ROTI BULAN SABIT
Dingin. Nol derajat celsius. Kabut. Orang-orang berjaket. Begitulah sedikit gambaran kota romantis, Paris, pagi ini. Baru dua hari aku merasakan dingin angin Eropa. Menjajaki beberapa tempat, berkenalan dengan lingkungan yang akan aku tinggali untuk dua tahun ke depan. Berjalan-jalan. Sebelum tersibukkan oleh dunia perkuliahan.
14 Desember 2022. Aku berdiri di sini. Di tempat yang dulu kusebut-sebut dalam mimpiku. Di tempat yang amat aku inginkan agar suatu saat bisa terjajaki oleh kaki pendekku. Mimpi itu sekarang terealisasi. Aku berdiri. Dua puluh meter dari Menara Eiffel. Diam. Merasakan hembusan angin musim dingin, dari salah satu negeri kecil di Eropa. “Sudahkah kau sarapan, Lie?” tanyaku pada teman yang bersedia menemaniku berkeliling Prancis dua hari ini. Lilie menggeleng, tersenyum. Kuserahkan satu dari dua bingkisan. Merci, katanya. Aku tersenyum. Mengangguk. Kami berdua kembali berjalan. Menuju ke sana. Ke tempat yang pernah tergambar dalam mimpi indah masa kecilku. Kami bersisipan dengan para turis yang juga terkagum-kagum atas keindahan Paris. Banyak pula penjual berlalu-lalang menawarkan dagangan. Lilie mengencangkan ritsleting jaket putihnya. Angin berhembus semakin dingin. Menurut ramalan cuaca yang ada di ponselku, besok Paris akan diguyur salju. Dan warna putih akan mendominasi kota yang penuh dengan gemerlap keindahan ini.
Sesekali kutengok kanan kiri. Menghirup udara dingin pelan sambil mencomot croissant yang kupegang. Lilie juga melakukan hal yang sama. Beberapa menit kami berjalan. Lebih banyak diam, tanpa percakapan. Tepat di bawah menara tinggi itu Lilie mulai berceletuk. “Sarah, tahukah kau dari negara mana croissant berasal?” sambil mengangkat sedikit croissant yang tadi kuberikan padanya. Prancis, tebakku. Lilie menggeleng. Aku mendelik. Menatapnya ingin tahu. Baiklah, kata Lilie. Dia mulai bercerita.
Kata croissant, adalah bahasa Prancis. Artinya bulan sabit. Pengucapan Prancisnya bukan ‘Kroisan’ tapi ‘Krwanssong‘. Huruf R nya seperti mengucapkan antara huruf ghoin dan kho’ (dalam huruf hijaiyyah). ‘Sant’ di akhir kata dibaca ‘song’, sengau, khas aksen Prancis. Dinamakan croissant karena memang bentuknya menyerupai bulan sabit.
Sebentar, pernahkah kau mendengar cerita bahwa croissant adalah simbol pelecahan terhadap umat Islam. Ketika Austria menang dan Turki dikalahkan, pada bendera Turki terdapat gambar bulan sabit, bukan? Austria mengolok kekalahan Ottoman dengan membuat roti yang mirip simbol bendera musuhnya, lalu mereka menikmatinya, menyantap croissant sama dengan menikmati kekalahan Turki atau umat Islam? Bukan, itu bukan cerita yang benar.
Aku menatap Lilie lebih antusias. Yang ditatap semakin menggebu untuk melanjutkan ceritanya. Croissant bukan roti yang berasal dari Prancis. Melainkan dari Wina, Austria. Croissant adalah bentuk modifikasi dari Kipferl (roti khas Austria) yang asli. Ratu Marie Antoniette (Ratu yang pernah memimpin Prancis, berdarah Austria) lah yang memopulerkan kipferl ini di Prancis, untuk ke depannya menjadi makanan nasional dan sarapan keseharian warganya. Disebabkan cita rasa roti yang sangat lezat.
Pada abad ke 17, Kesultanan Muslim Ottoman membawa panji, bersimbol bulan sabit. Dalam siege of vienne, Austria dan Turki saling berlawanan. Austria memang berhasil memenangkan peperangan. Tapi antara croissant dan kekalahan bendera Ottoman sama sekali tak ada kaitan.
Jauh sebelum itu, tepatnya di abad 13, sering terjadi peperangan antar kerajaan.
Kekaisaran Austria selalu siaga. Kapan pun musuh bisa saja menyerang. Dan kejadian itu benar terjadi. Dini hari dan musuh tiba, bersiap menyerang. Namun berkat para pembuat roti kipferl yang terjaga demi menyiapkan sarapan. Austria selamat. Ketika mendengar suara kuda milik pasukan musuh. Mereka dengan sigap memperingatkan para tentara. Dan akhirnya berhasil menghalau musuh yang hendak menyerang.
Berterima kasihlah Kaisar Austria pada para pembuat roti. Mereka diperintahkan membuat versi lain dari kipferl yang berbentuk tapal kuda alias mirip huruf U. Tentu sebagai penghargaan, yang kemudian menjadi simbol kehebatan para pembuat roti yang telah berjasa. Mendeteksi langkah kuda musuh. Menyelamatkan Austria.
Aku menghela nafas panjang. Cerita yang menarik. Sering kumakan roti renyah berlapis ini, tapi aku baru tahu tentang cerita-ceritanya. Roti yang terbuat dari terigu, garam, dan ragi. Terkenal bahkan di seluruh dunia.
Maroko misalnya. Banyak sekali boulangerie atau toko roti yang berjejer di pinggir jalan dan mall-mall atau tempat perbelanjaan. Dijual dengan bermacam-macam harga. Mulai dari satu dirham hingga mungkin ratusan. Wangi yang khas selalu menyeruak dari dalam ke luar toko. Membuat siapa pun betah berdiri lama-lama di depannya.
Dulu ketika S1 di Maroko, aku selalu tergoda ketika melewati boulangerie. Tak bisa kutahan untuk tidak membeli, barang sebuah croissant. Sudah bertahun-tahun dia menjadi teman yang mengawali hari-hari cerahku. Pembuka pagi sebelum berkutat dengan berbagai pelajaran dan tumpukan buku di kampus.
“Lie, kau tahu apa bedanya croissant yang lurus dan melengkung?”
Lilie menyipitkan matanya, agak heran dengan pertanyaanku. “Croissant lurus menggunakan mentega, sementara croissant melengkung menggunakan margarin” jelasku.
Lilie tertawa. Menimpukku dengan buku Atomic Habits yang dipegang tangan kirinya. “Untuk urusan sejarah sepertinya aku lebih tahu, tapi untuk urusan memasak sepertinya kau jauh di depanku, Sar.”
Kami tertawa bersama. Sebenarnya, aku mengetahui hal ini bukan karena aku pandai memasak. Aku bahkan sama sekali tak berbakat dalam urusan perdapuran. Tapi pernah seorang penjual roti di Maroko bersukarela menjelaskanku tentang hal itu. Kami sangat akrab. Karena aku hampir selalu menjadi pelanggan pertama di setiap paginya. Lalu info itu masih aku ingat sampai sekarang.
Pagi ini Lilie membuatku senang sekali. Tiga tahun S1 di Maroko. Tiga tahun itu pula aku menikmati croissant setiap mengawali hari. Tapi pagi ini, aku baru tahu sejarahnya. Sejarah croissant. Berkat cerita Lilie. Di bawah Menara Eiffel yang ramai. Mungkin selama ini, aku terlalu disibukkan dengan materi-materi perkuliahan sampai aku banyak melupakan hal lain dan buta pada hal-hal seperti ini. “Merci beaucoup Lilie, Tu es très intelligente“. “De rien, Toi aussi“. Kami sama-sama tersenyum. Terus berjalan. Banyak sekali Lilie memberi tahuku nama-nama jalan, gang, restoran halal, dan hal-hal lain tentang Prancis yang nanti akan membantuku banyak di dua tahun ke depan.
Dan sesuai rencana kemarin malam. Setelah berkeliling di sekitar Eiffel. Kami akan pergi ke sebuah museum terkenal yang paling banyak dikunjungi. Museum yang memamerkan puluhan ribu karya seni. Termasuk lukisan Monalisa karya Leonardo da Vinci. Tempat yang sering kulihat dari layar HP dan TV. Juga menjadi salah satu nama pada daftar tempat-tempat yang ingin kukunjungi, tertulis di buku harianku. Museum Louvre.
Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop
Dapatkan Info-info terkini dari PPI Maroko
Aku menunggu kelanjutan ceritamu lel :’