Kita terbatas. Ini bukan kalimat pesimistis. Ini hanyalah kalimat realistis. Meski terkadang ambisi yang menggebu seakan ingin meraih segalanya, ingin menaklukan semua. Menerawang jauh dan mengejar berbagai ketidakmungkinan. Kita selalu berusaha memberikan kepastian, berupaya menjawab semua pertanyaan.
Tapi sayang, kita ini terbatas.
Memangnya kita siapa, ingin memberi kepastian? Sedang yang pasti hanyalah kematian. Memangnya kita siapa, ingin menjawab semua pertanyaan? Sedang kadar ilmu kita tidak lebih dari setetes lautan. Memangnya kita siapa, ingin mengejar semua harapan? Sedang umur kita hanya dalam genggaman jari-Nya. Memangnya kita siapa?.
Kita hanyalah manusia, meski manusia sudah menjadi ciptaan paling sempurna. Tetap kesempurnaan hanyalah bagi-Nya. Dengan segala kelebihannya, manusia tetaplah manusia. Menjadi sarangnya keterbatasan. Menjadi rumah bagi berbagai kesalahan. Anehnya, ambisi kerap menyelinap ke dalam dada dari seseorang yang keterbatasan dan kekurangan sudah nyaman di dalamnya. Membakar seluruh komponen raga. Memberi percikan baru, dari hati ke seluruh jiwa. Hati kita adalah penentu segalanya. Retorika hati begitu persuasif, akalmu saja kerap kalah, bukan? Berhati-hatilah dengan hati.
Hati adalah negosiator ulung. Bagaimana tidak? Ketika akal sudah luluh padanya, akal akan memberi komando, dan dalam sepersekian detik anggota tubuh lain akan tunduk dan patuh. Kalau sudah begitu, kita bisa apa?.
Meski kita ini terbatas, masih ada cara agar kita tetap hidup utuh. Tanpa merasa dituntut untuk mengejar semua, menjawab semua, menaklukan segalanya. Agar kita bisa melepas diri dari berbagai kekhawatiran dan keterikatan, kita harus memulai semua dengan hati yang lapang. Bersahaja. Apapun yang terjadi, disukai atau tidak, diinginkan atau tidak, selalu ada sesuatu yang menenangkan, selalu ada pelajaran bagi ia yang mendasari semua dengan hati yang lapang. Hati yang lapang adalah jawaban yang seharusnya kita cari. Hati yang lapang adalah tujuan yang seharusnya kita kejar.
Dengan hati yang lapang, tidak akan ada definisi “kalah”, tidak akan ada definisi “kurang”. Karena kita akan terus merasa kurang dan kalah jika yang menjadi ukuran adalah nikmat orang lain. Dengan hati yang lapang, kita akan mengerti bahwa dalam beberapa kesempatan mungkin kita menang, dan di kesempatan lainnya kita akan belajar. Ingat! Tidak akan ada definisi gagal hidup. Yang ada, hanyalah belajar dan menyerap hikmah. Jika tidak untuk dirinya, setidaknya memberikan pelajaran bagi yang lain.
Begini, bumi itu berputar. Dan poros perputaran bumi bukan pada kita. Semua dari kita tidak lain hanyalah pemeran pembantu. Kita semua saling berkaitan, saling membutuhkan, dan saling terkoneksi. Maka sekali lagi, kita ini terbatas.
Jadi, salah besar jika kita menjadikan kekayaan, jabatan, pengakuan, kecerdasan, dan hal-hal sementara lainnya sebagai tolak ukur manusia di dunia. Sebaik-baik tolak ukur bagi kita adalah kebermanfaatan.
Sayyidul Mursalin, junjungan kita, Nabi Muhammad S.A.W sudah mengabari, sebaik-baik kita adalah yang paling baik perangainya dan yang paling bermanfaat bagi yang lainnya. Iya kan?
Betapa dengan hati yang lapang bisa merubah seluruh kehidupan kita. Menjadi lebih tenang. Lebih bijak, mengerti bahwa hidup kita bukanlah sebuah perlombaan, melainkan sebuah proses perjalanan. Bukankah hidup kita terlalu singkat jika dipenuhi dengan iri, dengki, keluh, kesah, dan derita hati lainnya?.
Dengan hati yang lapang, kita sebagai makhluk terbatas ini lebih mudah untuk mengidentifikasi tujuan hidup kita sebenarnya. Mengerti hakikat hidup yang kita jalani, dan bagaimana cara menjalaninya.
Dengan hati yang lapang, kita mengerti kapan kita harus memulai dan kapan kita harus berhenti. Merasa cukup dengan apa-apa yang bersifat sementara. Nyawa yang bersemayam pada raga kita hanyalah titipan dan kelak akan diminta pertanggungjawaban. Tuhan kita yang Maha Segala-galanya, dengan kebesaran-Nya, bebas memanggil kita pulang. Suka atau tidak Ia akan mengambil kita sewaktu-waktu.
Betapa baik tuhan kita, Allah azza wa jalla menitipkan begitu banyak anugerah kepada kita, mahkluk yang terbatas ini. Semuanya, yang ada di sekeliling kita hanyalah titipan. Baiklah, mungkin kita sudah merasa berusaha, bekerja keras, berkorban untuk apa-apa yang ingin diraih. Tapi, bukankah keringat yang kita peras, otak yang kita putar, serta tenaga yang kita pakai juga sebuah anugerah yang dititpkan oleh-Nya.
Lantas, kita ini siapa?.
Maka jawabannya adalah kita hanyalah hamba. Manusia yang menjadi sarang dari segala keterbatasan dan kekurangan.
Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop
Dapatkan Info-info terkini dari PPI Maroko