Nada dalam fikiran.
Nada yang kemarin aku katakan adalah cinta terakhir yang ada di dunia ini. Tak ada lagi pematian sebuah hati agar jiwa ini bisa memulai kehidupan baru dan menyirami kehidupan jiwa lainnya. Dikatakan namanya saja hidup, yang didalamnya beberapa ujian, dan kembali mengatakan “ Namanya saja ujian”.
Memikirkan, mempertimbangkan, menguraikan, dan lagi-lagi aku tercegat dalam satu kata “Metode” dalam berfikir yang ku buat sendiri. Rumit!.
Kasus pembelajaran yang selama ini terkesampingkan adalah bagimana membicarakan bentuk-bentuk pikiran itu sendiri dari pengertian, pertimbangan, dan penalaran, apalagi hukum-hukum yang menguasai pikiran itu sendiri. Cintaku sudah mati, untuk Nada dan setelahnya. Buku yang pernah ia sodorkan pun sudah tak lagi berfungsi mengembalikan gelagak canda.
Ku ambil aliran realisme dalam membangunnya kembali, untuk berganti buku dari apa yang pernah ku baca. Dari situ ku dapati kembali kematianku dalam bercinta, “Cinta yang paling tinggi adalah cinta yang mencapai titik ikhlas”. Lalu kurang ikhlas apa aku ini?
Jatuh cinta sering dipahami sebagai emosi yang kuat, emosi itu melibatkan suatu kelekatan kepada orang yang dicintainya, dan juga suatu penilaian yang tinggi kepada orang yang dicintainya. Misalnya dengan menghadirkan objek cinta, atau karisma cinta dengan mengatakan. “kau dewiku”, “engkau kekasihku”, emosi jatuh cinta memang terkadang begitu dahsayat menghadirkan cinta kekasihnya itu seperti makhluk-makhluk dari dunia mimpi.
Dan perlu kau tau, nada yang sering ku ceritakan itu. Nada pembius rasa, yang kerap kali membius pikiran. Dari situ aku mendapatkan pertanyaan, kekayaan apa yang diperoleh dalam pengalaman jatuh cinta? Walaupun sudah barang tentu bukan kekayaan material. Tapi kekayaan immaterial yang artinya “Kekayaan batinku terasa cukup, jika ada nada dalam fikiran dan hatiku”.
Illustration by freepik |
Yang lesuh menjadi lebih bergairah, dan aku pun tidak akan mengatakan energi jatuh cinta sama dengan energinya matahari. Energi batin, dimana jiwa, pikiran, perasaan dan kehendak lebih tergerakkan. Aku bisa berjaga sepanjang malam, memeluk cinta-cintaku untuk nantinya bisa memandang keindahan matahari terbit.
Betapa sering aku mengalami kegagalan yang melekat pada kata cinta. Dari situ aku ingin mencintai darimana, kapan, dan apa saja. Sehingga persepsi yang terlalu subjektif tertepis. Dan aku ingin mencintai diriku sendiri, disamping Nada masih dalam fikiran untuk sebuah pengertian.
Senin adalah hari yang selalu ku tunggu. Karna jawaban-jawaban mengenai, bagimana jika hanya ada kamu yang ku cinta? Bagaimana jika perasaan perasaanku yang dulu hanya tertumpuk di ujung jalan tanpa pernah terbang bersama layangan-layangan dan tiuapan angin sore? Dan bagaimana jika hayalan-hayalan tentang hati pupus begitu saja? Semua jawabannya ada di hari senin.
Hari dimana Perpustakaan Nasional dibuka, banyak buku-buku Nada yang tertinggal. Sedangkan aku, kamu dan siapa pun kamu yang ingin mengerti tentang Nada dalam fikiran, bisa tergerakkan untuk menuju kesana.
Perpustakaan Nasional tempat yang akrab ku sapa sebagai pelarian, untuk mengeyampingkan waktu penat, meliburkan olahraga, dan tidak melulu mengatakan produktif bekerja. Ku temukan cinta disana dengan memberikan waktu luang bergelut dengannya.
Ku dapati disana kisah Dzu Al-nun Al-misri, yang menafsirkan ayat-ayat al-qur’an sesuai dengan teori tassawufnya. Suatu hari ia sedang berjalan dan bertemu dengan sosok dan bertanya tentang cinta, kemudian ia dapati jawaban: “Cinta sejati tak mau dibelah dua, kalau cinta telah tertumpah pada Allah , maka tidak ada lagi cinta yang lain. Kalau cinta tertumpah pada yang lain, tidaklah mungkin disatukan cinta itu kepada Allah. Sebab itu tafakurlah, selediki dirimu, sipakah yang lebih engkau cintai”.
Lalu dia meminta untuk diterangkan kembali inti dari cinta tsb. Sosok itu mengatakan “Akal pergi, air mata jatuh, mata tak mau tidur, rindu dendam memenuhi jiwa, dan kecintaan berbuat sekehendaknya”.
Kemudian di hari jumat, ku sempatkan untuk berkunjung ke pesantren. Tempat dimana ku dapati setiap pojok ruangannya terdengar dendangan lantunan cinta. Nyaring, lantas aku dibuat mengais balik masa lalu. Pujian-pujian pujangga yang sempat tertinggal ditempat dimana ku temukan keabadian cinta sebelum akhirnya ku kenal Nada.
Terpanah aku dengan dendangan cinta dari qasidah burdah ini, “Dapatkah engkau pungkiri cintamu, sedangkan air mata dan derita telah bersaksi atas cintamu dengan jujur tanpa dusta”.
Yah, bagimana mungkin aku bisa memungkiri rasa kecintaan ku ini yang telah nyata ada. Dari cucuran air mata dan derita yang telah menjadi saksi untuk mu tidak perlu ragu lagi.
Kamu cinta, kamu akan menuntaskan buku-buku mu itu untuk dibaca, walaupun yang akan kamu dapatkan dihalaman terakhirnya adalah kisah percintaan yang singkat, padat, dan ditutup dengan kehampaan dalam diam.
Rabat, Januari 2022.