“الطريق الى الله طويل و نحن نمضي فيه كسلحفاة, ليست الغاية ان نصل الى نهاية الطريق ولكن الغاية ان
نموت و نحن على الطريق”
”jalan menuju Allah sangtlah panjang sedangkan kita berjalan diatasnya bagaikan seekor kura-kura, tujuan kita bukanlah untuk sampai kepada ujung jalan tersebut akan tetapi tujuan sebenarnya adalah bagaimana kita mati tetap berada pada jalan tersebut
”
Abu Dawud (w. 275 H) meriwayatkan dalam Sunannya : ”barang siapa menempuh suatu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan menempuhkan sebuah jalan dari jalan-jalan surga, dan sesungguhnya malaikat meletakkan sayap-sayapnya untuk penuntut ilmu karna ridho terhadapnya, sesungguhnya seorang yang ‘alim dimintai ampunan untuknya oleh semua yang ada di langit dan di bumi bahkan ikan yang ada di dalam air sekalipun dan keutamaan seorang ‘alim atas seorang ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan atas bintang bintang yang lain”, Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ barang siapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu maka akan Allah subhanahu wa ta’la mudahkan jalannya menuju surga, dan tidaklah suatu kaum berkumpul di rumah dari rumah-rumah Allah mereka membaca kitabullah dan mempelajarinya diantara mereka kecuali akan turun kepada mereka ketenangan dan mereka dilingkupi oleh rahmat-Nya dan malaikat pun mengeliingi mereka, dan Allah subhanahu wa ta’la menyanjung mereka di tengah malaikat yang ada di sisi-Nya”.
Terlalu banyak hadits dan ayat-ayat Al-Quran yang menjelaskan keutamaan ilmu dan mendorong untuk mencarinya dan beramal dengannya, cukuplah hadits diatas mewakili untuk menjelaskan betapa agungnya imu dan mulianya orang yang memilkinya tanpa melupakan ikhlash dan beramal dengannya, karna setiap amal tergantung pada niatnya jika baik maka baiklah hasilnya jika buruk maka ia hanyalah akan menjadi هباء منثورا ( debu yang beterbangan ) tak memberikan manfaat sedikitpun bahkan memberikan keburukan. Yang dimaksud dengan ilmu disini adalah ilmu syar’i bukan ilmu duniawi karna ialah yang membawa manusia semakin mengenal tuhannya sehingga mematuhi segala perintah-Nya, As-Sam’ani (w. 562 H) dalam Al-Muntakhob meriwayatkan perkataan Sufyan Ats-tsauri (w. 161 H) salah satu aimmatul hadits dan seorang amirul mukminin fil hadits : “tidak ada amalan yang lebih mulia daripada menuntut ilmu jika niatnya benar”, para as-salaf as-sholih sangat memperhatikan ikhlasnya niat dalam segala amalan mereka, semua ini karna ialah sang nahkoda yang membawa manusia menuju keridhoan Allah atau sebaliknya. Niat yang ikhlas ini pulalah yang menjadikan mereka rela berkelana berpuluh puluh tahun berjalan ribuan kilo meter mendaki pegunungan, menyebrangi lautan, bertahan ditengah teriknya gurun sahara, bahkan sebagian dari mereka ada yang meminum air kencingnya sendiri selama berhari-hari karna keadaan yang sangat mencekam, menjual rumah dan segala kekayaan bahwa mempertaruhkan nyawa mereka bukanlah suatu yang berat demi mendapatkan ilmu yang mendekatkan mereka kepada Sang maha agung Allah jalla fil ‘ula, salah satu salaf suatu hari sedang duduk di majlis hadits tiba-tiba habislah tinta penanya, maka dengan sigap ia menyuruh salah seorang untuk mengumumkan siapa yang mau memberikan penanya dengan harga 1 dinar, renungkanlah betapa tidak berharganya sebuah emas (yang di zaman kini bernilai jutaan rupiah) jika sampai melewatkan hadits yang didektekan oleh syeikh. Itu semua karna mereka tahu betapa manisnya ilmu untuk mendapatkan kehidupan yang indah di dunia dan akhirat.
Qanun ulama dalam tholabul ilm adalah “minal mahbarah ilal maqbarah”, Ibnul Mubarak (w. 181 H) ditanya suatu hari, sampai kapankah engkau akan menuntut ilmu? Beliau menjawab: “ sampai akhir hayat in sya Allah”. Para ulama tidak pernah melihat usia ketika menuntut ilmu yang agung ini, imam Bukhori berkata dalam shohihnya : “sahabat Rosululllah sallallahu ‘alaihi wa sallam belajar ketika masa tua mereka”, Abu Bakar mulai menimba ilmu dari “mata air” nya yang murni ketika umurnya telah mendekati 40 tahun, begitu juga Umar dan Utsman serta banyak dari sahabat yang lainnya.
Ibnu Abbas sang turjumanul quran ditanya bagaimana ia mendapatkan ilmu yang begitu “mengalir deras” padahal ia adalah seorang remaja belasan tahun ketika Rasulullah wafat, ia menjawab : بلسان سؤول و قلب عقول , yaitu lisan yang tak pernah bosan bertanya tentang ilmu dan hati yang selalu disibukkan untuk mentadabburi ilmu tersebut, bahkan beliau rela menunggu di depan rumah salah satu sahabat ditengah teriknya matahari kota Makkah hanya untuk bertanya sebuah hadits.
Menghafal ribuan hadits lengkap dengan sanadnya bukanlah hal yang aneh pada generasi-generasi salaf terdahulu. Imam Ahmad (w. 241 H) menghafal 700 ribu hadits bahkan dikatakan juga bahwa beliau hafal 2 juta hadits, imam Bukhori (w. 256 H) berkata tentang dirinya bahwa beliau hafal 100 ribu hadits shohih dan 200 ribu hadits tidak sohih, imam Syafi’i (w. 204 H) telah mengahafalkan muwatta’ ketika ia masih berumur 10 tahun. Az-Zahabi (w.748 H) dalam Tazkiratul Huffaz menyebutkan dari Yahya ibn Yaman Al-Kufi bahwa ia menghafal dalam satu majlis 500 buah hadits, beliau juga menyebutkan bahwa Ibnul Jauzy (w. 597 H) menulis dengan jari-jemarinya 1000 jilid kitab, dan masih banyak lagi keajaiban-keajaiban yang rasanya ibarat sebuah mimpi di zaman yang penuh kecanggihan ini, karna bagi sebagian orang menghafal Al-Arba’in An-Nawawiyah yang hanya berisi 42 hadits tanpa sanad yang lengkap saja butuh berminggu minggu atau bahkan berbulan bulan apa lagi ratusan ribu lengkap dengan sanad, akan tetapi kenyataannya memang begitulah adanya. Berjalan dari mekkah ke madinah, madinah ke Baghdad, Baghdad ke mesir, lalu ke yaman dan kesegala penjuru dunia lainnya untuk bisa duduk di majlis ulama dan merasakan manisnya ilmu bukanlah sesuatu yang berat bagi mereka , seolah- olah khumul, kasal dan malal (malas dan bosan) tidak termasuk kedalam daftar “kamus hidup” mereka, begitulah Allah berikan kepada mereka keberkahan dalam waktu dan ilmu.
Bukanlah tidak mungkin apa yang bisa mereka lakukan juga bisa dilakukan oleh generasi zaman ini, karna sebagaimana dikatakan من سار على الدرب وصل, barang siapa yang berjalan pada jalan yang tepat maka ia akan sampai, permasalahan terbesar yang terjadi adalah para thullabul ‘ilm banyak yang berjalan pada jalan yang kurang tepat, terkadang mungkin ia melihat bahwa “rumput tetangga lebih hijau” karna memang jalan menuju Allah sangatlah sulit berliku dan penuh rintangan sebagaimana diriwayatkan oleh Al-Haitsamy (w. 807 H) dalam Majma’ Az-Zawaid dari Abdulah Ibnu Mas’ud ia berkata: “ sesungguhnya surga dikelilingi oleh hal yang dibenci dan neraka diselimuti oleh syahwat”, atau bagi sebagian yang lain sudah mencoba berjalan pada jalan yang tepat namun tidak bersabar dalam mengemban beban berat ini sehingga futur adalah benalu yang seringkali menghinggapi jiwa. Beristiqomah dalam menuntut ilmu seolah menjadi dinding tinggi yang menghalangi karna jarang sekali ada yang sanggup mengemban beban ini dan meelampaui dinding tersebut serta berpaling dari gemerlapnya dunia.
Semua ini tentunya karna himmah (semangat) untuk menuntut ilmu tadi tidak ada atau lemah, berikut beberap
a kunci sebagaimana dijelaskan oleh para ulama dalam menuntut ilmu:
1. Ikhlashkan niat kunci menuntut ilmu.
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لاَ يُبْخَسُونَ (15) أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الآخِرَةِ إِلاَّ النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُواْ فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُواْ يَعْمَلُونَ (16)
“Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada mereka Balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat, kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan” (Hud : 15-16).
Dan diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad dan An-Nasa’I bahwa diantara orang yang pertama kali dimasukkan ke dalam neraka adalah orang yang berjihad lalu mati dalam jihad tersebut lalu oarng yang berilmu lalu orang yang bersedekah dengan hartanya, mereka dimasukkan kedalam neraka bukan karna amalan tersebut tapi karna tidak adanya ikhlash dalam beramal, ‘iyadzan billah.
2. Memanfaatkan waktu
Sebagian orang mengaku dirinya sebagai penuntut ilmu akan tetapi dari 24 jam hari-harinya hanya bisa meluangkan setengah jam untuk membaca Al-Quran dan beberapa menit untuk memabaca kitab selebihnya waktu lebih banyak dibuang entah kemana, penyakit taswif (menunda nunda sampai besok) telah mencemari para tullabul ‘ilm padahal waktu adalah hal yang tak kan pernah kembali dan tidak ada yang menjamin sampai kapankah hidupnya akan berakhir, ibarat orang yang sedang bermimpi ia takkan sadar kalau ia sedang bermimpi kecuali setelah ia bangun dari tidur, begitu orang yang banyak membuang-buang waktu dalam kelalaian akan sadar akan kerugiannya ketika nanti anak dan harta sudah tidak berarti lagi baginya, imam Asy-Syafi’I (w. 204 H) berkata dalam salah syi’irnya :
إذا هجع النوام أسبلت عبرة
أليس من الخسران أن ليالياً
وأنشدت بيتاً وهو من ألطف الشعرِ
تمر بلا علم وتحسب من عمري
“Jika orang orang telah bernjak tidur aku lepaskan air mata ini (mengalir)
Ku lantunkan sebuah bait dan ia adalah syi’ir yang sangat lembut
Bukankah sebuah kerugian jika malam malam berlalu tanpa ada ilmu (di dalamnya) sedangkan umurku kelak akan di hisab (oleh Allah)”.
Maka ulama berkata : berikanlah ilmu seluruh yang kau punya maka ia akan memberikanmu sebagiannya dan berikan untuk ilmu sebagian yang kau punya maka ia takkan memberikanmu apa-apa. Al-Khalil Bin Ahmad (w. 170 H) berkata : sesungguhnya waktu yang paling berat bagiku adalah waktu ketika aku makan, tak terbayangkan di benak kita bahwa ada orang yang tenggelam dalam “cinta ilmu” hingga waktu untuk makanpun terasa begitu lama dan ingin bisa memanfaatkannya untuk menuntut ilmu. Tak heran memang, karna ilmu yang barakah itu tidak didapat dengan bermalas-malasan, akan tetapi dengan mengerahkan segala kemampuan yang ada. Imam An-Nawawi (w. 676 H) membaca dihadapan para gurunya 12 pelajaran setiap hari dari berbagai macam cabang ilmu lengkap dengan syarh dan tashih, beliau menghabiskan umurnya untuk mencari ilmu yang mengantarkan pada keridhoan Allah sampai beliau “lupa” untuk menikah, hingga kini nama beliau sangat harum terdengar diseantero dunia, seorang pemuda yang meninggal dengan karya yang luar biasa mengherankan jumlahnya.
3. Selalu berzikir kepada Allah
Mungkin sekilas ada yang menyangka bahwa tidak ada hubungannya antara menuntut ilmu dan berzikir, padahal zikir adalah salah satu yang sangat membantu dalam menuntut ilmu, karna dengan zikir maka seorang hamba senantiasa berhubungan dengan Tuhannya dan otomatis syeitan pun akan mejauh, namun jika sebaliknya maka syeitanlah yang akan mendekat sebagaimana kisah nabi Musa dan temannya dalam surat Al-Kahfi yang lupa akan ikannya ia berkata : “tidaklah ada yang menjadikanku lupa tentangnya kecuali syeitan”, begitu juga teman nabi Yusuf di penjara juga lupa memberi kabar tentang beliau kepada raja karna ulah syeitan pula, maka Allah berfirman dalam surat Al-Kahfi:
وَاذْكُر رَّبَّكَ إِذَا نَسِيتَ وَقُلْ عَسَى أَن يَهْدِيَنِ رَبِّي لأَقْرَبَ مِنْ هَذَا رَشَدًا
“dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini”.
Hendaklah seorang penuntut ilmu tidak melewatkan zikir-zikir yang dianjurkan rosulullah, seperti zikir pagidan petang dan lain-lain, yang dapat kita dapati dalam hadist-hadist maqbul, seperti dalam kitab hishnul muslim, shahihul azkar dan yang lainnya.
4. Beramal dengan ilmu yang telah dipelajari
Umat islam memilki perbedaan yang sangat jelas dengan kaum Yahudi dan Nashrani dan umat lainnya yaitu ilmu dan amal, maka setiap hari dalam doa kita selalu berdoa dalam surat Al-Fatihah agar Allah menjadikan kita orang yang mendapat petunjuk, bukan orang yang dimurkai dan tidak pula orang yang tersesat, Al-Qurthubi (w. 671 H) dalam tafsirnya mengatakan : “ mayoritas ulama mengatakan orang yang dimurkai adalah kaum Yahudi dan yang sesat adalah kaum Nashrani”, ulama berkata, yang demikkian itu karna kaum Nashrani beramal tanpa ilmu sedangkan kaum Yahudi berilmu tapi tidak beramal. Maka hendaknya seorang penuntut ilmu semampunya beramal dengan setiap ilmu yang telah dipelajarinya karna dengan amal semakin menambah keberkahan ilmu dan menjadikannya melekat dalam diri walaupun hanya dengan melangkahkan kaki kanan ketika masuk masjid misalnya, karna Rasulullah bersabda: “ janganlah sekali-kali meremehkan hal yang ma’ruf walaupun hanya sekedar bertemu dengan saudaramu dengan wajah yang berseri” (HR. Muslim). Ibnu Rajab Al-Hanbali (w.795 H) berkata dalam Risalahnya :”dahulu para salaf mewasiatkan agar mebaguskan kualitas amal tanpa hanya sekedar memperbanyaknya, karna sesungguhnya amal sedikit dengan kualitas yang baik lebih utama daripada amal yang banyak namun tak berkualitas”. Ibnu Jarir (w. 310 H) dalam muqoddimah tafsirnya meriwayatkan dari Abu Abdirrahman As-Sulamy : “ menceritakan kepada kami orang-orang yang mengajarkan kami Al-Quran seperti Utsman dan Ibnu Mas’ud serta selain mereka bahwa jika mereka belajar dari Nabi 10 ayat tidak melewatinya sampai mereka mempelajari yang ada di dalamnya dari ilmu dan amal, mereka berkata : maka kami mempelajari Al-Quran, ilmu dan beramal seluruhnya.
5. Memilih teman yang tepat
Lingkungan dan teman se
dikit banyaknya sangat berpengaruh dalam proses menuntut ilmu, karna manusia adalah makhluk yang mudah terpengaruh dengan lingkungan sekitarnya dan cenderung mengikuti siapa yang sering digaulinya, karna Rasulullah bersabda : “seseorang berada pada agama teman dekatnya maka hendaklah salah satu dari kalian meihat siapa yang ditemaninya” (HR. Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah). Dikatakan dalam sebuah syi’ir:
عن المرء لا تسأل و سل عن قرينه
اذا كنت في قوم فاصحب خيارهم
فكل قرين بالمقارن يقتدي
ولا تصحب الاردي فتردي مع الردي
“Tidak perlu engkau bertanya tentang seseorang, cukuplah kau bertanya tentang sahabatnya, karna seorang teman meneladani siapa yang ditemaninya
Apabila engkau berada disuatu kaum maka temanilah orang orang terbaiknya,jangan menemani orang orang yang terhina maka kau akan hina bersama mereka”.
Ulama selalu meningatkan kepada para enuntut ilmu agar tidak berteman kecuali dengan para sholihin yang membantu dalam ketaatan kepada Allah serta dalam menuntut ilmu. Ibaratnya bagaimana mungkin orang yang sehari-harinya bergaul dengan Abu Jahhal dan Abu Lahab berharap bisa menjadi seperti Abu Bakar. Abu Thalib yang membela dakwah rasulullah mati dalam keadaaan kafir karna siapa? Karna disampingmya masih ada Abu Lahab yang membisikinya : Apakah kau membenci agama Abdul muttholib?, demi Allah tidak ada yang lebih buruk dari ini, menolak mengucapkan kalimat yang menyelamatkannya dari azab Allah hanya karna perkataan seorang teman.
Sebagian orang menyalahkan lingkungan yang ia terlanjur berada di dalamnya dan menjadikannya “kambing hitam” atas ketidak istiqomahannya, tak mau berusaha untuk berusaha sebisa mungkin untuk bangkit. Harus diingat juga bahwa Asiyah istri Fir’aun hidup dalam lingkungan yang tak bisa diungkapkan dengan lisan betapa buruknya, tetapi Allah memujinya dan mengabadikan namanya dalam kitab suci-Nya, dan sebaliknya istri nabi Nuh dan nabi Luth yang berada dalam lingkungan nubuwwah tak dapat menjadikan mereka orang yang selamat dari azab Allah. Dari itu kita ketahui bahwa lingkungan yang kita tinggali walaupun sedikit banyaknya berpengaruh pada roda kehidupan kita namun semua tetap kembali kepada diri kita sendiri, walaupun bagi yang terlanjur berada dalam lingkungan yang buruk tetap istiqomah dan berusaha tak terpengaruh terasa sangat sulit dan berat tapi hendaklah mengingat sabda Rasulullah : ”sesungguhnya bagimu ganjaran sesuai kadar kesulitanmu dan nafkahmu (yang kau keluarkan)” (HR. Hakim).
Demikianlah sedikit sharing dalam tulisan ini, marilah kita tetap mengingat bahwa kita di dunia berada dalam “ruang ujian” pada setiap detiknya, kita akan selalu diuji apakah menjawab dengan jawaban yang benar disetiap “pertanyaan” yang ada, apakah kita masih ingat tujuan kita diciptakan oleh Allah, lalu apakah kehidupan ini sudah diarahkan menuju tujuan itu?, memang jalan menuju Allah sangatlah panjang dan berliku sedangkan kita ibarat seekor kura-kura yang berjalan terseok-seok menuju jalan yang sepertinya tak berujung itu demi sebuah tujuan yang mulia, mungkin kalau tujuan kita sampai kepada ujung jalan yang sangat panjang itu dengan langkah yang sangat pendek ini kita akan putus asa dan berhenti melangkah, tapi ingatlah Allah tidak menyia-nyiakan usaha hambanya dan tak pernah memberikan beban melebihi kemampuannya, tetaplah berjalan dengan kaki yang pendek dan lemah karna mati di tengah jalan itu lebih mulia daripada mati dalam jalan yang salah walaupun sambil berlari, tentunya dengan hasil yang menyengsarakan pula. Wallahu waliyyut taufiq.
الفقير الي ربه البصيرالقدير
من مدينة فاس المغربية, 5 ربيع الاول 1438 هـ الموافق 9 ديسنبر 2016 م
Great write up.. Keep writing
Great Writes… Keep Writing! DISCOVER THE HIDDEN KEY TO ONLINE SUCCESS – OUR SECRET SEO FORMULA