Mahsa Amini dan Dilema Kebebasan Berpakaian ala Barat

Baru-baru ini cukup ramai berita tentang Mahsa Amini, seorang wanita malang yang meninggal dunia diduga karena dianiaya oleh polisi sebab hijabnya dianggap kurang memenuhi syarat.

Mahsa Amini adalah seorang muslimah berumur 22 tahun, tinggal di Kurdistan, Iran. Tanggal 13 September 2022, dia berniat untuk berlibur bersama keluarganya ke Teheran, Iran. Dari rumah menuju Teheran mereka menumpang metro seperti kebanyakan orang.  Namun ketika mereka keluar dari stasiun tiba-tiba Amini dihadang mobil patroli kepolisian dengan alasan kerudung yang ia kenakan kurang sopan. Ia lantas diseret masuk ke dalam mobil (menurut desas-desus yang beredar, dia dipukuli selama di dalam mobil). Sesampainya di kantor polisi, Amini ambruk kepalanya membentur kursi dan hidupnya selesai setelah beberapa jam menjalani perawatan di rumah sakit. Menurut keterangan dokter, ia meninggal karena stroke dan serangan jantung yang mengakibatkan terjadinya mati otak.

Kisah Mahsa Amini mengingatkan kita pada kejadian serupa pada masa Orde Baru, di zaman Presiden Soeharto. Setiap perempuan berhijab yang bersekolah di sekolah negeri mendapat tekanan untuk melepas hijabnya, sehingga mau tak mau mereka harus pindah ke sekolah swasta. Beberapa waktu lalu juga tersebar berita mengenai pemaksaan hijab pada perempuan yang tidak berhijab di beberapa sekolah negeri, bahkan yang terakhir dipaksa adalah seorang non-muslim di sebuah SMK di Padang, kemudian juga munculnya kreator konten (atau konten kreator, content creator, ngga tau yang bener gimana penyebutannya hehehe) yang menjual konten bertema serupa.

Kembali pada kisah Mahsa Amini, aku melihat akar yang amat dalam. Kisah ini bukanlah hal yang tiba-tiba terjadi. Sehingga tentu saja kita perlu mengetahui tentang naik-turun kondisi Iran dan perkembangan masyarakatnya yang berakibat pada inkonsistensi standar hijab disana.

Mahsa Amini – Image by Google

Syah Mohammad Reza Pahlavi

Kerusakan standar kriteria hijab di Iran dimulai pada masa Syah Mohammad Reza Pahlavi, raja terakhir Dinasti Pahlavi di Iran. Beliau naik tahta pada tahun 1941 hingga ia terpaksa meninggalkan Iran ketika Revolusi Iran pada tahun 1979. 

Beliau terkenal melalui revolusi putih, sebuah gerakan reformasi radikal di bidang ekonomi dan sosial. Beliau membawa angin westernisme ke langit Iran, memberi hak suara terhadap perempuan, melarang penggunaan hijab, menggantinya dengan topi (tampaknya beliau begitu terpengaruh dengan gaya berpakaian Barat) dan nasionalisasi sumber daya alam. Kerasnya pemerintahan Syah Mohammad Reza memaksakan gaya kehidupan orang Barat, juga turunnya demokrasi pada masa beliau, mengundang oposisi dari golongan tradisionalis Syiah. Memunculkan revolusi Iran yang mengubah Iran dari monarki menjadi republik Islam dibawah pimpinan Ayatollah Khamenei. 

Ayatollah Khamenei, sebagai tradisionalis Syiah, kembali mengetatkan peraturan hijab yang sebelumnya dilarang oleh Syah Mohammad Reza. Imbasnya, perempuan yang terlanjur nyaman tidak berhijab, mulai melonggarkan hijab mereka dan melawan hukum yang ditetapkan oleh Ayatollah Khamenei. 

Naik turun politik Iran, menjadikan standar kriteria hijab tak menentu, inkonsisten. Hal ini merembet hingga kini, menyisakan demonstrasi atas kematian Mahsa Amini, dan tuntutan kebebasan berpakaian di Iran. Kebebasan berpakaian sebagaimana yang mereka lihat di Barat.

Apa yang terjadi pada Mahsa Amini merupakan dampak panjang dari berbagai pengalamannya sebagai wanita Iran, dan kondisi sosial yang memberinya jalan untuk tidak merapatkan hijabnya. Hingga ia harus berhadapan dengan hukum besi Ayatollah Khamenei di pagi hari yang cerah itu. 

Sayangnya, hal ini tidak hanya berlangsung di Iran. Negara-negara Timur Tengah yang lain juga mengalami  hal serupa. Pengaruh penjajahan orang Barat membawa arus westernisme bahkan selepas orang-orang Arab meraih kemerdekaan mereka. Tentu kita tahu banyak negara yang mencoba kembali menerapkan hukum Islam kembali namun seperti yang terjadi di Iran, orang-orang sudah muak dengan aturan yang mereka anggap ketat itu. Pemerintah berada di posisi dilematis, memaksa tegaknya syariat dan menghadapi demonstrasi menuntut kebebasan; atau mengizinkan kemunkaran berkedok kebebasan yang dihembuskan Barat.

Dilema Kebebasan Berpakaian ala Barat

Fesyen ala Barat, yang tentu amat kita minati karena selalu fresh dan berkembang. Nyatanya telah mempengaruhi esensi dari kebebasan berpakaian itu sendiri. Ciri khas gaya berpakaian Barat yang kita saksikan di film-film dan berbagai acara musik. Gaya yang berusaha merepresentasikan kebebasan tanpa batas, menentang segala etika berpakaian Islam dan melawan norma masyarakat Timur. Sehingga tanpa sadar esensi “kebebasan berpakaian” itu sendiri telah berubah menjadi “berpakaian ala Barat adalah wujud kebebasan”.

Bukan berarti bahwa seluruh tren berpakaian Barat merupakan suatu hal yang perlu dihindari (atau mungkin agar lebih terasa; diperangi). Demikian pula slogan kebebasan berpakaian tentu tidak salah. Semua orang memiliki kebebasan untuk mengenakan pakaian yang mereka minati. Seorang laki-laki boleh saja mengenakan celana jeans maupun sarung, kemeja maupun jallabah, Air Jordan maupun muzzah. Demikian pula perempuan. Islam sudah menetapkan batasan-batasan aurat demi maslahat kebaikan manusia. Hal ini yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam menyikapi kebebasan berpakaian ala Barat. Sebebas apapun pakaian yang kita pakai haruslah tetap menutup aurat.

Penutup

Dilema amat terasa ketika menyaksikan rentetan peristiwa yang berhubungan dengan kebebasan berpakaian terutama hijab. Di satu sisi ingin rasanya menegakkan syariat Allah, menyeru pada apa yang telah Ia perintahkan. Menyerukan kewajiban menutup aurat sebagaimana yang telah ditetapkan dalam syariat amat sulit dijalankan bersamaan dengan berbagai mode dan tren fesyen ‘terbuka’ yang terus-menerus digemborkan media Barat. Apalagi dengan wacana dehijabisasi yang mulai muncul kembali. Di sisi lain kita tentu tidak ingin hal yang dialami oleh Mahsa Amini terulang kembali. Sehingga pada akhirnya semua akan kembali pada setiap diri muslim.

Berhijab, lebih jauh menutup aurat, adalah kewajiban. Namun menjalankan kewajiban tentu pilihan setiap orang.

(Seseorang boleh memilih surga atau neraka, itu sesuka mereka)

Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop : https://ppimaroko.or.id/ppi-shop/#pu-pay

Saksikan video-video keseruan even PPI Maroko : https://www.youtube.com/@PPIMarokoOfficial

Tag Post :

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *