Gajah-Gajah Zaman Modern
Oleh Ashabul Yamin Najib
Mahasiswa S1 Universite Ibn Tofail
Salam, Warga! Lbas mizyan? Semoga kita semua selalu dalam keadaan sehat walafiat, ya.
Kali ini, saya sebagai penulis di Mingguan Menulis akan membagikan sedikit tulisan yang cukup relate dengan kehidupan kita sebagai mahasiswa. Selamat membaca, Warga!
Yahya Al-Laythi dan Kedatangan Para Gajah
Kita mulai dengan kisah Yahya bin Yahya Al-Laythi (w. 234), seorang ulama muslim terkemuka dari bumi Andalusia, perawi utama dalam kitab Al-Muwattha karangan Imam Malik. Beliau telah berguru kepada Imam Malik dalam waktu yang lama, rela menempuh jarak yang sangat jauh dari Andalusia ke Madinah untuk berguru kepada beliau. Suatu saat, datanglah kelompok musafir ke Madinah dengan menunggangi gajah. Karena gajah adalah hewan yang jarang dilihat, maka murid-murid Imam Malik berhamburan keluar ingin melihat gajah tersebut dari dekat, kecuali Yahya bin Yahya yang tetap memandang ke arah gurunya tanpa menoleh.
Melihat hal itu, Imam Malik tentu bertanya, “Mengapa engkau tidak keluar untuk melihat gajah?”
Yahya menjawab “Saya datang jauh-jauh dari Andalusia untuk belajar kepada Anda, bukan untuk melihat gajah.” Jawaban dari Yahya membuat Imam Malik takjub dengan keteguhannya sehingga dari peristiwa itu Imam Malik menjulukinya dengan عاقل أندلس atau Lelaki Cerdas dari Andalusia.
Kisah yang luar biasa ini menunjukkan bahwa ulama kita di masa belajarnya tidak mudah terdistraksi dengan hal lain. Karya mereka terus dipelajari dan tetap diingat meskipun mereka telah wafat ratusan tahun yang lalu.
Perbedaan yang Sama
Bagaimana jika kita bandingkan masa lalu dengan keadaan saat ini?
Tantangan penuntut ilmu saat ini semakin banyak dan semakin mudah terdistraksi dengan hal eksternal. Jika Imam Yahya tantangannya saat itu adalah gajah, maka kita saat ini sedang berhadapan dengan teknologi. Teknologi memudahkan komunikasi, bepergian, hiburan, bahkan akses informasi yang bisa menambah pengetahuan kita. Ia bisa menjadi senjata bagi kita atau justru mendistraksi kita.
Lalu apa bedanya gajah yang mengganggu Imam Yahya dan teknologi yang mengganggu kita? Keduanya sama-sama mengganggu. Sehingga kita bisa membuat istilah bagi segala hal yang mengganggu konsentrasi belajar kita dengan ‘Gajah’. Teknologi adalah salah satunya. Gajah-Gajah Modern.
Lalu, bagi kita mahasiswa di tanah Maghrib, mungkin ada satu tantangan khusus lagi. Apa itu? Tanah Maghrib itu sendiri. Tempat kita belajar saat ini bisa menjadi gajah yang mengganggu kita. Loh kok bisa?
Maroko Sebagai Gajah Modern
Tanah Maghrib adalah tanah yang penuh dengan ilmu dan hikmah. Di satu sisi, tanah ini menjadi saksi bisu perkembangan keilmuan umat Islam abad pertengahan. Kita tahu Imam Ajurrum rahimahullahu ta’ala lahir di sini. Kita tahu tarekat sufi dunia bermuara di sini, dan hikmah-hikmah lainnya. Namun di sisi lain, jangan lupa bahwa negara ini juga negara wisata. Ada banyak tempat-tempat yang bisa memanjakan mata kita. Instagramable. Sistem perkuliahan tanpa absen yang disalahgunakan dengan tidak masuk kelas sama sekali. Tentunya jangan lupa, smartphone, laptop, dan sebagainya adalah gajah gajah modern. Lebih kecil, lebih mengganggu.
Tanggung Jawab Moral yang Terabaikan
Karena semua gajah ini, kita abai dengan satu hal yang pasti: tanggung jawab moral dan keilmuan.
Suka atau tidak, tanggung jawab moral dan keilmuan kita lebih besar dibanding mahasiswa di Indonesia. Saat pulang ke tanah air nanti, sangat besar kemungkinan masyarakat akan menjadikan kita sebagai rujukan. Siapkah kita menghadapi fakta itu? Idealnya, kita takut pulang ke tanah air dengan tidak membawa apa-apa.
Ditambah, ada satu mindset di kepala kita yang beracun tentang cara kerja ilmu: ketika lulus ujian, berarti ilmu kita telah pasti, telah teruji, dan banyak (?)
Akibatnya, kita belajar dengan ‘sungguh-sungguh’ hanya ketika mendekati ujian. Ilmu yang luas, kita persempit di pikiran kita menjadi enam bulan-yang sebenarnya kita bisa belajar banyak hal di luar kelas. Lalu enam bulan tadi berusaha kita masukkan di kepala kita dalam waktu satu bulan, bahkan kurang. Efek dominonya, kita pasti kesusahan. Saat kita kesusahan, kita hanya belajar sebagian dari yang dipelajari. Saat ujian usai, kita lalu menjadikan momen setelah ujian sebagai momen untuk ‘balas dendam’ atas kesulitan belajar yang telah kita lewati. Iya, liburan tidak salah, tapi mindset kita sejak awal yang membuat definisi belajar berubah. Bahwa ‘belajar’ hanya sekedar ‘momen’, bukan ‘kebiasaan’.
Dua variabel tadi lalu tergabung: gajah dan mindset yang salah. Maka dua hal tadi menjadi rangkaian sebab-akibat: kita memiliki mindset tadi karena sibuk meladeni dan merawat ‘gajah’.
Solusi untuk Menghalau Gajah dan Mindset yang Salah
Lantas apa solusinya?
Ada satu kata yang cocok untuk menyelesaikan dua hal tadi: khusyuk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam surah Al-Mu’minun ayat 1-3:
قَدۡ اَفۡلَحَ الۡمُؤۡمِنُوۡنَۙ ١الَّذِيۡنَ هُمۡ فِىۡ صَلَاتِهِمۡ خَاشِعُوۡنَ ۙ ٢وَالَّذِيۡنَ هُمۡ عَنِ اللَّغۡوِ مُعۡرِضُوۡنَۙ (٣)
“Sungguh beruntung orang orang yang beriman. Yaitu orang yang khusyuk dalam salatnya dan orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tidak berguna.”
Seperti salat, ketika kita khusyuk dengan ilmu, maka kita tidak akan terganggu dengan apa pun, bahkan gajah-gajah tadi. Kita tidak akan sibuk mengingat ilmu, tapi kita merasakan dan menikmatinya.
Ada satu kutipan yang ‘menegur’ para penuntut ilmu agar totalitas dalam menekuni prosesnya:
من أعطى العلم كله أعطاه نصيبا, و من أعطاه بعضه لا يعطيه شيئا
“Siapa yang memberi seluruh miliknya kepada ilmu, maka ilmu tersebut akan memberinya bagian. Dan siapa yang hanya memberi sebagian kepada ilmu, maka ilmu tersebut tidak akan memberinya apa-apa.”
Demikianlah tulisan ini penulis bagikan bukan karena dia terlepas dari hal tadi, melainkan berasal dari apa yang dialami penulis itu sendiri. Dibagikan agar kita mengingatkan satu sama lain dan menjadi lebih baik lagi.
Terakhir, selamat liburan, Warga!
Kunjungi kami di @ppimaroko
Mingguan Menulis: Pemuda dan Al Qur’an