Kontruksi Maqashid as-Syari’ah Perspektif Ulama Klasik


Semua hukum, baik yang berbentuk perintah maupun yang berbentuk larangan, yang terekam dalam teks-teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa tidak bermakna. Akan tetapi semua itu mempunyai maksud dan tujuan, dimana Tuhan menyampaikan perintah dan larangan tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama hal tersebut mereka istilahkan dengan Maqashid as-Syari’ah (Objektivitas Syariah.(

Ketika kita berbicara tentang Maqashid, secara otomatis pikiran kita akan tertuju kepada seorang as-Syatibi. Bahkan kurang pas kalau kita melupakan peran beliau sebagai pengembang dasar-dasar teori tersebut. Namun sebenarnya beliau bukanlah orang pertama yang berbicara tentang Maqashid, juga dia bukanlah satu-satunya penarik gerbong Maqashid sekaligus peletak embrionya. Inspirasi inilah yang kemudian mengilhami saya  merasa perlu untuk mengkaji dan menelaah teori-teori Maqashid yang dikonstruksi  oleh beberapa ulama klasik.

Menurut  dosen saya di Marrakech Dr. Ismail Alhasani dalam karyanya Maqashid as-Syari’ah al-Islamiyyah; Mafhumuha , Maudu’uha, dan A’lamuha dijelaskan bahwa kontruksi maqashid as-Syari’ah perspektif para ulama ada beberapa spektrum. Seperti ditinjau dari al-I’lam al-Awail, A’lam al-Ushuliyyin, A’lamu al-Qarnaini 7 wa 8 al-Hijri dan A’lam al-Muhaddisin. akan tetapi saya akan menyibak kontruksi ulama-ulama klasik saja.  

Kontruksi  Maqashid as-Syari’ah  ditinjau dari al-I’lam al-Awail dicetuskan sebagian ulama seperti at-Tirmidzi al-Hakim, dan Abu Khasan al-Amiry:

Al-Tirmidzi

Menurut ar-Raisuni; Orang yang paling awal menggunakan kata maqashid dalam judul karangannya adalah al-Hakim al-Tirmidzi (w. 320 H), yakni dalam bukunya al Shalatu wa Maqashiduha. dalam kitab itu al-Hakim menjelaskan hikmah-hikmah dari tata cara shalat, mulai dari hikmah menghadap kiblat, hikmah takbir dan seterusnya.

Begitu juga  Dr. Ismail mengklasifikasikan menjadi dua bentuk. Pertama: al-Muntoliq Ata’lili li at-Tirmidzi: Bahwa bentuk illat hukum islam adalah membuka keselarasan atau kesinambungan antara iman kepada Allah dan hukum-hukum prakteknya atau perbuatan-perbuatan dalam kehidupan manusia. Maqasyid Persepektif  at-Tirmidzi sebagai penguat untuk kesinambuangan antara ma’rifi dan suluki serta ‘amali. Kedua: al-Akhlaq wa maqashid as-Syari’ah inda  at-Tirmidzi: menyibak kembali bahwa akhlak ada derajat kesinambuangan untuk mengetahui Allah, dengan melafalkan kalimat La Ilaha Illa Allah Muhammad Rasulullah dan direalisasikan dengan perbuatan (al-Amaliyyah as-Sulukiyyah).

Abu Khasan al-Amiry

Abu Hasan al-Amiri (W.381), beliau adalah filsuf yang juga intens dalam mengkaji maqashid. Karyanya yang mengupas maqashid syari’ah terekam dalam kitab al-I’lam bi Manaqib al-Islam’, salah satu isu terpenting dalam kitab itu adalah tentang Dharuriyat al- Khamsyang kemudian menjadi prinsip maqashid syariah itu sendiri. Maqashid versi Abu Khasan al-Amiry dipetakkan menjadi tiga nilai. Pertama:  pandangan kulliyah untuk agama islam: Abu Khasan fokus terhadap maqashid atau tujuan as-Syari’ dari syariah hukum-hukum qisas, diyat, jilid, dan rajam semua itu untuk menjaga badan harta dan kehormatan. Kedua: fokus terhadap keseimbangan pada  perbedaan agama islam dan non islam. Ketiga: maqashid ihtimaliyyah keagungan khitab qurani.

Kontruksi  Maqashid as-Syari‘ah ditinjau dari segi I’lam al-Ushuliyinseperti halnya Imam al-Juwayni, ar-Razy, dan al-Ghazali.

Imam al-Juwayni

Gagasan yang dicetuskan al-Amiri mengilhami Imam al-Juwayni (w.478 H) guru dari al-Ghazali (w.505H) . Pada abad ini teori maqashid mengalami perkembangan signifikan: dari yang juz’iyyah (parsial) menjadi kulliyyah (universal). Imam  Haramain memetakan maqashid syariah menjadi dua jenis dari segi ahkam ( secara istiqro’)  dan alfadnya (melalui qorinah) .

Pertama:  maqashid ditinjau dari ahkamnya. Imam Al Haramain membagi ushul syariah menjadi lima bagian.

  • Ushul yang secara akal merupakan hal yang dharury demi keberlangsungan hidup, seperti hifdzu ad dima’. Dilarangnya melakukan pembunuhan. Hal ini merupakan illat diwajibkan untuk qisos.
  • Ushul yang berkaitan dengan kepentingan umum tapi tidak sampai ke martabat dharury. Seperti ini bentuk dari illah bagi beberapa bentuk transaksi dalam syariah.
  • Ushul yang merupakan anjuran terhadap adab-adab yang seharusnya tahsinat.
  • Ushul yang berhubungan dengan perkara-perkara yang mandub atau sunah.
  • Ushul yang tidak bisa difahami maknanya.

Pembagian yang dilakukan oleh imam
Haramain dapat dikatakan pembagian yang sama sebagaimana dilkukan oleh Asy-Syatibi ketika menyebut bagian maqasyid menjadi  dharuriyah hajiyah dan tahsyiniyah. Maka kelima ushul syariah ini menurut Haramain  merupakan maqasyid yang tidak termaktub secara nash.

Kedua:  maqosyid ditinjau dari alfadnya, Imam Haramain menjelaskan lebih lanjut bahwa untuk memahami maksud dari disyariahkannya sebuah hukum membutuhkan adanya qarinah yang mengeluarkan bangunan pemahaman tersebut, dan qarinah ini ada dua jenis. Alqarain al haliyah (kondisi datangnya nash) dan alqarain al maqaliyah ( dipahami dari lafadz nash)

Imam Al Ghazali

Sementara apa yang dilakukan oleh imam Al Ghazali dalam kitabnya Al Mustasfa , Al Mankhul, dan Syifa Al Ghaliljuga tidak jauh berbeda dengan apa yang dituliskan oleh Asy Syatibi dalam kitabnya Al Muwafaqat dengan menyebutkan bahwa tujuan dari syariah  adalah untuk memelihara agama , jiwa, akal, keturunan dan harta manuasia serta menyebutkan pembagian maslahah menjadi dharuriyah , hajiyah dan tahsiniyah. Imam Al Ghazali juga menjelaskan bahwa bagi setiap jenis dari maslahah ini disertai dengan mukammilat pelengkap untuk lebih menyempurnakan maslaha yang ada.

Fahruddin Ar- Razy ( 606 H ) dan Saifudin Al Amidy (631 H )

Kedua ualama’ ini merupakan ulama yang merangkum keempat ummatul kutub dalam thariqah syarfi’iyah ( Al Ahdu, Almu’tamad , Al Burhan dan Al Mustasyfa) yang mana keempat kitab ini diringkas oleh Ar Razi dalam kitabnya Almahsul, dan oleh  Al Amidi dalam kitabnya Al ihkam fi ushulu al ahkam . Poin penting yang berpengaruh dalam kitab al ihkam perihal maqasyid  bahwa imam Al Amidi menjadikan maqasyid sebagai wasilah dalam mentarjih jika terjadi beberapa kemungkinan dalam proses kiyas , dan Al Amidi juga merupakan ulama pertama yang membagi maqasyid dharuriyat menjadi lima yaitu ( hifdz ad din , an nafs, al aql, al mal dan an nasl)

Kontruksi  Maqosyid asyariah ditinjau pada abad tuju  dan delapan

Azzu bin Abdu  As-salam

Beliau memandang  maqasyid asyariah sebagai kemaslahatan ummat dan mencegah kemadharatan. Maslahah yang dipahami oleh ‘Izz al-Din lebih bersifat substansial bukan dalam penggunaan teknis sebagai  instrumen mengistinbat hukum. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh faham sufistik. Baginya, sebuah maslahah harus sejalan dengan maqasid al-shari‘ah dan tidak boleh tumpang tindih satu sama lain. Oleh karenanya harus diketahui tingkatan masing-masing dari segi level, hukum taklifi, kesempurnaannya, konsekwensi pahala dan dosa, waktu perolehan maslahah. Untuk menentukan maslahah bisa ditempuh dengan cara ; nass al-shar‘i (Qur’an dan Hadis), ijma’, qiyas, istidlal, ‘aql, zann, istiqra’ dan tajarrub.

Jika terjadi kontradiksi antar maslahah yang ada maka diselesaikan dengan cara berikut, Menggabungkan maslahah yang ada (al-jam’u), Mengunggulkan satu dari yang lainnya (al-tarjih). Memilih salah satunya (al-takhyir).

Najmuddin At-taufi

Khusus yang disebut terakhir , belakangan ini pemikirannya menjadi primadona bagi kalangan Muslim liberal, al-Thufi (w.716 H) adalah pakar ushul fiqh yang menurut prof.Dr.Wahbah Zuhayli, sempat bermadzhab syafi’i itu menjadi idola para punggawa muslim liberal seperti Abdul moqshit Ghazali dkk, bahkan kaidah-kaidah ushul fiqh baru yang diwacanakan oleh ‘para pengobral maslahat’ (moqshit dkk,) adalah hasil ‘copy- paste’ dari kaidah-kaidah kontroversial al-Thufi.

Tanqih al-Nushus bi al-Maslahat ( Nash al-Qur’an bisa diamandemen bila bertentangan dengan maslahat) adalah salah satu kaidah ushul yang dicetuskan oleh al-Thufi, kaidah ini hendak menyatakan bahwa nash (al-Qur’an dan al-Hadis) bisa dianulir bila bertentangan dengan maslahat. Kaidah ini oleh al-Thufi hanya diberlakukan dalam konteks muamalat saja, karena menurut al-Thufi, dalam ranah muamalat manusia memiliki otoritas dalam mengamandemen nash dengan maslahat, sebab menurutnya, Allah memberikan kebebasan kepada manusia dalam ranah muamalat, sedangkan dalam ranah ibadah mutlak milik Allah swt.

Ibnu Taymiyyah

Dalam konsep Maqashidnya, Imam Syatibi membagi mashlahat menjadi tiga bagian: dharuriyat , hajiyat dan tahsiniyat. ad-Dharuriyyat yaitu hal-hal yang mesti ada dalam mencapai maslahat dunia dan agama, yang terkenal dengan ad-dharuriyyat al-khamsa -hifdsu ad-din, hifdsu an-nafs, hifdz al-aql, hifds al-nasl dan hifds al-mal. Dalam hal ini Ibnu Taimiyah berbeda dengan Syatibi’ dia menambahkan bahwa konsep ad-daruyyat bukan hanya terfokus pada lima pembahasan saja -al-kulliyah al-khams- yang merupakan trend kajian Ushuliyah klasik. Meski dianggap penting oleh Ibnu Taimiyyah, namun secara substansial konsep tersebut sudah tidak lagi memadai untuk mengawal perkembangan dinamika ijtihad kontemporer. Untuk itu Imam Ibnu Taimiyyah menambahkan nilai-nilai universal lainnya seperti: fitra, kebebasan, toleransi, egalitarisme, dan hak asasi manusia.

Untuk memperkuat konsep yang dimiliki oleh Imam Ibnu Taimiyah selanjutnya kita kembali bisa melihat bahwa mayoritas ulama usul membagi mashlahat ke dalam dua sisi, maslahat duniawi dan maslahat ukhrawi, dimana mashlahat duniawi hanyalah terfokus pada ad-daruriyyat yang lima tadi. Dari sinilah, Imam Ibnu Taimiyah kemudian mengkritisi ulama-ulama ushul tentang
pengkrucutan terasebut. Dan mengatakan “mayoritas ulama Ushul tidak memperhatikan secara seksama tentang al-ma’rifa yang disukai oleh Allah dan Rasulnya. Atau dengan kata lain bahwa mayoritas ulama tidak memperhatikan maslahat sebuah hukum kecuali hanya pada amsalih al-mal wa al-badan. Adapun mashlahat implisit dalam qalbu dan nafsu seperti apa-apa yang bermanfaat bagi manusia berkat buah keimanan yang tinggi, serta kerugian-kerugian yang disebabkan oleh kekhilafan dan nafsu ammarah.

Imam Abu Ishaq As-Syatiby

Dalam kitabnya, al Muwafaqat, imam Syatibi membagi maqashid menjadi dua klasifikasi. Yang pertama maqashid yang kembali pada tujuan pembuat syariah ( maqasyid Asya ri’), yang kedua maqashid yang kembali pada tujuan hamba (qasdu al mukallaf ).

Kemudian maqashid yang kembali pada tujuan Allah SWT dibagi lagi menjadi empat bagian;

Pertama: Maksud Allah SWT dalam Memberlakukan Syariah (qasdu al syari’ fi wad’i al syariah ibtidaan ) diklasifikasikan  menjadi 13 masalah. Dalam pembahasan ini imam Syatibi menjelaskan bahwa tujuan Allah SWT memberlakukan syariah adalah untuk kemaslahatan hambanya baik di dunia maupun di akhirat. Kemudian ia membagi maslahat menjadi tiga bagian;

Dlaruriyah adalah sesuatu yang harus ada untuk mewujudkan kemaslahatan dunia maupun akhirat. Jika tidak ada, maka bisa menyebabkan kehancuran dalam kehidupan dunia maupun akhirat. Dlaruriyah ini, mencakup pada pemeliharaan terhadap lima hal; hifzhud din (agama), hifzhun nafs (jiwa), hifzhun nasl (keturunan), hifzhul maal (harta), dan hifzhul ‘aqal (akal. (

Untuk menjaga hal-hal tersebut, imam Syatibi menawarkan dua cara pendekatan. Pertama dari sisi al wujud (yang mengokohkan eksistensinya atau positif) dan al ‘adam (menjaga hal-hal yang bisa merusak maupun menggagalkannya atau bersifat preventif (

Kemudian Hajiyah adalah sesuatu yang diperlukan keberadaannya untuk kemudahan dalam hidup. Jika tidak ada maka akan membawa kesulitan dalam hidup, namun tidak sampai pada tahap kehancuran seperti yang pertama tadi. Misalnya boleh menqashar shalat dalam perjalanan.

Sementara Tahsiniyah adalah sesuatu yang sepatutnya ada karena tuntutan kesopanan dan adat istiadat. Jika tidak maka akan mencederai kesopanan dan dinilai tidak pantas. Contohnya menutup aurat dalam ibadah dan menjauhi makanan dan minuman yang najis.

Kedua: Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk Bisa dipahami (qasdu al syari’ fi wad’i al syariah lil ifham). Bagian ini merupakan pembahasan yang peling singkat karena hanya mencakup 5 masalah. Dalam menetapkan syari’atnya, Syari’ bertujuan agar mukallaf dapat memahaminya, itulah maksud dari bagian kedua.

Ada dua hal penting yang disinggung oleh imam Syatibi dalam pokok pembahasan ini. Yaitu syariah diturunkan dengan menggunakan bahasa Arab, dan syariah ini bersifat ummiyyah. Oleh karena itu imam Syatibi mensyaratkan bagi orang yang ingin memahami syariah ini, maka ia harus memahaminya dari sudut pandang lisan Arab, dan bukan yang lain.

Ketiga: Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk dijalankan (qasdu al syari’ fi wad’i al syariah li al taklif bi muqtadlaha). Bagian ini menyatakan bahwa maksud Syari’ dalam menentukan syari’at adalah untuk dilaksanakan sesuai dengan yang dituntut-Nya. Masalah yang dibahas dalam bagian ini ada 12 masalah, namun semuanya mengacu kepada dua masalah pokok yaitu:

Pertama, taklif yang di luar kemampuan manusia (at-taklif bima laa yuthaq). Pembahasan ini tidak akan dibahas lebih jauh karena sebagaimana telah diketahui bersama bahwa tidaklah dianggap taklif apabila berada di luar batas kemampuan manusia.

 Kedua, taklif yang di dalamnya terdapat masyaqqah, kesulitan (al-taklif bima fiihi masyaqqah). Persoalan inilah yang kemudian dibahas panjang lebar oleh imam al-Syathibi. Menurut imam al-Syathibi, dengan adanya taklif, Syari’ tidak bermaksud menimbulkan masyaqqah bagi pelakunya (mukallaf) akan tetapi sebaliknya dibalik itu ada manfaat tersendiri bagi mukallaf. Bila dianalogkan kepada kehidupan sehari-hari, obat pahit yang diberikan seorang dokter kepada pasien, bukan berarti memberikan kesulitan baru bagi sang pasien akan tetapi di balik itu demi kesehatan si pasien itu sendiri pada masa berikutnya.

Ke empat:  Tujuan Allah SWT Menurunkan Syariat untuk Semua Hambanya ( Qashdu al-Syari’ fi Dukhul al-Mukallaf Tahta Ahkam al-Syari’ah). Yakni Maqasyid syariah dalam ketaatan menerapkan syari’ah,  Pembahasan bagian terakhir ini  merupakan pembahasan paling panjang mencakup 20 masalah. Dimana syatibi menjelaskan adanya tuntutan syariah kepada para mukallaf untuk tetep memegang dan berada di bawah paying syariah. Dalam pembahasan ini Asy Syatibi membagi maqasyid ke dalam dua jenis : maqasyidasliayah dan maqasyid tabia’h.

Sementara itu pada maqashid yang kedua, yaitu maqashid yang kembali pada tujuan hamba (qasdu al mukallaf). Dalam pembasan ini Asy Syatibi mengulas tentang sikap para mukallaf dalam kesesuaian atau ketidaksesuainnya terhadap takalif (beban) syariah. Dalam pembahasan ini, Asy Syatibi menguraikan tentang al hi
yal ( siasat muslihat) dan mekanisme: penyingkapan maqasyid asyari’. Menurutnya maqasyid asyariah dapat disingkap lewat lima mekanisme: pertama: redaksi yang tegas tentang suatu perintah dan larangan. Kedua : illat dari lahirnya perintah dan larangan. Ketiga: pemetaan Maqasyid Ashliyyah dan tabiah. Ke empat: tidak adanya keterangan dari Syariah meski adanya factor yang menghendaki adanya penjelasan. Ke lima: istiqra’.

Referensi:

  1. Maqasyid asyariah al Islamiyah mafhumuha , maudu’uha, dan I’lamuha karya doktor Ismail Husaini
  2. Al Muwafaqat karya Imam Asy Syatibi
  3. Jurnal Himmah media aktualisasi intlektual Maqasyid Asyariah Al Islamiyah
  4. Al mustasyfa karya imam Al Ghazali

Tag Post :
Karya,Keilmuan & SDI,Minggu-an Menulis,Slider

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *