– Etimologi “Iqra” dan Terminologinya
Wahyu yang diturunkan Allah Swt. kepada nabi Muhammad pertama kali adalah surat Al-Alaq:1-5. Dan “Iqra!” menjadi perintah pertama yang Allah firmankan kepada Nabi Muhammad. Al-Qur’an datang menjadi petunjuk bagi Nabi Muhammad selaku manusia yang dipilih Allah untuk menerima firman-Nya dan Al-Qur’an juga menjadi petunjuk bagi umat Nabi Muhammad Saw. Maka dengan hal ini, kita dapat pahami bahwa “iqra!” (perintah membaca) pun menjadi tugas bagi manusia yang mengaku umat Nabi Muhammad Saw.
Kata iqra, diambil dari kata qara’a, pada mulanya artinya Jama’a (menghimpun) atau jama’ahu wa dhamma ba’dhahu ila ba’dhi al-akhar (mengumpulkan satu dengan bagian yang lainnya, silahkan lihat mu’jam Ar-Raidh). Dari sini, secara etimologi, bisa kita temukan derivat (bentuk turunan) yang banyak, yaitu membaca, mendalami, meneliti, menelaah, belajar, dan sebagainya, yang kesemuanya dapat dikembalikan kepada hakikat menghimpun atau mengumpulkan. Dari hal ini, setidaknya bisa menjawab pertanyaan penulis selama ini, selama pengalaman penulis tinggal di Maroko, ketika ditanya oleh penduduk setempat (orang arab asli) “dimana kamu belajar?” bukan dengan kalimat“feyn tadrus?” tapi “feyn taqra’?” memakai kalimat qara’a untuk menanyakan perihal belajar, atau menghimpun sebuah ilmu.
Baiklah, sekarang kita ambil arti kata “iqra” yang paling familiar, yaitu “Bacalah!” atau “baca”. Apa itu baca?
Kita selaku pelajar (yang katanya) bagian dari sebuah kehidupan akademisi, kamus besar bahasa indonesia menjadi dasar tumpuan dalam menggali suatu makna. Mari kita perhatikan apa itu membaca dalam pengertian kamus Besar Bahasa Indonesia:
baca » mem.ba.ca
⇢ Tesaurus
melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati): dia jangan diganggu, karena sedang ~ buku. (Sumber: https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/membaca).
“Melihat” dan “memahami” menjadi kata kunci dari etimologi seseorang itu membaca. Yang menjadi catatan besar kita adalah, membaca tak selaku harus bersuara, membaca bukan pula hal yang selalu berkaitan dengan melihat apa yang kita baca, tapi kita bisa menyebut sebuah kegiatan itu “membaca”, apabila dalam kegiatan tersebut ada sebuah bentuk usaha memahami apa yang kita lihat dan ada sebuah usaha menghimpun sebuah pemahaman.
Lalu bagaimana dengan terminologi membaca? Mari kita masuk ke sub bab berikutnya.
– Antara Qira’ah, Tilawah, dan Tadarus
Qiraaah, tilawah, dan tadarus, adalah tiga kata yang sering kita dapatkan dan temukan pada sebuah konsep dari sebuah kegiatan “membaca”. Namun apakah benar, konsepsi tiga kata ini mempunyai pemaknaan yang sama?
Ibnu Manzur dalam kamus fenomenalnya Lisanul ‘Arab memberikan penjelasan yang begitu panjang dan detail dalam karyanya tersebut tentang kalimat qara’a dan derivatnya, silahkan merujuk lansung kepada kitab tersebut. Tapi ada beberapa hal yang bisa penulis petik dari penjelasan panjangnya Ibnu Manzur tentang qira’ah, bahwa qira’ah itu memiliki korelasi kuat dengan beberapa unsur, yaitu
• tafahhama (berusaha memahami),
• daarasa (terus mempelajari),
• tafaqqaha (berupaya mengerti secara mendalam), dan
• hafizha (menghafal) karena menghafal juga berarti jama’a (mengumpulkan) dan dhamma (menyatukan).
Sehubungan dengan hal itu, ada baiknya kita menggali informasi dari Al-Qur’an tentang arti qara’a yang terulang sebanyak tiga kali dalam Al-Qur’an, yaitu: pada surat Al-Isra: ayat 14 ((اقرأ كتابك كفى بنفسك اليوم عليك حسيبا, surat Al-Alaq: ayat 1 dan 3 (اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ (1) اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ (3). Sedangkan kata jadian dari akar kata tersebut terulang sebanyak 17 kali, sedangkan kata “Al-Qur’an” yang menurut sebagian ulama merupakan bagian dari kata jadi dari akar kata “qara’a”, itu terulang sebanyak 70 kali.
Profesor Dr. Quraish Shihab, pakar tafsir Indonesia dan penulis tafsir Al-Misbah menjelaskan, bahwa jika kita melihat dan memperhatikan secara seksama objek membaca pada ayat-ayat yang menggunakan akar kata qara’a ditemukan bahwa ia terkadang menyangkut bacaan yang bersumber dari tuhan (Al-Qur’an dan kitab suci sebelumnya) dan terkadang juga objeknya adalah sebuah kitab yang merupakan himpunan karya manusia atau dengan kata lain bukan bersumber dari Allah. (lihat: M. Quraish Shihab: Membumikan Al-Qur’an, hal 262)
Dari sini, dapat ditemukan perbedaan antara qira’ah dan tilawah. Membaca yang mengambil dasar kata qara’a dan membaca yang mengambil dasar kata tala-yatlu-tilawatan. Adapun yang pertama, maknanya seperti penjelasan diatas, dan yang kedua digunakan untuk objek bacaan-bacaan yang sifat-nya suci dan juga pasti benar. (Lihat misalnya pada surat Al-Baqarah:252) تِلْكَ آيَاتُ اللَّهِ نَتْلُوهَا عَلَيْكَ بِالْحَقِّ ۚ وَإِنَّكَ لَمِنَ الْمُرْسَلِين َ (252)
Selain perbedaan dari segi objek bacaan, ada juga yang membedakan dari segi konteksnya, bahwa qara’a adalah membaca dengan usaha mengumpulkan pemahaman, baik itu dilafalkan atau tidak dilafalkan. Sedangkan tala-yatlu adalah membaca dengan melafalkan dan membunyikan suara.
Adapun dengan tadarus, asal akar katanya adalah darasa yang artinya berulang-ulang. Sedangkan secara terminologinya, tadarus adalah mempelajari Al-Qur’an berulang-ulang dan itu dilakukan bersama orang lain. Jadi bukan sendirian. Kata tadarus itu menunjukan keterlibatan dua pihak (al-Musyarakah), sedangkan darasa itu menunjukan satu orang. Dalam kata lain, tadarus itu saling belajar dan mengulang sampai paham.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, bahwa generasi terdahulu umat Islam dari kalangan Sahabat dan Tabi’in, selalu berkumpul untuk membaca dan saling menyimak Al-Qur’an dalam rangka menata hati dan mensucikan jiwa mereka. Rumah-rumah mereka, khususnya di bulan Ramadhan, berdengung tak ubahnya lebah-lebah, terpancari sinar, bertabur kebahagiaan. Mereka membaca Al-Qur’an dengan tartil, berhenti sejenak pada ayat-ayat yang membuat mereka ta’jub, menangis di kala mendengar keindahan firman-firman-Nya ataupun menangis kala mendengar ayat-ayat peringatan, serta gembira dengan kabar kebahagiaan. Mereka mentaati perintah-Nya sebagaimana menjauhi laranga-Nya. Inilah contoh yang dapat kita pakai dalam definisi tadarus.
– Implementasi fungsi “membaca” dalam membangun peradaban
Uraian diatas, setidaknya menjadi pengenalan kita kepada sebuah pengertian dan tingkatan dalam membaca. Dimanakah letak posisi kita dalam membaca Al-Qur’an? Apakah hanya sebatas melafalkan? Apakah sudah sampai kepada memahami apa yang kita baca? Atau bahkan selama ini kita belum bisa disebut membaca Al-Qur’an? Karena “membaca” mempunyai makna yaitu memahami, maka kita tidak bisa disebut sudah membaca sebelum kita sudah memahami. Membaca tak sekedar melihat kata, tapi mendapatkan apa yang dibaca. Membaca adalah memahami.
Membaca merupakan perintah yang paling berharga, yang dapat diberikan kepada umat manusia. Karena, membaca merupakan jalan mengantar seorang manusia mencapai derajat kemanusiaan yang sempurna. Sehingga tidak berlebihan jika kita sebut membaca adalah jalan dan syarat utama dalam membangun peradaban. Dengan membaca, akan banyak pemahaman-pemahaman yang menjadi dasar dalam membangun peradaban. Semakin banyak litelatur yang kita baca, semakin kita memahami beragam hal (alam semesta dan peradaban) dan tentunya menjadikan kita orang-orang yang tidak berpikiran sempit. Membaca merangsang pikiran agar terbuka. Dengan banyak baca, orang akan banyak tahu. Dengan sedikit membaca, hanya menjadikan ia “sok tahu”.
Dengan banyak membaca pula, suatu yang tidak mustahil, dapat mengantarkan manusia kepada sebutan dan definisi “makhluk membaca”, suatu definisi yang tidak bisa dimiliki makhluk lain dan tidak kurang nilai kebenarannya dari definisi-definisi manusia lainnya seperti “makhluk sosial” ataupun “makhluk yang berfikir”.
Manusia yang banyak membaca (memahami) terutama membaca Al-Qur’an, bisa diilhami pemahaman-pemahaman yang orang lain atau temannya tidak ketahui. Dan ini senada dengan apa yang pernah dikatakan oleh Abdullah Darraz, seorang ulama mesir dan mengenyam pendidikan di Sorbone-Prancis, tentang kemukjizatan Al-Qur’an yang mengatakan: “apabila anda membaca Al-Qur’an maknanya akan jelas dihadapan anda. Tetapi apabila anda membacanya sekali lagi, anda akan menemukan makna lain yang berbeda dengan makna-makna sebelumnya. Begitu seterusnya, sampai-sampai anda menemukan kata atau kalimat yang mempunyai arti bermacam-macam, yang semuanya benar atau mungkin benar. Ayat-ayat Al-Qur’an bagaikan intan: setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lainnya. Dan tidak mustahil, jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, ia akan melihat lebih banyak ketimbang yang anda lihat”
Wallahu’Allam.