Mengenal Diri Lewat Pop Psychology, tapi Jangan Kebablasan

Pernah nggak cuma gara-gara nonton satu video di TikTok atau baca postingan di Instagram, kita langsung mikir, “Eh, ini tuh aku banget.” Besoknya ketemu “konten Introvert sejati tuh begini” dan kamu langsung klaim, “Wah, fix gue introvert.” atau “Wah, dia kayaknya NPD tingkat dewa deh.”

Tanpa kita sadari, sekarang sudah banyak yang peduli tentang pop psychology, entah itu dari banyak mencari tahu tentang mentalhealth, MBTI, atau apapun yang berkaitan dengan bagaimana cara yang tepat untuk bersosialisasi. Kita bisa mencarinya dari banyak sumber juga, bisa dari TikTok, Instagram, website, dan lain-lain.
Sebenarnya apa sih pop psychology?

Singkatnya, ini tuh psikologi versi populer yang sering kita lihat di media sosial. Isinya biasanya hal-hal yang gampang relate sama kehidupan sehari-hari—seperti MBTI, lovelanguage, attachmentstyle, juga beberapa hubungan istilah psikologi yang telah kita ketahui.

Pop psychology itu asik, karena bahasanya sederhana, dan membuat kita sadar akan diri sendiri. Tapi ada catatan penting nih: kadang saking sederhananya, orang jadi gampang salah paham, bahkan bisa salah menilai diri sendiri. Misalnya, stres bisa disangka depresi, atau sifat cuek dikira punya gangguan tertentu.

Makanya, pop psychology  sangat boleh dipelajari untuk menambah wawasan, asal jangan dijadikan kebenaran mutlak. Anggap saja sebagai pintu awal untuk mengenal diri, bukan hasil akhir untuk memberikan label ke diri sendiri, apalagi kepada orang lain. Tapi tanpa kita sadari juga, terkadang kita suka overclaim dengan mental yang kita rasakan, atau kita bahkan bisa asal menghakimi orang dengan pengetahuan tentang pop psychology  kita yang sangat minim.

Mengapa bisa demikian? Karena kita kurang mengkaji kembali apa yang kita dapat dari informasi yang kita temui. Kalau ini sampai jadi kesalahpahaman, kerugiannya bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga bisa berdampak pada interaksi sosial dengan orang lain.

Bagaimana maksudnya? Contoh ya, misalnya kita menemukan konten yang sangat relate dengan kejadian yang kita alami, atau dengan kejadian yang kita rasakan. Dari situ, kita jadi lebih gampang untuk memaklumi apa yang kita rasakan, bahkan bisa menjadi egois dan kurang peka pada orang sekitar. Padahal, ini jelas tidak bagus.

Berarti kita tidak boleh memercayai konten tentang itu semua? Tentu boleh, Ini justru jadi pertanda kalau kita mulai peduli dengan diri sendiri dan menambah pengetahuan tentang mentality. Tapi, informasi itu tidak bisa langsung kita klaim begitu saja ya… Ada beberapa tahapan yang perlu kita lakukan supaya konten yang kita temukan bisa jadi sumber rujukan yang tepat.

Lalu muncul pertanyaan, bagaimana caranya kita bisa tahu apakah perasaan yang kita alami itu hanya sekedar stres biasa, atau udah masuk ke arah gangguan mental? Sebenarnya ada beberapa langkah sederhana yang bisa kita jadikan panduan.

Pertama, coba sadari dulu apa yang kamu rasakan. Tulis di jurnal atau catatan telepon genggam, kapan perasaan itu muncul, seberapa sering, dan apa yang biasanya memicunya.

Kedua, perhatikan durasi dan frekuensinya. Kalau hanya sesekali muncul saat ada masalah. Namun kalau sudah berulang dalam waktu lama, berarti hal itu perlu diperhatikan lebih serius.

Ketiga, lihat dampaknya ke aktivitas sehari-hari. Misalnya, apakah rasa cemas atau sedih itu sampai bikin kamu susah tidur, susah sekolah atau kerja, atau tidak nyaman berinteraksi dengan orang lain? Kalau iya, ini sudah jadi tanda serius.

Nah, di sini penting juga untuk membedakan: kalau stres biasanya ada penyebab jelas—misalnya lagi banyak tugas atau masalah keluarga—dan bisa reda kalau masalah selesai. Namun kalau gangguan mental, rasa ketidaknyamanannya bisa muncul terus, bahkan tanpa alasan jelas, dan susah sekali dikendalikan.

Dan terakhir, kalau kamu sudah coba memahami diri dengan berbagai cara, namun masih bingung, jangan ragu buat konsultasi ke ahlinya. Bisa mulai dari konselor, psikolog, atau layanan konseling online. Karena pada akhirnya, hanya profesional yang bisa memastikan kondisi mental kita dengan tepat.

Oleh: Siti Fatimah Azzahra, Jam’iyah Qadhi Iyyad li Tahfizil Quranil Karim wa Ulumihi, Fes.

Ikuti kegiatan kami lewat instagram @ppimaroko

Baca artikel terbaru kami,


Tag Post :
Mingguan Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *