Paradoks Kematian dan Hal-Hal Buntu Tentangnya yang Asyik

Tak ada satu pun yang lebih paradoks dalam kehidupan ini selain kematian. Lihat. Bahkan kalimat pertama itu sudah paradoks. Jika anda merasa ungkapan saya ini mind-blowing, artinya anda setuju dengan tulisan ini, kematian itu asyik. Namun, jika anda merasa biasa saja, tandanya anda orangnya emang kurang asyik, bahkan lebih ke-arah nggak asik. Tapi mari berhenti mengutuk dan menghujat diri anda sendiri. Pembaca budiman yang baik hati, meskipun nggak asyik. Biar saya jabarkan dan buktikan kalau kematian, dan semua paradoksnya yang buntu, itu asyik. Sedikit himbauan, tulisan ini akan bertele-tele dan panjang.

    Pertama, paradoks dari kematian adalah wajahnya yang baru tampak justru saat kehidupan muncul. Detik menuju kematian ,mulai berdetak ketika suatu wujud fisik mulai bernapas dan menunjukkan tanda-tanda kehidupannya. Kucing, Naga, Kuda laut, Bakteri, Jin hingga manusia dalam daftar kematian. Suatu saat pasti akan didatangi kematian. Sementara batu, tanah, air, udara, api, hingga kotoran kita, tidak bisa merasakan kematian. Tak ada ‘saat’ pun bagi semua benda tak bernyawa itu untuk menjalani kematian. Alasannya? Karena mereka tak hidup. Anda bisa saja membantah, “lha, karena emang benda-benda itu udah mati, ya mereka ndakakan merasakan mati”. Tapi pertanyaan ini bermasalah, karena makhluk hidup bisa merasakan hidup, kenapa makhluk mati tak bisa merasakan mati? Hayoolooo. Saya harap anda ndak bingung, hhhhe. Tapi kalau anda bingung, itu bagus. Artinya anda asyik, chuaks.

    Ini adalah kebuntuan di paradoks pertama kematian: tak ada satu pun makhluk hidup yang benar-benar tahu rasanya mati ( kecuali hatinya yang mati ), hanya makhluk sudah mati yang tahu rasanya mati, padahal cuma makhluk hidup yang sudah mati, makhluk mati ndak bisa mati. Atau proposisi kebuntuan itu bisa disederhanakan dalam kalimat yang lebih abstrak: tak ada satu pun dari orang hidup yang tahu hakikat kematian, mungkin, dan ini menurut saya sendiri. Kebuntuan inilah yang bikin blingsetan para pilusup sejak ribuan tahun lalu, “apa yang ada di balik kematian?”. Tak ada yang bisa menerka dengan pasti, bahkan pengalaman orang yang mati suri beda-beda versinya, sebagian bertemu Yesus, sebagian bertemu Nabi Muhammad, belum pernah ada yang bertemu Fir’aun ataupun Lucifer chuaks, untungnya – setahu saya. Jadi pengetahuan pasti tentang mati pun ndak bisa didapatkan oleh orang yang matinya bisa dikatakan nanggung dan hidup lagi, anda harus mati selamanya dan tak boleh kembali.

    Tentu kita bisa memilih berbagai jalur untuk meyakini apa yang ada di balik mati itu, misal: jalur iman atau jalur imajinasi. Meski ada satu lagi yaitu jalur sains materialistik yang pernah saya dengar dari mbah Coki chuaks. “ia mengatakan dan mungkin sudah meyaqini tak ada apapun setelah jasad mati, tapi bagi saya ini jalur yang ndak asyik, kureeeeng. Jalur imajinasi lebih asyik. Bayangkan setelah kematian adalah dunia seperti dalam anime Dragon ball. Roh anda dikasih ring bulat-bulat di atas kepala, lebih asyiknya lagi roh anda bisa work out! Ingat Kan Goku tambah kuat karena latihan di dalam alam barzakh? Kapan lagi anda bisa punya roh berotot?! Tapi imajinasi hanya imajinasi, saya yakin anda ndak mampu menghadapi kebuntuan  dengan khayalan Dragon ball.

    Sekarang mari kita beralih ke-paradoks kedua kematian. Bunyi paradoks itu adalah: orang hidup bisa lebih mati dari orang mati, orang mati bisa lebih hidup dari orang hidup. Orang hidup seringkali bisa membuat orang mati, orang mati justru seringkali bisa membuat orang hidup. Ini adalah kebuntuan unik dan bisa dibenarkan adanya. Teruntuk orang hidup yang lebih mati dari orang mati itu sendiri, anda mungkin sudah bisa menemukannya di mana-mana, mungkin juga itu adalah diri anda sendiri. Di dalam Alqur’an orang hidup sejenis ini difirmankan dalam ayat “laa yamutu wa laa yahya” yang tafsirannya “tidak bisa disebut mati karena masih bernafas tapi tidak pula pantas hidup karena tak bermanfaat dan tak punya makna”. Atau menurut Kiai Anwar Zahid “urip ndak mutu ngentekno biaya ( hidup ndak bermutu menghabiskan biaya).

    Kebuntuan lain orang hidup adalah hanya mereka makhluk yang bisa mendatangkan kematian secara paksa, bukan orang mati di kuburan yang tentunya sudah tak bisa apa-apa. Bahaya kematian untuk kehidupan tidak pernah datang dari Kuntilanak yang cuma bisa ketawa sambil nangis atau Pocong yang gabutdan suka loncat-loncat. Kehidupan seseorang justru begitu mudah direnggut oleh orang hidup itu sendiri. Saya ndak pernah mendengar Pocong memutilasi orang, kecuali film lhoo ya. Di sisi lain anda malah bisa menemukan orang mati yang ternyata lebih hidup dari orang hidup. Bahkan sebagian dari orang mati justru seringkali mampu membawa ‘kehidupan’ bagi orang hidup itu sendiri. Barangkali anda pernah mendengar ataupun menonton, lebih-lebih kalau anda sudah membacanya, ialah The Subtle Art of Not Giving A F*ck punya Mark Manson yang ndelalah pernah saya dengar. Betapa kisah mark yang kehidupannya berubah menjadi lebih baik setelah bermimpi ngobrol dengan Jhon, temannya yang mati tercebur di danau. “Namun, dengan cara yang aneh, berlawanan, kematian menjadi sebuah cahaya yang mampu menerangi bayangan makna-makna kehidupan” kata Mark dalam bukunya itu.

    Contoh yang lebih dekat bisa anda temukan di makam-makam Wali songo atau haul orang-orang alim nan soleh. Di sana anda bisa melihat banyaknya orang-orang berjualan, ada juga yang menyediakan jasa, ada lagi yang sekedar meminta. Orang-orang itu mendapatkan penghidupan dari berkah para Wali yang mendatangkan peziarah dari semua penjuru nusantara. Padahal para Wali itu sudah mati ratusan tahun. Jasad mereka hanya tergeletak saja di dalam kubur. Namun betapa namanya menyelamatkan hajat hidup orang banyak. Apa kabar saya yang masih hidup dan bergerak bebas?. Ndak tau lah..! 

    Kini sampailah saya dengan paradoks dan kebuntuan terakhir kematian, yaitu: betapa orang hidup berusaha mencari kebenaran seumur napasnya, padahal kebenaran paling pasti yang ada di akhir napasnya seringkali ditolak. Kalau kata lekHenry Manampiring dalam Filosofi Teras “ketakutan terhadap kematian tidak lain datang dari gambaran kita sendiri atas kematian yang gelap, pekat, dan begitu sunyi.” Kita takut menghadapi wajah kematian karena bayangan kita akan kesendirian, merasa hidup belum sukses, atau ancaman Neraka abadi. Rasa takut itu juga mungkin mendorong bermacam-macam orang berusaha mengangkangi kematian. Yuval Noah Harari dengan ambisi akan ramalan saintifiknya bertaruh pada ‘proyek Gilgamesh‘ untuk membuat tubuh yang bisa me muda terus-menerus atau menaruh kesadaran pada cyborg (semacam hibernasi kayak mau menuju black hole) mungkin. Jika pun bukan raga setidaknya nama kita yang abadi. Tutur pakde Ernest Becker menyebutkan manusia selalu berupaya menjalankan kehidupan dengan ‘Proyek Keabadian’ agar namanya selalu terkenang. Namun pakde yang satu ini mengakui upaya keabadian adalah omong kosong. Kematian adalah kepastian. Kalau pun tubuh kita bisa memuda atau menjadi cyborg, Matahari masih bisa meledak, alam semesta masih bisa dijatuhi meteor, kiamat dan kita semua tamat. Kalau pun nama anda terkenang, seperti kata pak Sabrang, kenangan oranag-orang akan hilang dan anda dilupakan selamanya. Pada akhirnya jalan buntu yang bernama mati itu tak punya jalan keluar. Pasti anda datangi kapan pun ‘saat’. Tapi bukan berarti kebuntuan ini ndak punya keasyikan. Seperti kebuntuan mati sebelumnya yang selalu berisi keasyikan-keasyikan, kebuntuan satu ini pun bisa kita asyik-i. Caranya, dengan jalur satu lagi yang belum saya rinci, yaitu jalur iman. IYAAHHH ANDA SEMUA SUDAH TERJEBAK, TULISAN SAYA TERLALU BERTELE-TELE DAN TERKESAN BASA-BASI, PADAHAL INTINYA SETELAH INI. MUNGKIN INI BISA DINAMAKAN DAKWAH TERSELUBUNG WKWKWKWK.

illustration by : Pinterest

    Namun mari untuk tak menaruh curiga terlalu dini pada iman dan agama. Biar saya menyebutkan serentetan kisah dan betapa asyiknya memeluk kebuntuan mati dengan iman. Suatu saat imam Junaid Al-Baghdadi di masa-masa sakratulmaut ditangisi oleh murid-muridnya. Ketika kesadaran beliau kembali, imam Junaid malah memarahi mereka, “kalian ini nangis ngapain lho? Emang kalian pikir saya ini mati mau kemana? Orang saya mau ketemu Allah kok!.

    Kisah unik lain datang dari riwayat kematian nabi Ibrahim yang punya julukan kholilullah. Di suatu hari, malaikat izroil mengetuk pintu nabi ibrahim dan mengucapkan salam. Izroil lalu meminta izin untuk mencabut nyawa beliau karena memang sudah waktunya –ini karena mau nyabut nyawa nabi, kalau nyawa saya ya langsung cabut-cabut saja. Nabi ibrahim menolak dan bilang “lho, saya ini kekasih Allah! Coba bilang sama Allah, masak ada kekasih kok mau nyabut nyawa kekasihnya?!. Singkat cerita Izroil yang kebingungan dengan argumen itu pun lapor sama Tuhan. Setelah lapor, Izroil kembali dengan balasan dari Tuhan. “begini ibrahim, kata Allah: Lhakamu ini yang gimana, masak ada kekasih kok ndak mau ketemu sama kekasihnya!”. Sontak nabi Ibrahim pun tersentak oleh jawaban itu, “oke kalau begitu Izrail, Gassskeun“! jawab tegas nabi Ibrahim yang kira-kirs bahasa sekarangnya gitu. Itulah secuil kisah, betapa asyiknya para hamba yang menghadapi kebuntuan mati pakai iman. Kita ini kebanyakan diancam-ancam siksa neraka dengan dalih iman, tapi lupa sebenarnya mau ketemu siapa. Salah satu ulama yang saya idolakan (walaupun saya bisa dikatakan jama’ah subtitle) yaitu Syaikh Said Ramadhan Al-Buthi pun ngendikanseperti itu. Pada potongan video beliau yang sedang berada di dalam suatu majelis. Beliau terlihat menangis tersedu-sedu saat menjelaskan kematian. Bukan, bukan tangis ketakutan, melainkan tangis keharuan. “Bukankah kematian itu kenikmatan? Bayangkan dengan siapa kalian berjumpa. Dengan Dzat Maha Pengasih yang semasa hidup telah kita terima surat-surat cinta Nya tapi belum bisa kita temui. Dan di depan kematian lah pertemuan itu akan terjadi”. Gimana? Setelah kita tengok betapa asyiknya ternyata kebuntuan di depan wajah kematian. Mati memang jalan buntu kehidupan yang tak bisa dihindari. Tapi di depan jalan buntu itu bukan jurang jelaga atau pun tembok nestapa. Di depan jalan buntu itu tak lain adalah  gerbang besar, pintu menuju rumah kekasih. Dan di akhir ucap kerinduannya pada kematian, Syaikh Al-Buthi menukil kalam NYa.

ولئن متم اوقتلتم لاءلى الله تحشرون

“sungguh jika kalian mati atau terbunuh, sungguh dan sungguh hanya kepada Allah lah kalian akan dikumpulkan”. (Ali Imron: 158)

Semoga dari anda semua ada yang membaca dari bawah, supaya ndakkebanyakan basa-basi dan menyita waktu tidur anda. Sekian terimakasih.

nantikan promo-promo menarik di PPI Shop : https://ppimaroko.or.id/ppi-shop/#pu-pay

saksikan video-video keseruan even PPI Maroko : https://www.youtube.com/@PPIMarokoOfficial

 

Tag Post :
Minggu-an Menulis,Sastra

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *