Maroko dan Tehnya

MAROKO DAN TEHNYA

Berbicara tentang teh, apa yang pertama kali muncul di kepala kita. Kafe? Nongkrong? Orang jadul, mbah-mbah? Atau mungkin Diabet? Atau mungkin juga pertanyaan tuan rumah kepada tamunya “Ngopi atau ngeteh mas?”.

Ya, apapun itu setiap orang pasti punya tafsiran dan bayangan yang berbeda ketika membayangkan teh. Tergantung kenangan dan masa lalu dia bersama teh. Kali ini kita tak membahas soal itu, tapi kita akan mengulik sedikit tentang bagaimana sudut pandang orang Maroko tentang teh.

Saya akan menyinggung salah satu episode saya yang membuat pandangan saya dengan teh berubah. Cerita ketika saya pertama kali sampai di salah satu pondok klasik di Ujung Selatan Maroko. Kali pertama saya nekat mencari lingkungan baru di Negeri Matahari terbenam seorang diri, safar ke tempat yang jarak dari rumah tempat saya menyewa sekitar 20 jam jalur Darat.

Saya sampai di Madrasah hari Rabu, satu hari sebelum Ramadan. Dan di hari pertama puasa saya sahur bersama Faqih Abdullah: Mudir Madrasah Ikdi, dikarenakan setiap tamu yang datang ke Madrasah akan ditempatkan di kamar tamu juga yang benar-benar saya tak sangka adalah tamu langsung berkesempatan makan langsung bersama Faqih dalam satu majelis. Hal ini, belum pernah saya dapati sebelumnya.

Sahur hari pertama. Pagi itu kami sahur bersama Faqih dan 2 santri senior yang bertugas mengantarkan hidangan dari dapur ke majelis Faqih, sahurnya sederhana: Khubz beserta coelannya, ada amlou, madu dan minyak zaitun. Tak tertinggal: teh. Di tengah sahur Faqih menyampaikan “Kami ketika menyambut tamu, harus ada tehnya” tutur beliau. Kemudian beliau menyebutkan syair:

الضيف دون (الأتاي) اليوم مكرمه*لم يُجد شيئا وإن جلت موائــده

ومن سقي ضيفه (الأتاي)أكرمه*ولايلام وإن قلت فوائــده

Spontan saya merespon “Subhanallah, sampai ada syairnya ya Faqih” timpalku sambil nyengir. “Segala sesuatu yang melekat dengan kami selalu ada syairnya” terang beliau, beliau melanjutkan “Kami kalau mengajak orang makan, atau mengajak datang ke rumah kami gak bilang ayo makan, tapi ayo ngeteh, karena teh adalah simbol memuliakan, maka segala jenis penghormatan dan pemuliaan terhadap tamu itu akan mengikuti kalau sudah ada teh, kalau belum berarti belum”.

Kami manggut-manggut, beliau melanjutkan sembari mencolek amlou dengan khubz, “Meskipun begitu, saya tidak terlalu menyukai teh, teh ini saya kasih ke Ali,” tangan beliau memindahkan gelas teh beliau ke depan santrinya yang bernama Ali, yang duduk di samping kanan beliau. Lalu dia mengambil gelas teh dengan malu-malu.

Sejak saat itu, saya jadi paham kenapa orang Maroko jika ada acara2 besar hidangan yang pasti ada itu teh, baik di Zawiyah, walimah-walimah tetangga, undangan makan di kosan teman Maroko, teh pasti ada. Dan setelah saya perhatikan, ternyata santri Madrasah sering sekali mengkonsumsi teh, satu hari bisa 3-6 kali. Dan setelah itu saya mulai beradaptasi untuk menghidangkan teh setiap ada kawan yang datang ke kamar saya.

Satu kali saya pernah nyeletuk, “Mereka banyak konsumsi gula begitu apa gak khawatir diabet yak?” lalu ditanggapi sama teman Indo yang lain “Mereka banyak konsumsi gula, banyak juga geraknya Mar, seimbang jadi, lah kita?” jelasnya. Iya juga yaa, batinku. Belum tuntas juga sih masih nyangkut saja di otak tetap mereka sama gula over-over banget, tetep diluar nalar menurut saya Wallahu A’lam, mungkin pembaca ada yang tahu jawabannya. Boleh kasih tahu dengan tulisan jawaban di Mingguan Menulis ini :).

Sekian, terima kasih.

Ditulis di Fes, 15 Juni 2023.

Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop : https://ppimaroko.or.id/ppi-shop/#pu-pay

Saksikan video-video keseruan even di youtube PPI Maroko: https://www.youtube.com/@PPIMarokoOfficial

Tag Post :

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *