Pagi ini, matahari mengambang di antara kabut, membentuk siluet di antara awan. Embun membasahi kaca-kaca rumah, sisa gerimis semalam. Pada awal musim dingin, aku berada tepat di salah satu negara terindah yang pernah ada, Maroko.
Orang-orang berlalu lalang mengenakan jaket tebal, syal di leher, menutupi seluruh tubuh. Satu dua terlihat mengunjungi toko roti memesan sarapan mereka. Uap yang keluar dari hembusan nafas mereka, pelan merobek kabut. Sepasang kekasih bersenda gurau di depan bangunan tua membuat cemburu bagi yang melihatnya. Kehidupan kecil kota ini baru saja dimulai beberapa menit lalu. Rutinitas kota kembali lagi diiringi kabut yang masih menggantung di sela-sela gedung tua. Burung-burung berkicau riuh. Cahaya matahari pagi lembut menerobos sela dedaunan pohon yang jatuh menimpa rumput dan bangku-bangku taman, menimbulkan bayangan indah yang magis dan syahdu. Memesona! Aku terpaku diam sesaat, bertasbih atas keagungan-Nya. Kemudian aku melanjutkan langkahku menuju halte bus menunggu tumpangan ke stasiun.
Pagi ini tidak terlalu ramai untuk berada dalam bus kota. Aku duduk di dekat kaca dalam bus, bersanding dengan ibu paruh baya dan balita perempuan lucu bermata indah di atas pangkuannya. Ia tersenyum padaku. Aku membalasnya dengan sapaan; ibunya ikut tersenyum. Aku memalingkan pandanganku ke arah jalanan kota yang masih basah, menyisakan para pedagang yang masih menyiapkan dagangannya di pinggir jalan.
Sesaat tiba di stasiun, aku bergegas menuju kereta jurusan Kenitra-Casablanca, mengonfirmasi tiket, lalu masuk ke dalam gerbong, dan mencari tempat duduk. Lima menit berlalu. Kereta membunyikan belnya tanda keberangkatan. Aku bersandar di tempat dudukku menikmatinya, sembari membuka tas, dan mengambil sepotong Miloui yang tadi kubeli di salah satu warung dekat rumah. Aku menyantap sarapanku bersamaan dengan kereta yang telah melaju kencang menuju Casablanca.
Kurang lebihdua jam perjalanan, kereta tiba di stasiun Casa Port. Aku keluar dari gerbong, berjalan melewati jantung stasiun yang padat menuju pusat kota. Aku melanjutkan perjalanan di atas trotoar dan menyetop sebuah taksi. “Fīn ghādiya?” tanya sang sopir. “Ilā Masjid Hassan Tsānī, Sīdī,” jawabku. Ia mengangguk. Aku pun memasuki taksi yang langsung melesat menuju Masjid Hassan II itu. Beberapa menit berselang, taksi telah tiba di sekitaran masjid. Aku membayar taksi lantas keluar dari mobil. Hangat terik matahari terasa di kulit menandakan hari memasuki siang.
Tepat di depan hamparan tanah beberapa jarak dari masjid, aku berdiri takjub sambil menatap keindahan masjid yang menawan, berdiri kokoh di tengah keramaian kota. Matahari menyinari salah satu sisi masjid membentuk panorama bayangan yang memesona. Kubah lebar berwarna hijau dengan menara menjulang tinggi menciptakan kemegahan tersendiri. Arsitektur peninggalan Kerajaan Spanyol dan Prancis yang fenomenal menarik perhatian siapapun yang menatapnya. Keindahannya membuat ingatanku terlempar ke masa lampau, ketika Islam berjaya menaklukkan Semenanjung Iberia (Andalusia) dan sekitarnya. Dikisahkan bahwa Thariq bin Ziyad, panglima utusan Musa bin Nushair, bersama 7000 pasukan muslimin berangkat dari Afrika Utara menuju sebuah kawasan pegunungan. Pegunungan itu kemudian dinamakan Jabal Thariq, yang saat ini disebut dengan Gibraltar. Dari sinilah kekuasaan umat Islam kemudian meluas ke seluruh Semenanjung Iberia.
Semenanjung Iberia saat itu dikuasai Kerajaan Visigoth di Hispania sejak abad kelima. Pada 710 M, Raja Kerajaan Visigoth, Witiza, meninggal dunia. Namun, anak-anak yang disiapkan sebagai penggantinya tak mampu berkuasa. Alhasil, seorang kerabat jauh kerajaan bernama Roderick mengambil alih kekuasaan melalui pemberontakan. Pada tahun yang sama, di bulan Juli, berangkatlah empat kapal laut yang membawa 500 orang pasukan terbaik umat Islam. Pasukan ini bertugas mempelajari bagaimana medan perang Andalusia. Mereka sama sekali tidak melakukan kontak senjata dengan orang-orang Eropa. Setelah persiapan dirasa cukup dan kepastian kabar telah didapatkan, Thariq bin Ziyad membawa 7000 pasukannya melintasi lautan menuju Andalusia. Mendengar kedatangan kaum muslimin, Roderick yang tengah sibuk menghadapi pemberontak-pemberontak kecil di wilayahnya langsung mengalihkan perhatiannya kepada pasukan muslimin. Ia kembali keIbu Kota Andalusia, Toledo, untuk mempersiapkan pasukannya menghadang serangan pasukan muslimin. Roderick bersama 100.000 pasukan yang dibekali dengan peralatan perang lengkap segera berangkat ke selatan menyambut kedatangan pasukan Thariq bin Ziyad.
Ketika Thariq bin Ziyad mengetahui bahwa Roderick membawa pasukan yang begitu besar, ia segera menghubungi Musa bin Nushair untuk meminta bantuan. Maka dikirimkanlah pasukan tambahan yang jumlahnya hanya 5000 orang. Akhirnya pada 28 Ramadhan 92 H bertepatan dengan 18 Juli 711 M, bertemulah dua pasukan yang tidak berimbang ini di Medina Sidonia. Perang yang dahsyat pun berkecamuk selama delapan hari. Pasukan muslimin dengan jumlahnya yang kecil tetap bertahan kokoh menghadapi hantaman orang-orang Visigoth pimpinan Roderick. Keimanan dan janji kemenangan atau syahid di jalan Allah telah memantapkan kaki-kaki mereka dan menyirnakan rasa takut dari dada-dada mereka. Di hari ke delapan, Allah pun memenangkan umat Islam atas bangsa Visigoth dan berakhirlah kekuasaan Roderick di tanah Andalusia. Setelah perang besar yang dikenal dengan Perang Sidonia ini, pasukan muslimin dengan mudah menaklukkan sisa-sisa wilayah Andalusia lainnya. Musa bin Nushair bersama Thariq bin Ziyad berhasil membawa pasukannya hingga ke perbatasan di selatan Andalusia. Kemudian Khalifah al-Walid bin Abdul Malik memanggil mereka berdua kembali ke Damaskus.
Kemenangan ini menjelaskan kepada kita bahwa Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad tidak hanya mengalahkan penguasa-penguasa Eropa. Namun, mereka berhasil menaklukkan hati masyarakat Eropa dengan memeluk Islam. Mereka berhasil menyampaikan pesan bahwa Islam adalah agama mulia dan memuliakan manusia. Manusia tidak lagi menghinakan diri mereka di hadapan sesama makhluk. Kemuliaan hanya diukur dengan ketakwaan bukan dengan nasab, warna kulit, status sosial, dan materi. Musa dan Thariq juga berhasil menanamkan nilai-nilai tauhid, memurnikan penyembahan hanya kepada Allah semata. Kemenangan Musa bin Nushair dan Thariq bin Ziyad merupakan buah dari kebijakan-kebijakan Kekhalifahan Umayyah yang seolah-olah dilupakan para pembencinya. Mereka disibukkan dengan isu-isu yang dibuat oleh orang-orang Syiah tentang Bani Umayyah yang dianggap telah menzalimi ahlul bait Rasulullah. Mereka juga larut dengan kalimat-kalimat orientalis yang mengatakan Kekhalifahan Umayyah jauh dari syariat Islam. Mereka tenggelam dengan kabar-kabar palsu itu dan lupa dengan jasa-jasa Bani Umayyah.
Bagi bangsa Eropa, tentu saja kedatangan Islam melalui Thariq bin Ziyad membawa dampak besar terhadap perkembangan peradaban mereka. Hal ini tergambar pada kemajuan negara-negara perbatasan Afrika-Eropa. Ini adalah awal kebangkitan modern dan terbitnya matahari yang menerangi kegelapan di Benua Eropa. Cahaya Islam menjadi satu-satunya penerang bagi bangsa barat sampai detik ini. Kediktatoran dan hukum rimba diganti dengan norma-norma humanis yang membawa kedamaian.
Sesaat, lamunanku tersadar oleh kumandang azan dzuhur berasal dari masjid. Lantunan merdu khas Maroko yang mendamaikan, menuntunku masuk ke dalam masjid untuk mengambil air wudu. Beberapa saat setelah wudu, sang imam mengambil tempatnya bersiap menunaikan salat. Muazin menyerukan ikamah tanda salat akan segera dimulai. Aku meluruskan safku, meniatkan dalam hati, kemudian bertakbir mengikuti imam. Suara indah lantunan ayat-ayat-Nya menenteramkan hati-hati yang gelisah dan jiwa-jiwa yang khawatir memikirkan dunia. Aku hanyut dalam irama ketenangan, bergemuruh haru, memenuhi rasa tak tertahankan dalam dada. Air mata tak terbendung di pelupuk mata, bersyukur atas rahmat-Nya, membuatku jatuh bersujud mengadukan segalanya. Aku rindu.
Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop
Dapatkan Info-info terkini dari PPI Maroko
Jayyiidddd jiddaaannn