Ya, saya penyuka nahwu, namun bukan berarti saya pinter nahwu. Ya begitulah, sebatas suka bukan bisa atau bahkan ahlinya, tapi jika itu doa sodara- sodara tentu saya akan mengamininya. Ibarat si doi, saya suka dia tapi nembak pun tak bisa *eh. Bagi sebagian orang, ilmu nahwu mungkin merupakan momok yang mensayatkan, kalo kata orang jawa “nahwu marai ngelu”. tak terkecuali diriku ini yang CC otaknya pas-pasan, tapi mungkin karena doktrin ayahku, seorang pecinta nahwu seniorku, dari kecil sampai sekarang, yang membuatku tertarik dengan nahwu dan mau belajar nahwu. Ayahku adalah orang yang sangat jarang sekali kagum kepada orang lain atau lebih tepatnya gak gampang kagum, namun ketika melihat orang yamg sangat alim dalam ilmu nahwu, beliau tidak bisa untuk tidak kagum kepadanya, walau sebenarnya beliau sendiri sangat pintar ilmu nahwu. Jujur saja, ini bukan bentuk pembelaan saya sebagai anak terhadap ayahnya, tapi beginilah adanya. Jika ada orang yang paling Ayah kagumi akan keilmuan nahwunya, maka jawabannya adalah gurunya, gurunya ayah bukanlah seorang profesor atau orang dengan segudang, pangkat bukan juga guru besar pondok pesantren, beliau hanyalah guru halaqoh ngaji langgar setiap habis maghrib dan subuh, muridnya pun hanya mereka anak- anak desa. Walau hanya seorang ustad kampung, Jangan bayangkan beliau hanya bisa membaca Al-Qur’an lengkap dengan tajwidnya saja, tapi beliau hafal dan faham Alfiyah Ibnu Malik di luar kepala, bahkan setiap mengajar beliau tidak pernah sekalipun membawa kitab. Sering kali saya mendengar dari ayahku tentang kehebatan guru luar biasa ini, seakan akan beliau ingin membawsa aya ke masa kecilnya dahulu, dan melihat langsung sang maha guru sehingga jelaslah bahwa beliau tidak mengada-ada. Bindereh naqib, begitulah sang maha guru di panggil, bindhereh berarti kyai dalam bahasa Madura. Karena khawatir ilmu gurunya terputus, Ayah kemudian mengutusku untuk belajar kepada adik dari kakekku, Abah Saudi panggilan akrabnya, pekerjaan sehari-harinya hanyalah mengurusi sawah dan memberi makan sapisapinya. Uniknya, Abah tidak pernah mondok, selain saat beliau mondok beberapa bulan untuk mempelajari ilmu faroid, lalu pulang karena tidak betah. Jadi, hampir seluruh ilmunya beliau dapatkan dari bindhereh Naqib, maha guru ini. Setiap kali saya lewat di depan rumah Abah, beliau selalu ditemani al quran, kalau tidak ditemani rokok, begitu terus setiap harinya. Namun pada kenyataannya, ingatan beliau luar biasa sekali, bahkan Ayah berkata pada saya: “kalo kamu ingin cerita lengkap tentang nabi Adam sampai nabi Muhammad, maka tanyakan saja pada beliau, tinggal pilih mau di mulai dari mana, dan benar ketika saya belajar Alfiyah darinya gak pernah sekalipun saya lihat beliau me mutholaah apa yang akan di sampaikan, karena kitab yang beliau pegang selalu saya bawa pulang, hanya sesekali kulihat beliau terdiam lama sesaat sebelum memulai ngaji, seperti sedang mengingat apa yang sudah beliau lupa, yang kalau gak salah ketika itu bab akhir-akhir alfiyah tentang cara membuat tastniyah isim maqshur dan isim manqush, dan cara beliau menerangkan masih sederhana sekali. Ilmu nahwu merupakan ilmu yang pertama kali di cetuskan dalam Islam, berawal dari keresahan para sahabat dan tabiin akan kesalahan orang dalam berbahasa arab, terutama orang ajam (bukan suku arab) yang banyak mencampur adukkan bahasa arab fushah dengan bahasa cetusan mereka sendiri, hal ini dinilai sangat berbahaya, mengingat ilmu nahwu adalah pintu untuk memahami Al-quran dan Hadits. Alasan dibalik penamaan ilmu ini nahwu ini yang berarti “contoh” adalah karena sahabat Abu Al-Aswad Ad-duali, pencetus ilmu nahwu ketika beliau mengajarkan bab kalam, mubtada’ khabar, sampai maf’ul bih diperintah oleh sahabat Ali untuk mencontohkan apa yang sudah di terangkan, sehingga beliau menamakan ilmu ini dengan ilmu nahwu sebagai wujud penghormatan kepada sahabat Ali R.A. Pernah suatu hari ada orang arab baduy membaca Al quran di depan sahabat Umar, dan ketika sampai di ayat ان هللا بريئ من المشركين ورسولِه Seketika itu beliau mengatakan bagaimana saya akan beriman kepada Rasul sedangkan Allah sendiri tidak mau tahu menahu tentang Rasulnya. khalifah Umar yang mendengar langsung membenarkannya dengan membaca warasulahu, beri’rab nasab karena athaf kepada isimnya inna. Tak lama setelah itu, khalifah umar meminta sahabat Abu Aswad AdDuali untuk membuat rumusan ilmu nahwu yang membahas tentang athaf. Di hari yang lain, sahabat Abu Aswad Ad Duali sedang berbincang dengan putrinya. Putrinya berkata الحر د اش ما ياابي dengan membaca dhommah dalnya, yang kalau di maknai “hari apa yang paling panas wahai ayahku?” Mendengar itu Abu Aswad Ad Duali menjawab “Bulan rajab dan Bulan safar”. Anaknya langsung menjawab “bukan begitu maksudku Ayah, justru saya memberitahumu ‘betapa panasnya hari ini’ bukan bertanya”. lalu Abu Aswad Ad Duali berkata “jika memang begitu maksudmu, maka kamu harus membaca fathah dal kalimat itu, bukan mendhammahkannya karena itu kalimat fiil taajjub”. Berankat dari kejadian ini, Abu Aswad Ad Duali pun membuat kaidah baru tentang fiil taajjub. Jadi bisa kita simpulkan bahwa ilmu nahwu itu lahir dari satu persatu kesalahan yang terjadi dalam disiplin bahasa arab dan tentunya di zaman Abu Aswad Ad Duali kaidah ilmu nahwu tidak selengkap zaman sekarang ini. Ada dua garis besar dalam ilmu nahwu yang pertama nahwu bashrah dan yang kedua nahwu kufah, bagi mereka yang mempelajari ilmu nahwu tentu tidak asing lagi dengan dua madzhab tersebut. Nahwu bashrah lahir lebih awal dari pada nahwu kufah. Karena Bahsrah sendiri adalah nama tempat dimana Imam Abu Aswad Ad Duali menetap atas perintah khalifah Umar bin Khattab guna mengajarkan ilmu nahwu, dan dari sanalah lahir madzhab bashrah. Sedangkan Kufah sendiri adalah nama tempat yang sebenarnya tidak jauh dari kota bashrah dan kedua nya sama sama bearda di ujung timur Iraq. Jika bashrah terkenal akan ilmu nahwunya karena pencetus nya tinggal di sana, maka Kufah terkenal akaAlQuran dan syiir-syiirnya karena di sanalah pencetus ilmu syiir / arudh imam Kholil Al Farahidi menetap. Namun seiring berjalannya waktu, sebelum ulama kufah mendirikan madzhab nahwu sendiri, ulama kufah merasa kalah pamor dengan ulama bashrah karena banyak yang lebih tertarik belajar ilmu nahwu yang merupakan kunci berbahasa arab yang fasih, maka Imam Kisa’i yang berasal dari Kufah mencoba membuat kaidah ilmu nahwu yang berbeda yang belum di ketahui oleh ulama’ bahsrah, namun karena nahwu berasal dari Bashrah, maka Ia belajar terlebih dahulu kepada Imam Kholil Al Farahidi dan Imam Afkhas yang merupakan jalan satu-satu nya menuju ilmu Imam Sibawaih. Jadi madzhab kufah merupakan pemekaran dari madzhab bashrah itu sendiri, sehingga banyak sekali ulama kufah yang belajar kepada ulama’ bashrah dan sedikit ulama’ bashrah yang belajar kepada ulama’ kufah di antaranya Imam Abu Zaid yang belajar kepada Imam Mufaddhal Ad Dhobi. Namun jika kita lihat, tidak sedikit pendapat ulama kufah yang tidak sama dengan ulama bashrah dari bab kalam sampai bab idghom. Ketika pertama kali saya mempelajari ilmu nahwu dan melihat banyaknya persilangan pendapat antara ulama’ bahsrah dan ulama’ kufah dengan madzhabnya yang lahir setelah madzhab bashrah, saya merasa bahwa mereka ulama’ kufah berpendapat hanya sesuai selera mereka sendiri, sehingga terlihat
seakan-akan mereka berusaha untuk berbeda pendapat dengan ulama’ bashrah, dan mengalahkan pamor ulama’ bashrah dalam peradaban ilmu nahwu. Benar kata pepatah “semakin kita belajar semakin kita bodoh”. setelah sekian lama saya berfikiran seperti itu, saya akhirnya tersadar bahwa alasan ulama kufah sering berbeda pendapat dengan ulama bashrah bukan karena kepentingan pribadi atau hanya memanjakan ego masingmasing, tapi karena dasar pembuatan kaidah nahwu mereka memang berbeda. Ulama bashrah dalam merumuskan kaidah nahwu merujuk kepada orang Arab, tidak semua orang dapat mereka jadikan sampel, hanya mereka yang setiqah (terpercaya) dan jelas jalur periwayatannya, hal ini sering kita lihat bagaimana Imam Sibawaih menyinggung tentang orang setiqah ini, sedangkan ulama kufah tidak terlalu mempertimbangkan syarat ini, sehingga orang yang mereka jadikan sampel tidak harus yang setiqah dan jelas jalur periwayatannya. Ulama bashrah menetapkan kaidah nahwu mengacu kepada bahasa yang jamak digunakan mayoritas orang Arab. Karena itu, Abu Amr, nama kun – yah Imam Sibawaih, ketika beliau ditanya apakah semua kaidah yang engkau buat ini sesuai kalam semua orang arab? beliau menjawab “Tidak, hanya yang paling sering di pakai lah yang kujadikan dasar”. Di sisi lain, ulama kufah menetapkan kaidah nahwu sesuai dengan apa yang mereka temui dalam bahasa Arab, tanpa banyak mempertimbangkan apakah bahasa tersebut sering dipakai atau jarang. Sebagai contoh, ulama’ bashrah berpendapat bahwa fa’il (subyek) tidak boleh mendahului fi’il (kata kerja), karena kebanyakan yang mereka jumpai dalam kalam arab seperti itu, tapi mereka memperbolehkannya jika itu dlorurat syiir. Sedangkan ulama kufah berpendapat bahwa fa’il boleh mendahului fi’il karena mereka menjumpai kondisi seperti ini dalam syiir arab yang walaupun itu syad / jarang di pakai dalam kalam arab, dan mereka menjadikannya sebagai landasan kaidah nahwu mereka. Salah satu faktor yang membuatku menjadi penyuka nahwu adalah karena kita dapat benar- benar mempelajari nahwu dari siapa pun beliau gurunya, tanpa perlu mengkhawatirkan aliran akidahnya. mungkin bagi kami yang berakidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah tak bisa serta merta belajar akidah dari yang beraliran khawarij misalnya, karena itu dapat mempengaruhi akidah kami. tapi ilmu nahwu berbeda, biarpun beliau syiah atau berbeda aliran, kita tetap bisa mengambil ilmu nahwu dari beliau, karena kaidah nahwu, jika tidak bashrah maka kufah, yang keduanya sama-sama di akui dalam ilmu nahwu, atau jika tidak keduanya, amaka tidak akan jauh berbeda juga. Kita telah mengetahui bahwa Al Quran adalah sebaik-baiknya kalam sastra, maka akan rugi sekali jika kita hanya mengetahui makna harfiah ayat Al-Qur’an atau lebih parahnya, hanya bisa membacanya tanpa mengetahui artinya. karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari ilmu nahwu dan balaghah agar dapat memahami Al-qur’an dengan baik. Ilmu nahwu adalah ilmu yang paling steril, karena ilmu nahwu rujukannya adalah bacaan Al Quran, yang merupakan paling fasihnya kalam arab. Kita juga tentunya sudah mengetahui bahwa Al Quran sesuai janji Allah akan selalu di jaga lafad-lafadz nya sampai hari kiamat. Maka dari itu sampai detik ini pun nahwu tetap terjaga dari tangantangan usil. Karena tidak mungkin orang dapat berpendapat bahwa mubtada’ itu nasab, fa’il itu jer sedangkan dalam Al Quran -yang terjamin kebenarannya- tidak sesuai dengan pendapat tersebut. Ilmu nahwu berbeda dengan ilmu fiqih, jika hukum dalam ilmu fiqih bisa berubah sesuai kondisi dan waktu maka ilmu nahwu tidak, karena ilmu nahwu tidak mengenal istilah “واالزمان االحوال بتغير تتغير االحكام.” Jika ada pendapat dalam ilmu nahwu yang mengatakan bahwa mubtada’ bisa punya fa’il dalam kondisi tertentu, maka sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun tidak akan berubah. beda halnya dengan ilmu fiqih, fatwa fiqih zaman dahulu belum tentu relevan untuk zaman sekarang. Maka dari itu, orang yang alim dengan ilmu nahwu di zaman dahulu tetap akan menjadi alim di zaman sekarang, tapi orang yang faqih di zaman dahulu belum tentu faqih di zaman sekarang jika beliau terlalu tekstual dan tak mau mengikuti perubahan zaman, karena dalam fiqih selalu dan akan selalu muncul persoalan yang baru. Sedangkan ilmu nahwu akan tetap sama seperti dahulu, namun bukan berarti dalam ilmu nahwu tidak ada yang namanya revisi pendapat, hal itu sangat mungkin terjadi, mengingat ilmu nahwu juga karangan manusia. ~ Zainal arifin
seakan-akan mereka berusaha untuk berbeda pendapat dengan ulama’ bashrah, dan mengalahkan pamor ulama’ bashrah dalam peradaban ilmu nahwu. Benar kata pepatah “semakin kita belajar semakin kita bodoh”. setelah sekian lama saya berfikiran seperti itu, saya akhirnya tersadar bahwa alasan ulama kufah sering berbeda pendapat dengan ulama bashrah bukan karena kepentingan pribadi atau hanya memanjakan ego masingmasing, tapi karena dasar pembuatan kaidah nahwu mereka memang berbeda. Ulama bashrah dalam merumuskan kaidah nahwu merujuk kepada orang Arab, tidak semua orang dapat mereka jadikan sampel, hanya mereka yang setiqah (terpercaya) dan jelas jalur periwayatannya, hal ini sering kita lihat bagaimana Imam Sibawaih menyinggung tentang orang setiqah ini, sedangkan ulama kufah tidak terlalu mempertimbangkan syarat ini, sehingga orang yang mereka jadikan sampel tidak harus yang setiqah dan jelas jalur periwayatannya. Ulama bashrah menetapkan kaidah nahwu mengacu kepada bahasa yang jamak digunakan mayoritas orang Arab. Karena itu, Abu Amr, nama kun – yah Imam Sibawaih, ketika beliau ditanya apakah semua kaidah yang engkau buat ini sesuai kalam semua orang arab? beliau menjawab “Tidak, hanya yang paling sering di pakai lah yang kujadikan dasar”. Di sisi lain, ulama kufah menetapkan kaidah nahwu sesuai dengan apa yang mereka temui dalam bahasa Arab, tanpa banyak mempertimbangkan apakah bahasa tersebut sering dipakai atau jarang. Sebagai contoh, ulama’ bashrah berpendapat bahwa fa’il (subyek) tidak boleh mendahului fi’il (kata kerja), karena kebanyakan yang mereka jumpai dalam kalam arab seperti itu, tapi mereka memperbolehkannya jika itu dlorurat syiir. Sedangkan ulama kufah berpendapat bahwa fa’il boleh mendahului fi’il karena mereka menjumpai kondisi seperti ini dalam syiir arab yang walaupun itu syad / jarang di pakai dalam kalam arab, dan mereka menjadikannya sebagai landasan kaidah nahwu mereka. Salah satu faktor yang membuatku menjadi penyuka nahwu adalah karena kita dapat benar- benar mempelajari nahwu dari siapa pun beliau gurunya, tanpa perlu mengkhawatirkan aliran akidahnya. mungkin bagi kami yang berakidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah tak bisa serta merta belajar akidah dari yang beraliran khawarij misalnya, karena itu dapat mempengaruhi akidah kami. tapi ilmu nahwu berbeda, biarpun beliau syiah atau berbeda aliran, kita tetap bisa mengambil ilmu nahwu dari beliau, karena kaidah nahwu, jika tidak bashrah maka kufah, yang keduanya sama-sama di akui dalam ilmu nahwu, atau jika tidak keduanya, amaka tidak akan jauh berbeda juga. Kita telah mengetahui bahwa Al Quran adalah sebaik-baiknya kalam sastra, maka akan rugi sekali jika kita hanya mengetahui makna harfiah ayat Al-Qur’an atau lebih parahnya, hanya bisa membacanya tanpa mengetahui artinya. karena itu, penting bagi kita untuk mempelajari ilmu nahwu dan balaghah agar dapat memahami Al-qur’an dengan baik. Ilmu nahwu adalah ilmu yang paling steril, karena ilmu nahwu rujukannya adalah bacaan Al Quran, yang merupakan paling fasihnya kalam arab. Kita juga tentunya sudah mengetahui bahwa Al Quran sesuai janji Allah akan selalu di jaga lafad-lafadz nya sampai hari kiamat. Maka dari itu sampai detik ini pun nahwu tetap terjaga dari tangantangan usil. Karena tidak mungkin orang dapat berpendapat bahwa mubtada’ itu nasab, fa’il itu jer sedangkan dalam Al Quran -yang terjamin kebenarannya- tidak sesuai dengan pendapat tersebut. Ilmu nahwu berbeda dengan ilmu fiqih, jika hukum dalam ilmu fiqih bisa berubah sesuai kondisi dan waktu maka ilmu nahwu tidak, karena ilmu nahwu tidak mengenal istilah “واالزمان االحوال بتغير تتغير االحكام.” Jika ada pendapat dalam ilmu nahwu yang mengatakan bahwa mubtada’ bisa punya fa’il dalam kondisi tertentu, maka sampai kapanpun dan dalam kondisi apapun tidak akan berubah. beda halnya dengan ilmu fiqih, fatwa fiqih zaman dahulu belum tentu relevan untuk zaman sekarang. Maka dari itu, orang yang alim dengan ilmu nahwu di zaman dahulu tetap akan menjadi alim di zaman sekarang, tapi orang yang faqih di zaman dahulu belum tentu faqih di zaman sekarang jika beliau terlalu tekstual dan tak mau mengikuti perubahan zaman, karena dalam fiqih selalu dan akan selalu muncul persoalan yang baru. Sedangkan ilmu nahwu akan tetap sama seperti dahulu, namun bukan berarti dalam ilmu nahwu tidak ada yang namanya revisi pendapat, hal itu sangat mungkin terjadi, mengingat ilmu nahwu juga karangan manusia. ~ Zainal arifin