Oleh : Muhammad Aulia Kemal Fasas
Untukmu kekasih
Bagaimana dirimu sekarang Laila, aku harap keadaanmu membaik, termasuk juga dengan seluruh keluargamu, aku harap mereka sehat, titip salam ku kepada mereka semua ya. Oiya, apakah dirimu masih bekerja di toko roti yang selalu kau impikan itu ?, Kau memang keras kepala ya Laila, sejak kecil kau selalu berkata ingin sekali membuka toko roti, hahaha, kau ingat tidak bagaimana dulu aku pernah berkata bahwa impian mu hanyalah sebuah omong kosong belaka dan akhirnya kau menangis dan memusuhi ku selama hampir sebulan, hahaha, mengingatnya saja selalu membuatku ingin tertawa.
Dalam surat kali ini, izinkan diriku titipkan sepenggal rindu dan sebuah kisah tentang penjual dongeng. Sepertinya malam ini bukan hanya bintang malam saja yang menghiasi gelapnya kota Marrakech. Saat aku menulis surat ini, Laila, nyanyian gemerlap lampu pasar jama elfna turut hadir dalam merayakan masuknya musim semi di negeri Maghribi ini. Berserakan di sepanjang jalanan pasar para manusia yang sedang berlalu-lalang, anak-anak berlarian bermain riang diiringi lantunan lembut seruling yang membuai dari penjinak kobra yang sedang melakukan atraksinya, nada yang dikeluarkanya menari mengitari kuping para pendengarnya. Terlihat juga sepanjang pasar suara lantang para pedagang yang beramai-ramai memanggil para pengunjung menemani desiran angin musim semi yang dingin. Kau tau laila, di pasar ini, semua seakan-akan menyatu dan menjadi bagian dari tubuh Sang Malam yang akan selamanya abadi tertanam di dalam sanubari para pengunjungnya.
Tapi Laila, mengenai kisah penjual dongeng hanya sebagai cerita dari mulut ke mulut, bahkan penduduk asli disini pun tidak semua mengetahui akan kisahnya, dan konon, dan memang hanya konon, hanya para musafir yang sedang merawat duka dan luka dapat menemukannya. Aku sendiri sampai saat ini belum menemukan keberadaan sisi pasar dimana kisah para penjual dongeng berada, kisah ini aku dapat dari seorang darwis yang suka berkeliaran dekat dengan pasar Jama Elfna.
Dikisahkan bahwa di belakang gemerlap ramainya pasar, ada sebuah lorong gelap dan berlika-liku bak labirin yang tidak akan bisa kamu fahami arah jalanannya, tidak ada kepastian dalam lorong tersebut, dan juga sampai sekarang tidak ada yang tau seberapa jauh lorong tersebut akan membawamu, tapi yakinlah Laila, walaupun terlihat tidak mungkin, lorong itu akan akan menuntumu ke sebuah toko yang dimana hanya akan buka saat tengah malam hingga matahari kan mengintip dan menyapa kabut pagi. Toko dimana Sang penjual dongeng menetap dan menjualkan kisah-kisahnya. Disana dalam segala macam usia bisa mendatanginya dan membeli sebuah ataupun beberapa dongeng yang dibaluti semacam kain lembut ,dengan dibumbui hiasan indah nan apik yang membuat siapa saja akan penasaran dongeng apa yang akan ditemuinya.
Didalam toko Sang Penjual Dongeng, diterangi oleh lampu warna-warni dan wangi bau kayu gaharu yang menambah suasana nyaman dan tentram. Ada juga beberapa kicau burung, auman singa, lolongan serigala, bahkan desiran lamunan ombak yang terdengar mendayu keluar dari deretan dongeng yang tertata rapih didalam toko tersebut. Bukankah kamu dulu juga menyukai dongeng juga, laila, ingatkah kau akan hal itu, Laila ?.
Sebenarnya, pada zaman dahulu, dimana negeri ini masih sebuah kerajaan yang dipimpin oleh raja yang adil nan baik perketinya, lokasi toko penjual dongeng berada di tengah gemerlap pasar ini, pada malamnya Sang Penjual Dongeng tidak akan kehabisan pesanan yang selalu membanjiri toko itu, mulai dari anak kecil hingga orang dewasa pun juga senang akan dongeng yang disuguhkan. Pada saat zaman itu jika kita lihat di jalanan umum, dongeng-dongeng tersebut akan selalu menemani anak-anak yang sedang riang berjalan.
Selama berjalannya waktu mengiri semua bersamanya, peminat untuk membeli dongeng menurun drastis, dan Sang penjual Dongeng kalah saing dengan datangnya seorang pedagang yang menawarkan sebuah kotak yang canggih dan ajaib, konon kotak itu berisikan rapal-rapal magis yang membuat para penggunanya lebih terpesona dibandingkan dongeng-dongeng tersebut. Konon, Sang Penjual Dongeng pun memutuskan untuk berhenti, tetapi ada juga yang berkata bahwa dia memindahkan tokonya kedalam lorong labirin yang sebelumnya telah kuceritakan. Tidak ada yang tahu kebenarannya, tidak ada yang tahu keberadaanya.
Aku harap cerita ini sedikit menghibur mu, laila. Maaf, disaat dirimu sakit, aku tidak bisa mengujungimu, hanya ini saja yang aku bisa berikan padamu, sebuah surat yang ditulis oleh pemabuk hina macam diriku ini, diatas kertas rapuh dan kisah yang tertanam didalamnya rindu dan harapan.