Syauqi Dhaif dan Upaya Pembaharuan Nahwu
Ilmu gramatikal bahasa Arab (nahwu) bukan lagi hal yang asing bagi para pelajar yang consent pada ilmu agama Islam. Pada mulanya, ilmu nahwu diciptakan-paling tidak- karena maraknya lahn (miss gramatical) pada lisan, terlebih pada saat itu, banyak dari bangsa non Arab yang mulai mempelajari Islam dan Arab setelah ekspansi wilayah pada masa khulafa ar-rasyidin. Seiring berkembangnya zaman, dan dinamika keilmuan umat muslim yang semakin berkembang, ilmu nahwu mengalami perkembangan yang pesat. Bashrah yang pada saat itu menjadi tempat munculnya ilmu nahwu, juga menjadi tempat bertemunya pemikiran Yunani dengan Islam. Pertemuan tersebut tentunya berdampak besar pada ilmu nahwu. Ilmu ini tumbuh menjadi sebuah diskursus yang teoritis-filosofis. Alih-alih menjadi penjaga lisan dari lahn, ilmu nahwu malah tumbuh menjadi ilmu yang rumit, dan tak heran, pada zaman modern ini, hal ini menjadi sebuah kesulitan bagi pelajar pemula dalam memahaminya.
Ilmu nahwu yang memiliki wajah sebagai ilmu yang sulit dan filosofis menjadi sebuah keresahan bagi para pakar bahasa. Upaya taysir dan tajdid pada ilmu nahwu banyak dilakukan oleh ulama terdahulu dan kontemporer. Dari ulama terdahulu, yang cukup masyhur, ada Ibn Madha al-Qurthubiy (592 H) yang menuangkan pemikirannya tentang penolakan teori ‘amil dalam kitabnya Ar-Radd ‘alaa an-Nuhaah. Pemikiran Ibn Madha banyak mengilhami pakar bahasa setelahnya, salah satunya Syauqi Dhaif, pokok pembahasan pada tulisan ini.
Syauqi Dhaif, linguistik sekaligus sastrawan ulung Mesir. Ia meraih gelar pendidikannya di Fakultas Adab Universitas Kairo. Pada jenjang pendidikan master, ia berguru pada banyak linguistik masyhur, salah satunya Taha Husein. Syauqi Dhaif aktif menulis berbagai fan ilmu, di antaranya bahasa Arab. Karangan beliau kurang lebih mencapai 50 buku. Selain menulis, Ia juga seorang muhaqqiq (penyunting), karya suntingannya yang fenomenal yaitu Ar-Radd ‘alaa an-Nuhaah milik Ibn Madha pada tahun 1947. Dari pemikiran Ibn Madha, Syauqi Dhaif terilhami untuk melakukan hal serupa dengannya; pembaharuan ilmu Nahwu yang ia sajikan dalam bukunya; Tajdiid an-Nahw. Syauqi Dhaif dalam bukunya mengajukan pembaharuan ilmu nahwu agar lebih bersifat edukatif, dalam hal itu, ia banyak membuang pembahasan-pembahasan yang menurutnya tidak perlu. Di tengah kesibukannya sebagai penulis, Syauqi Dhaif juga pernah menjabat ketua Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah Kairo.
Tajdiid an-Nahw merupakan buku yang berisi pemikiran Syauqi Dhaif tentang pembaharuan ilmu nahwu yang ia dambakan. Jauh sebelum menulis Tajdiid an-Nahw, prinsip pembaharuan yang ia tuangkan dalam bukunya, sebetulnya sudah ia ajukan puluhan tahun seblumnya. Pada saat me-tahqiiq magnum opus Ibn Madha, ia membuat tiga konsep mengenai pembaharuan ilmu nahwu agar lebih edukatif yang kemudian pada muktamar Majma’ al-Lughah tahun 1977, ia ajukan tiga konsep tersebut dan menyisipkan satu konsep tambahan pada muktamiriin, dan disetujui pada tahun 1979.
Pada tahun 1982, Syauqi Dhaif menuangkan konsep pembaharuannya pada buku Tajdiid an-Nahw. Dalam bukunya, Syauqi Dhaif menuangkan enam konsep pembaharuan ilmu nahwu, yang mana empat prinsip pokok pembaharuannya sudah ia ajukan pada muktamar Majma’ al-Lughah tahun 1977, dan menambahkan dua konsep baru pada bukunya.
Konsep Pembaharuan Ilmu Nahwu dalam Tajdiid An-Nahw
Pertama, rekonstruksi bab nahwu. Pada bab ini, Syauqi Dhaif menyusun ulang bab nahwu yang menurutnya lebih praktis, juga banyak membuang pembahasan yang menurutnya tidak diperlukan. Ada 18 pembahasan yang Syauqi buang dalam kitabnya. Syauqi membuang lima bab yang biasanya ulama nahwu selalu membahasnya setelah bab mubtada’, yaitu; bab kaana wa akhwaatuha, bab maa wa laa wa laata yang beramal seperti laysa, bab kaada wa akhwaatuhaa, bab dzanna wa akhwaatuhaa, dan bab a’lama wa akhwaatuhaa. Pembuangan tersebut berlandaskan argumen-argumen yang ia peroleh dari pemikiran ulama Kufah. Seperti pada bab kaana wa akhwaatuha, sudah sangat maklum kita membacanya dengan kaidah “Tarfa’ al-ism wa tanshib al-khabar” membaca rafa’ kalimat (kata) yang terletak setelah kaana sebagai ism dan membaca nashab kalimat setelah ism kaana sebagai khabar, kaidah ini merupakan kaidah yang digunakan ulama Bashrah. Berbeda dengan Syauqi ia condong pada pemikiran ulama Kufah dengan tetap menjadikan kalimat setelah kaana sebagai faa’il dan kalimat manshuub setelahnya sebagai haal, dengan menjadikan kaana sebagai kata kerja intransitif (laazim). Syauqi merasa cukup memasukkan bab kaana pada bab haal.
Penyusunan ulang yang dilakukan Syauqi bertujuan untuk menjadikan ilmu nahwu sebagai ilmu yang mudah dan tidak memakan waktu banyak untuk mempelajarinya. Syauqi memandang bahwa apa yang dilakukan ulama nahwu terdahulu yang menyusun ilmu nahwa atas bab-bab yang banyak merupakan sesuatu yang tidak diperlukan, seperti pada bab ta’ajjub, menurutnya pembahasan tersebut cukup disatukan dengan pembahasan tamyiz saja, tidak perlu membuat bab tersendiri.
Kedua, menghapus dua pembahasan i’rab; i’rab taqdiiriy dan i’rab mahalliy. Konsep kedua ini sudah sejak lama Ibn Madha utarakan pada kitabnya Ar-Radd ‘alaa an-Nuhaah, yang kemudian Syauqi Dhaif terapkan pada kitabnya Tajdiid an-Nahw. Contohnya seperti kalimat جاء الفتى, ulama nahwu mengi’rabnya dengan
الفتى فاعل مرفوع بضمة مقدرة منع من ظهورها الثقل,
i’rab kalimat al-fataa seperti itu menurut Syauqi terlalu panjang dan sulit, i’rab kalimat al-fataa cukup dengan الفتى فاعل agar lebih mudah dan supel.
Pada i’rab mahalliy, Syauqi mencontohkan dengan kalimat هذا زيد, ulama nahwu mengi’rab kalimat haadza dengan
هذا مبتدأ مبني على السكون في محل رفع,
sedangkan menurut Syauqi cukup mengi’rabnya dengan هذا مبتدأ tidak perlu menjelaskan mahall-nya (kondisi).
Ketiga, i’rab untuk kebenaran pengucapan (shihhah an-nutq). Syauqi Dhaif berpendapat bahwa i’rab ialah wasilah agar tercapainya pengucapan yang sahih, ia mengabaikan pembahasan yang menurutnya terdapat kerumitan (ta’qid) pada i’rab yang tidak mengantarkan kepada pengucapan yang benar, seperti i’rab kalimat setelah laasiyyamaa, ann al-mukhaffafah, dan lain-lain. Sebagai contoh; kalimat setelah laasiyyamaa (لاسيما) menurut ulama nahwu pada umumnya memperbolehkan dibaca dengan tiga bacaan; jarr, rafa’, dan nashab. Syauqi berpendapat bahwa membahas i’rab kalimat setelah laasiyyamaa tidaklah dibutuhkan. Pasalnya, seperti apapun seseorang membaca kalimat tersebut, pasti benar, lalu untuk apa dibahas?.
Keempat, meletakkan kaidah dan definisi yang terperinci. Tahun 1977, Syauqi mengajukan metode baru pembelajaran ilmu nahwu yang lebih mudah dipahami kepada Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyyah Kairo. Ia memandang banyak definisi dalam ilmu nahwu yang dijabarkan ulama nahwu pendahulunya kurang terperinci, yang mengakibatkan tidak tercapainya pemahaman yang sempurna. Keresahan tersebut mengantarkan Syauqi kepada redefinisi pembahasan-pembahasan dalam ilmu nahwu. Seperti deinisi al-maf’uul al-muthlaq, Ibn Hisyam (761 H) dalam Awdhaah al-Masaalik mendefinisikannya dengan:
اسم يؤكد عامله أو يبين نوعه أو عدده وليس خبرا ولا حالا,
ism yang menguatkan ‘aamil-nya atau menjelaskan bentuknya atau jumlahnya, dan bukan sebuah khabar dan haal. Pada definisi tersebut, Ibn Hisyam dengan jelas menambahkan kalimat “…bukan sebuah khabar dan haal” ini menunjukkan bahwa pada masanya terjadi perdebatan di kalangan ulama nahwu tentang definisi al-maf’uul al-muthlaq yang disamakan dengan khabar dan haal, hal ini menurut Syauqi tidak diperlukan dalam sebuah definisi. Syauqi juga mengkritisi definisi Ibn Hisyam dari sisi tidak mencakupnya definisi tersebut terhadap pembahasan turunannya. Maka dari itu, Syauqi membuat definisi baru yang menurutnya lebih terperinci dan mencakup pembahasan, yaitu;
اسم منصوب يؤكد عامله أو يصفه أو يبينه ضربا من التبيين
“ism yang dibaca nashab yang menguatkan ‘aamil-nya atau menyifatinya atau memperjelasnya dengan bentuk dari berbagai penjelasan”. Menurut Syauqi, definisi ini lebih jelas dan terperinci dari definisi yang diutarakan Ibn Hisyam.
Kelima, membuang pembahasan tambahan dalam ilmu nahwu yang tidak penting. Syauqi memandang bahwa banyaknya pemembahasan yang tidak perlu dalam buku nahwu memberikan momok bagi para pelajar, terlebih pemula. Hal ini yang mendorong Syauqi membuang banyak pembahasan dalam kitabnya Tajdiid an-Nahw. Seperti pembahasan na’t al-mudhof ilaa al-masdar (sifat sebuah mudhaf ilaih yang bersandar kepada sebuah mashdar) yang bermakna maf’uul bih. Agar tidak bingung, langsung kepada contoh:
إنصاف المظلوم البائس واجب,
ulama nahwu memberikan kaidah bahwa kalimat al-baaisa bisa dibaca nashab dan jarr, dengan alasan, apabila dibaca jarr, berarti ia mengikuti i’rab kalimat sebelumnya, dan apabila dibaca jarr, berarti ia beramal seolah-olah maf’uul bih. Pembahasan seperti ini menurut Syauqi tidak diperlukan dalam kitab nahwu. Selain membuang pembahasan-pembahasan yang rumit dan tidak perlu, Syauqi juga banyak membuang syarat-syarat dalam sebuah kalimat, seperti syarat kalimat hattaa (حتى) dan idzaan (إذان), menurutnya pembahasan sebuah syarat hanya akan menjadikan sebuah buku penuh dengan contoh yang bermacam-macam.
Terakhir, penambahan pembahasan yang dianggap penting. Pada konsep keenam ini, Syauqi menambahkan pembahasan yang menurutnya harus ada dalam sebuah kitab nahwu. Pada bab pertama kitabnya, Syauqi menyantumkan pembahasan tentang ilmu tajwid, seperti makhaarij al-khuruuf, sifat sebuah huruf, dan lainnya yang bertujuan untuk mencapai fungsi i’rab sebagai wasilah untuk kefashihan dalam pengucapan. Hal ini tentu berlandaskan sebuah alasan bahwa pelajar nahwu pada masanya tidak lagi sama seperti pelajar pada zaman ulama terdahulu yang sudah paham dan mengamalkan ilmu tajwid dengan benar. Syauqi juga menambahkan pembahasan yang melarang membuat bentuk-bentuk (shigah) kalimat yang berlawanan dengan Al Quran. Penambahan ini Syauqi lakukan agar nahwu tidak kehilangan tujuan mulanya; pengawal bahasa dari miss gramatical.
Penutup
Sebagai penutup, penulis tidak ingin memberikan banyak interpretasi tentang pembaharuan yang dikemukakan Syauqi Dhaif. Upaya pembaharuan ini ia lakukan tidak lain untuk membantu agar bahasa Arab dan ilmu gramatikalnya tetap hidup dan relevan di kalangan awam. Pembaharuan Syauqi Dhaif berlandaskan maslahat-maslahat yang penting, seperti menghindari kejumudan, mengambil pendapat yang paling mudah, dan keluar dari khilaf yang tidak berfaidah. Dalam kitabnya, Syauqi banyak terbantu oleh pandangan ulama Kufah, pendapat ini ia pilih karena lebih mudah dari pendapat ulama Bashrah yang tersebar di kalangannya.
Muhammad Fajrul Hikam
Kenitra, 21 Rajab 1444
Jangan lupa mampir ke koleksi buku- buku dan kitab-kitab di Perpustakaan PPI Maroko dan download langsung PDF nya : https://ppimaroko.or.id/perpustakaan/
Saksikan video-video keseruan even PPI Maroko : https://www.youtube.com/@PPIMarokoOfficial
Barokallahu li walakum.
Lahumul faatihah