alim mendapatkan kemuskilan atau pertanyaan mengenai suatu persoalan laten atau aktual, baik dari sekolah atau email kenalannya dari sekolah lain Alim akan mendiskusikan itu di Kedai Kopi Literasi ini. Bahkan tidak jarang diskusi dilaksanakan antar sekolah dan mendatangkan ahli dalam persoalan yang tengah didiskusikan. Kemudian persoalan yang telah dipecahkan atau pemahaman yang baru ditemukan ditulis dalam bentuk jurnal. Bahkan dari kedai ini Alim bersama rekan diskusinya berhasil menyelesaikan banyak jurnal dengan tema yang beragam.
Rutinitas ini sudah Alim lakukan sejak keluarganya pindah ke kota itu. Dengan rutinitas ini Alim ikut menciptakan suasana yang literate, komunitas literasi atau republik literasi. Seiring berjalannya waktu kedai kopi yang menyertakan fasilitas buku semakin banyak hadir dan masing-masing membentuk komunitas literasi.
“Alim, pergi ke Kedai itu lagi?” Sapa Ayah Alim.
“Iya, Ayah. Sudah pukul 10.30 sedikit terlambat. Teman-teman sudah kumpul semua di sana. Hamid, Abdul Hamid sudah di depan” Jawab Alim dengan ransel yang penuh buku dan terus meninggalkan ayahnya yang sedari pukul 06.00 sudah sibuk dengan naskah yang akan diedit atau pengajian anak-anak kuliahnya. Alim selalu pergi ke Kedai bersama teman sebangkunya ini. Rumah Hamid tepat di depan rumah Alim.
“O, iya Hamid berhenti sebentar di percetakan di kanan jalan itu” Tunjuk Alim ke arah percetakan “Saya mau beli buku untuk referensi diskusi kita nanti” Hamid hanya mengangguk. Tak lama Alim dan Hamid tiba di Kedai Kopi Literasi, kedai favorit mereka berdua.
Di kedai teman-teman Alim sudah menunggu dengan pesanan mereka masing-masing. Reza, Refhan, Nashr Zaid, Fatih dan Hamid adalah teman-teman yang biasa berdiskusi bersama Alim.
“Woi, Alim, pesan apa?” Pinta Hamid, “Saya saja yang berangkat. Kamu diam saja!” Bentak Hamid yang tadi sempat berebut dengan Alim perihal siapa yang akan memesan.
“Ok, kopi hitam, dan air mineral” Pesanan Alim seperti biasanya. “O, iya Hamid rokok Surya juga, saya kehabisan rokok” Tandasnya. “Oke, siap” Jawab Hamid lalu pergi ke kasir. Selang beberapa menit, diskusi pun dimulai.
“Baik, terima kasih kepada teman-teman semua telah konsisten dengan diskusi yang telah berjalan hampir dua tahun ini. Siang ini kita akan mendiskusikan ‘Pasang Surut Demokrasi’. Tema ini dikirimkan oleh teman kita, Ricky Febian”.
“Alim, kemana si tukang data itu, kok tumben gak datang” Potong Reza.
“Ricky sedang menemani ibunya yang sedang sakit. Dia tadi titip permohonan maaf karena berhalangan” Dengan raut wajah sedikit jengkel karena mukadimah diskusinya dipotong.
“Baik, Tema ini sangat menarik kita bahas” Lanjut Alim. “Di samping sedang ramai dibicarakan di mana-mana, tema ini sangat penting karena menyangkut dengan demokrasi yang telah dijalankan di Negeri ini sejak lama. Dan kini tengah terusik oleh tangan tirani penguasa”.
Setelah diskusi dimulai Alim mempersilahkan semua anggota diskusi menyampaikan pandangan masing-masing. Sesekali di antara diskusi mengambil koleksi di kedai. Pengunjung yang lain juga berdatangan dan ikut nimbrung. Diskusi semakin seru, ramai dan panas. Dan setelah tiga jam, diskusi pun berakhir.
“Baik, teman-teman kita lanjut diskusi ini hari Ahad lusa. Tema seperti ini paling tidak memerlukan dua sampai tiga kali pertemuan” Tutup Alim diskusi sore itu.
Dan semua anggota pun bubar. Tidak lama Alim tiba di rumah, tepat pukul 17.30 sore. Alim bergegas ke meja makan, lalu mandi dan bersiap untuk salat Maghrib di musala samping kanan rumahnya.
“Em, apa sebenarnya yang terjadi dengan demokrasi di Negeri ini ya?!” gumam Alim di atas ranjangnya. “Ahkhhhh, kok mimpi tentang itu ya?! Hahaha, tidur lagi ah” Alim kembali tidur. Tak lama fajar pun menyingsing…
LATAR BELAKANG; Guru Spektakuler!
“Alim, tidur yang benar. Kasihan buku di pangkuanmu itu. Taruh dan tidur di kamar” Perintah ayah Alim.
Alim segera beranjak dari balkon rumah dan pergi ke kamar. Sudah menjadi kebiasaan Alim tidur bersama buku. Terlentang, duduk, atau sambil bersandar ke pagar balkon. Kadang terjaga, diambil ayah, atau terhimpit punggung.
Malam itu Alim sibuk mempersiapkan presentasi keesokan harinya. Gurunya, Abdul Ghoni Maftuh memberikan tugas presentasi fikih sosial kepada Alim dengan tema “Menyoal Dinamisme Fikih Turāts Dalam Realita Kekinian”. Alim lahir di tengah-tengah keluarga pemeluk kecenderungan turāts. Dia harus menjawab soal materi presentasi.
“Kajian fikih ada untuk menjawab realitas sosial dan politik. Selama persoalan yang terjadi masih dalam lingkup ijtihādiyah, fikih dapat bergerak dengan dinamis” terang ayah Alim. “Perbedaan hukum dalam satu kasus” lanjutnya, “Membuktikan bahwa fikih beradaptasi dengan sosio-kultural yang berkembang, dan akan terus demikian” Sarapan pada pagi hari itu menjadi gladi kotor presentasi Alim.
“Memang demikian, Ayah, fikih responsif dengan lingkungan sekitar, tapi tentu tidak se-mutlak itu. Tidak semua realitas sosial dijawab oleh fikih. Tetap harus berdasar pada sumber syariat dengan metodologi yang tepat” Sambung Alim sambil memperlihatkan catatan materi presentasi kepada ayahnya. “Bukankah demikian, Ayah?” Tandasnya.
“Tepat sekali. Kajian fikih yang ayah maksud sebelumnya, adalah kasus fikih yang dibangun di atas realitas sosial” Ayahnya melanjutkan sambil memeriksa materi presentasi “Dan realitas sosial di suatu tempat itu berbeda dengan tempat yang lain. Alim, materi ini sudah cukup” Pungkas Ayah Alim, lalu memberikan kembali catatan itu.
Pada jam istirahat Alim langsung ke perpustakaan sekolah. Dia harus memeriksa beberapa referensi dan detail keterangan yang disampaikan gurunya, Ust. Maftuh.
“Ust. Maftuh, bagaimana penelitian anda untuk studi S3, lancar, kan? O, ia. Anda mengkaji jejak ilmu (metodologi) hadis masa Rasulullah dan Sahabat. Sepertinya menarik” Alim membuka diskusi kecil yang biasa mereka berdua lakukan setiap kali jam istirahat.
Bagi Alim, Ust. Maftuh lebih dari seorang guru. Alim sangat terpengaruh dengan sisi Ilmiyah guru yang satu itu di samping juga terpengaruh dengan Ust. Abdul Fatah, gurunya yang lain.
“Benar, Alim. Sementara ini literatur ilmu hadis yang ditulis para ulama hampir sepakat bahwa metodologi hadis baru ditemukan awal abad kesatu hijriah dengan ditandai perintah kodifikasi hadis dan ilmu yang lain oleh Khalifah Umar bin Abdul Aziz” Ust. Maftuh menjelaskan. “Padahal ilmu hadis” Lanjut Ust. Maftuh “Menurut pengamatan saya pada kandungan hadis-hadisnya Rasulullah, sudah ada sejak dulu, bahkan saat Nabi masih ada. Ha, iya, Alim sendiri mencari apa?” Tanya Ust. Maftuh lepas Alim.
Alim menjelaskan maksudnya kepada Ust. Maftuh “Saya memerikasa referensi dan detail keterangan yang anda jelaskan di kelas. Ada beberapa poin dan pemikiran baru yang menarik. Dan saya ingin memastikan itu” Tidak lama setelah itu, Alim kembali ke kelas.
Alim sangat menghormati Ust. Maftuh. Darinya, dia mendapatkan banyak referensi. Selain itu, Alim juga kagum karena ia dapat berdiskusi dengan Ust. Maftuh tanpa rasa sungkan. Dan gurunya itu, selalu mengiyakan setiap ajakan diskusi dari Alim atau pelajar yang lain.
Sepulang sekolah Alim langsung ke kafe favoritnya. Kali ini dia sendiri. Memang dia berniat membaca buku santai. Dia merasakan berat di kepalanya setelah beberapa hari ini dia sibuk dengan keterangan-keterangan Ust. Maftuh dan tugas presentasi. Beberapa saat di kafe, Alim mendengar suara memanggil namanya.
“Alim, ayo gabung!” Tenyata Ust. Maftuh sedang ngumpul bersama rekan-rekannya. “Kita sedang diskusi. Kamu sendiri kan?” Lanjut Ust. Maftuh sambil isyarah kepada rekan di samping kanannya untuk bergeser.
Alim segera beranjak dan mendatangi Ust. Maftuh “Ust. Maftuh, anda di sini” Lalu Alim bergabung dalam diskusi bersama Ust. Maftuh.
Alim menjadi lebih tahu kepribadian Ust. Maftuh “Ust. Maftuh sangat keren. Dia dapat menyangkal setiap sanggahan peserta diskusi di kafe, lalu merumuskan setiap data dan nalar” Gumam Alim sambil mencari kendaraan untuk pulang. Tidak lama dia menemukan becak. Di atas becak dia membaca sampai tiba di rumah, dan begitu seterusnya.
Di rumah, Alim langsung ke kamar dan tidur. Pukul 14.30 Alim bangun lalu salat. Sembari menunggu waktu Ashar, dia membaca ulang pelajaran Ust. Maftuh di balkon. Dia juga mempersiapkan materi diskusi yang akan dilaksanakan di kafe favoritnya itu akhir pekan. Diskusi kali ini akan istimewa bagi Alim karena akan dihadiri Ust. Maftuh. Sengaja Alim mengundangnya berdiskusi bersama dengan teman-teman Alim selama ini di kafe.
Waktu Ashar bersambut. Pelajaran selesai dibaca ulang, dan persiapan diskusi akhir pekan beres dan selesai. Setelah itu semua Alim mandi dan cepat-cepat ke masjid untuk salat Ashar.
Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop : https://ppimaroko.or.id/ppi-shop/#pu-pay
Saksikan video-video keseruan even PPI Maroko : https://www.youtube.com/@PPIMarokoOfficial