Serial Literatura #4: Pria Tidak Bercerita? Emang boleh?
Kalian semua pada nyadar, ga sih, kalau akhir-akhir ini sering banget muncul meme ‘pria tidak bercerita’ dalam berbagai konteks. Ada yang pasien ditanya dokter terus jawabannya begitu, ada juga yang lengah sedikit sudah sampai ke Kamboja, dan banyak lagi yang lain yang pastinya sudah sering banget kita temukan. Nah, sebenarnya kalimat ini tuh relate di kehidupan nyata atau cuma sekadar candaan biasa? Berangkat dari situ, penulis tertarik untuk membahas makna di balik kalimat tersebut dan berusaha untuk mengupas beberapa fakta terkait dengan itu. Langsung saja kita bahas, yuk.
Meme bukan sembarang meme
Kalimat ‘pria tidak bercerita’ tentunya sudah sering kita temukan terutama di media sosial seperti Instagram, TikTok, X (yang sebelumnya Twitter), dan lain sebagainya. Biasanya konten tersebut berisi seorang pria yang melakukan suatu kegiatan guna melupakan sejenak masalah hidupnya. Sekilas terlihat receh, namun ternyata menyimpan pesan menarik di dalamnya. Salah satu pesan tersebut tak lain adalah bagaimana masyarakat kita memandang peran pria dalam mengelola emosi mereka.
Para ahli psikologi dan sosiologi menanggapi hal ini secara serius. Dikutip dari kompas.com seorang Dosen Sosiologi Universitas Sebelas Maret (UNS) Prof. Dr. Argyo Demartoto, M.SI. mengatakan bahwa ada semacam konstruksi sosial tentang maskulinitas dan feminitas bahwa pria harus aktif, kuat, tegar, dan tidak menunjukkan kelemahannya. Hal ini yang menyebabkan pria dilabeli sebagai orang yang ‘harus kuat dan tidak boleh lemah’ oleh masyarakat. Lalu bagaimana pendapat psikolog mengenai hal tersebut?
Dikutip dari detik.com seorang Psikolog asal Amerika Serikat Kate Balestrieri, Psy.D. mencoba menjelaskan mengapa pria cenderung lebih sulit untuk bercerita. Beliau mengatakan bahwa di dalam dunia psikologi terdapat istilah alexithymia yang berarti “tanpa kata-kata untuk emosi”. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa fenomena alexithymia ini lebih sering terjadi pada pria dibandingkan wanita. Itulah yang menyebabkan pria jarang untuk bercerita, mengungkapkan perasaannya.
Sebenarnya fenomena ini merupakan hal yang lumrah saja, mengingat psikologi pria pada dasarnya memang seperti itu. Namun perlu diingat bahwa angka kematian akibat bunuh diri banyak dialami oleh pria dibandingkan wanita. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, bunuh diri disebabkan karena adanya depresi yang disebabkan oleh tekanan di lingkungan sekitar yang menyebabkan adanya gangguan mental dari pelaku bunuh diri tersebut. Banyak ahli yang mengaitkannya dengan kondisi mental pria. Hiii ngeri, ya.
Tapi kenapa, pria tidak bercerita?
Berdasarkan dari pengamatan dan pendapat penulis pribadi, terdapat beberapa faktor lain yang menjadi alasan mengapa pria jarang bercerita, di antaranya:
Trauma. Beberapa pria mungkin pernah mengalami trauma di masa lalu di mana mereka ditertawakan saat tengah bercerita. Ini yang membuat pria malas bercerita, karena bercerita dianggap sebagai hal yang tabu di lingkungannya.
Naluri pelindung. Pria merasa bertanggung jawab untuk menjadi seorang pelindung. Karena itu pula, pria akan tetap bertahan agar orang-orang yang dilindunginya merasa aman. Pria berpikir dengan ia bercerita, itu menandakan bahwa ia kalah. Hal tersebut akan membuat mereka khawatir dan merasa tidak aman.
Tingginya ekspektasi. Beberapa pria dibebani harapan yang terlalu tinggi oleh lingkungan sekitarnya, entah itu keluarga, teman, maupun masyarakat sekitar. Ini membuat pria enggan bercerita mengenai masalahnya karena takut akan menghancurkan ekspektasi mereka.
Mindset ‘Selesaikan dulu masalahnya’. Menurut psikologi, ketika pria ditimpa suatu masalah, ia akan benar-benar berusaha untuk menyelesaikan masalah itu dulu sendiri, setelah ia telah menemukan solusi, baru kemudian ia akan menceritakannya kepada orang lain seolah-olah semuanya baik-baik saja.
Beberapa faktor di atas mungkin related dengan sebagian dari kita, dan mungkin saja ada faktor lain yang luput dari pengamatan penulis yang menjadi alasan mengapa hal tersebut banyak terjadi. Setiap kita pastinya punya alasan pribadi mengapa suatu hal itu dapat terjadi.
Di akhir tulisan ini, penulis dapat menyimpulkan bahwa kondisi mental seseorang baik itu pria maupun wanita harus benar-benar diperhatikan. Stigma masyarakat terhadap pria sudah sepatutnya diubah dari ‘pria tidak bercerita’ menjadi ‘pria boleh bercerita’ karena setiap manusia mempunyai hak untuk bercerita, untuk didengarkan. Lingkungan yang sehat akan menghasilkan masyarakat yang berkualitas.
Inti yang ingin penulis sampaikan adalah apabila merasa ingin bercerita, maka ceritakan saja seperlunya, selama itu baik buat diri kita. Jangan dipendam, karena itu akan berakibat fatal bagi kesehatan mental kita.
Normalisasi pria bercerita, berhenti menganggap bahwa pria itu lemah hanya karena bercerita. Karena kesehatan mental itu hak semua orang. Belajar untuk mendengarkan dan didengarkan, belajar untuk saling menghargai. Terlebih kita yang tengah merantau di negeri orang, yang harus menghadapi beragam macam problema yang ada. Semangat ujiannya. Baarakallu fiikum.
Literatura #4 oleh Muhammad Bima Guevara
PPI Maroko undang Ust. Nuruddin dalam Seminar Internasional, kunjungi @zawiyah.nusantara untuk informasi lebih lanjut!