Awal masuk SMP
Aku sudah masuk sekolah SMP hari ini, aku berharap semua berjalan dengan lancar, aku sudah menyiapkan segala sesuatu untuk dibawa hari ini sejak jauh-jauh hari. Jadi aku tidak perlu repot lagi saat sudah waktu masuk sekolah.
**
Sesampainya aku di sekolah aku melihat ada banyak siswa yang sama seperti aku, yaitu masuk sekolah SMP untuk pertama kali.
***
Saat di kelas kami memperkenalkan diri kami masing-masing di depan kelas, kebetulan aku duduk di bangku paling depan, jadi aku di persilahkan untuk memperkenalkan diri paling awal
“Hey teman-teman perkenalkan nama saya Ira Wati “
Setelah duduk kembali, aku mendengar omongan-omongan dari teman-temanku, terutama Inur, dia yang paling antusias ketika mencaciku, tak kuhiraukan caciannya, saat ini aku hanya fokus dengan belajar dan membantu ibuku yang saat ini sudah jadi janda, setelah kepergian ayahku sejak umurku usia 8 tahun, aku menuntut ilmu sekalian membantu ibuku dan memberi yang terbaik untuknya. Entahlah mengapa aku jadi bertekad kuat, namun aku tak peduli. Intinya, aku harus bisa membuat ibuku tersenyum, disaat sukses kelak.
***
Di rumah aku menceritakan apa saja yang dilakukan di sekolah, tetapi aku tak bercerita ke ibu pada saat aku mendapat cacian dan makian tadi, sebab, aku tak mau ibuku sedih dan berpikir banyak hanya tentang aku.
***
Esok harinya aku sekolah seperti biasa, ini adalah hari ke-2 aku bersekolah. Tapi hari ini aku dapat cacian dan hinaan lebih dari kemarin, bahkan Inur, aku sudah mengenalnya lama, namun dia tetap tak berubah. Ya, aku tau, ayahnya adalah seorang guru pelajar juga di sekolah itu. Maka dari itu, ia menggunakan jabatan ayahnya, sebagai senjata untuk membullyku, aku hanya bisa bersabar menghadapinya, saat ini hanya kupendam apa yang kurasakan, aku tak ingin mengadu dan tak ingin ibuku tau.
Aku tak tau, mengapa Inur dan gengnya selalu saja melakukan bullying padaku, padahal aku tak berbuat apapun, mengadu ke kantor sekolah pun tak ada artinya, karena orang tua Inur salah satu guru di sekolah, yang sudah pasti jika aku melapor, tidak akan dipercaya.
“Heh!! Sudahlah hidupmu miskin, tak berguna mending kau mati saja!!” Ucap Inur secara tiba-tiba yang disertai gelak tawa teman-temannya. Sungguh, saat itu aku terbakar emosi. Tapi aku sadar jika aku melawan, malah akan jadi rumit nantinya, jadi aku memilih untuk diam lagi.
Aku menjalani hari seperti biasa, ya, seperti biasa, hanya akan diam dan tidak akan melawan “Eh kudengar, kamu anak yatim ya? hahaha. Yatim, miskin, ibunya janda. Kasian sekali kamu tak punya bapak” Ucap Dila, salah satu teman geng Inur.
Rasanya sudah tak tertahankan lagi. Ingin rasanya kumenjerit dan menampar melur mereka dengan kedua tanganku ini, geram sudah. Tapi untungnya aku masih bisa sabar menghadapi mereka, jika tidak, maka akan kucabik-cabik mulut mereka hingga sobek.
***
Di rumah aku mengurung diri di dalam kamar sambil menangis meraung, tapi kuusahakan biar tak terdengar suaraku hingga ke telinga ibuku. Saat ibuku memanggil, aku buru-buru menghapus air mata yang membasahi pipiku.
“Ira, Nak” begitu ibuku memanggil ku. “Ya, Bu ada apa?” sahutku sembari keluar dari kamar. “Tolong kamu angkatin jemuran itu nak”. “Baik Bu” aku menyahut sembari menuju ke arah pakaian yang dijemur, kurasakan rintik-rintik mulai turun, aku buru-buru mengangkat pakaianku.
“Sudah Nak?” Ibuku bertanya.
“Sudah Buk” aku menjawab.
“Terima kasih nak” ucap Ibuku lagi. “Iya” jawabku lagi, tiba-tiba terbenak di pikiranku, yaitu menenangkan pikiranku di bawah rintik hujan yang sedang deras. Aku memanfaatkan waktu ini, di saat Ibu memasak untuk makan malam kami.
Aku berlari dan berputar gembira di bawah hujan. Aku menjerit dan menangis, bahkan air mataku tidak terlihat karena tercampur air hujan yang juga turun membasahi tubuhku, aku menjerit hingga beberapa kali. “AAAAAAAAAAA, aku lelah, aku lelah!!!” aku menjerit dan terus menjerit sambil menangis, hingga aku puas. Beberapa saat kemudian hujan pun mulai reda dan aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dengan mengeendap-endap agar ibuku tidak tau, dan…..ya, berhasil juga aku masuk ke dalam kamar mandi, tanpa sepengetahuan Ibuku. Saat mandi pun, aku juga menangis di bawah guyuran air yang membasahi tubuhku.
***
Karena libur, hari ini aku membantu ibuku di warung gang depan rumah kami. Aku membantu ibuku dengan semangat, mengingat kondisi ekonomi rumah kami yang kurang baik, aku jadi tambah semangat membantu Ibuku.
Tanpa kusadari Inur lewat depan warung ibuku yang mana saat itu aku yang sedang menjaga warung “Eh Ra, kamu bantu Ibumu ya? kasian sekali kamu, di saat masih SMP kamu sudah membantu ibumu yang janda itu. Oh iya, aku ingat, kalian kan miskin ya, jadi wajar kamu membantu Ibumu”. Ucapannya, untunglah ibuku tak mendengar, karena sedang ke toilet buang air kecil.
“Sudah ya, tak ada gunanya juga aku mengurusi hidupmu, daaah” Ucapnya sambil melambaikan tangan, ‘Dasar kurang ajar, untunglah aku bisa sabar menghadapinya kalau tidak sudah kusobek mulutnya dan kujambak rambutnya yang panjang itu’, ucapku dalam hati. Kutarik nafas dalam-dalam, dan perlahan dibuang secara perlahan-lahan, agar meredakan emosiku yang membara.
***
Sesampainya aku dan ibuku di rumah, tiba-tiba hujan pun turun, aku keluar rumah dan berlari menuju ke hujan yang turun, menangis kembali aku, sama seperti yang kulakukan sama seperti kemarin. Namun kali ini aku tak menjerit, karna ada Ibu yang sedang menonton televisi di ruang tengah. Aku menjadi candu terhadap hujan, padahal aku baru melakukannya 2 kali, tapi aku merasa hal ini sudah jadi kebiasaanku, tapi sayangnya, hujan kali ini lebih cepat redanya dibanding kemarin, membuatku jadi kesal, tapi aku juga tidak bisa berbuat lebih, karena bukan aku yang menurunkan hujan. Lekas aku masuk dan mandi untuk membersihkan tubuhku, kurasakan beban di tubuhku sedikit ringan dan stress di otakku sedikit hilang dan terlupakan.
Dijebak
Hari ini aku merasa lebih aneh sekali, Inur yang biasanya mencaci dan mengolokku. Hari ini dia bersikap baik sekali padaku, aku sempat curiga. Namun cepat-cepat rasa curigaku hilangkan, mungkin saja Inur ingin memperbaiki sikapnya terhadapku. Bahkan disaat temannya mencaciku, Inur malah membelaku “Dila kamu tidak boleh begitu, ayo minta maaf” Ucap Inur. Itu membuat teman Inur merasa kebingungan dan saling pandang, mereka saling bertanya tanya ada apa dengan Inur, begitupun denganku.
Saat bel istirahat bunyi, aku ingin keluar kelas, saat aku lewat tepat di samping bangku Inur dan Putri, teman sebangkunya sekaligus gengnya. Sekilas, aku mendengar Inur berkata “Kujebak….” ya walaupun tak tau kelanjutannya, saat aku nampak lewat, Inur gelagapan panik.
“E eeh, Ir..Ra,” bahkan ia memanggil namaku, tampak dengan jelas ia gugup di hadapanku “Mau ke kantin?” tanyanya padaku. “Iya” aku menjawabnya singkat “Ya sudah, ayo kita ke kantin, dia mengajakku”. Kali ini teman-temanya bersikap biasa aja, Apa mereka mau menjebakku ya? batinku bertanya dalam hati, prinsipku, aku akan mengikuti permainan yang mereka lakukan. Jika benar aku di jebak, aku tak perlu khawatir, karena aku sudah tau rencana mereka, walaupun tidak sepenuhnya aku tau, yang pasti pokok mereka adalah ingin menjebakku.
***
Sepulang sekolah, aku di panggil ke kantor kepala sekolah, di sana aku melihat ada Pak Rozali sang kepala sekolah, ada Pak Pendi, Pak Pendi adalah ayah dari Inur, aku juga melihat ada unsur di sana, aku masih bingung, kenapa aku dipanggil ke ruang kepala sekolah.
“Langsung aja kalau begitu” Pak Rozali memulai pembicaraan.
“Silahkan Pak Pendi, Mohon jelaskan apa yang terjadi pada anak bapak, Inur” Pak Rozali menyuruh Pak Pendi untuk bicara, “Jadi begini, Ra. Apakah benar kamu yang mencuri uang Inur?” Pak Pendi langsung berbicara mengenai permasalahan. Benar sudah dugaanku, pasti aku akan dijebak seperti ini, sementara dari tadi aku bersamanya di jam istirahat.
“Tidak Pak, lagi pula untuk apa saya mengambil uang Inur, ibu saya masih mampu menafkahi saya, jadi saya tidak perlu uang Inur itu” jawabku dengan santai. Karena jika aku menjawab dengan sedikit nada tinggi, malah memang aku yang dianggap seperti mencuri, padahal aku tidak mencurinya.
“Kamu masih mau cari alasan. Sudah jelas kamu yang mencuri uangku” Inur tiba-tiba berbicara dengan nada tinggi”. “Punya bukti apa kamu? Jika kamu punya bukti, apa kamu yakin bukti yang kamu buktikan itu kuat?” aku melempar pertanyaan itu kepada Inur. “Tadi Dila yang melihatnya, dia melihat ketika jam istirahat, kamu menggeledah tasku” Ucap Inur, apa yang dikatakan barusan menjadi celah bagiku untuk terus menyekaknya, jika terbukti bahwa aku memang dituduh dan tidak bersalah.
“Saat jam istirahat? Saat jam istirahat saja aku selalu bersamamu, bagaimana bisa aku mencuri uangmu”, aku masih memberi pertanyaan kepada Inur, kali ini Inur diam dan berpikir “Jelas sudah kamu yang mencurinya”, Ucap Inur ga mau terima.
“Sekarang apa buktinya?” Sekarang apa buktinya lagi dan lagi aku bertanya tentang bukti yang perlu ditunjukkan, agar tidak jadi kesalahpahaman. “Dila bilang kamu menaruhnya di dalam tas, mungkin benar kata Dila, memang kamu yang mencuri uangku. Coba ya, jika tasnya kita cek, kalau emang benar Ira yang melakukannya, aku akan meminta ganti rugi” Inur berkata seenaknya.
“Silahkan Pak” aku mempersilahkan Pak Pendi untuk mengecek tasku, dan betapa kagetnya aku, memang benar, ternyata uang Inur ada di dalam tasku, padahal aku tak mengambilnya sama sekali.
“Lihat, ini uangku, kamu tega Ira, padahal aku selalu baik terhadapmu, tapi ini pembalasanmu terhadapku” Inur berkata memutar fakta. Aku harus tetap terlihat santai, agar aku bisa leluasa mencari jalan keluar, Inur memberi banyak pertanyaan, sengaja tidak kujawab, agar ku tau, langkah apa yang selanjutnya dipermainkannya.
“Kenapa kamu dia? Kamu takut jika masalah ini menyangkut dengan ibumu dan harus dipanggil ke sini” Inur berbicara seenaknya, Inur berbicara seolah seperti berdua denganku, padahal jelas, di sekitar kita ada Pak Rozali Pak Pendi dan Guru guru yang berlalu lalang di depan
“Siapa takut” jawabku. “Oke, jika kamu tidak takut, pihak sekolah akan memanggil Ibu kamu ke sekolah” kini Pak Pendi berkata dengan wajah sedikit marah dan suara yang sedikit meninggi. “Silahkan” jawabku santai. “Baik, kalau begitu bapak minta besok ibu kamu datang tepat waktu ke sekolah, kamu dan ibumu, begitupun dengan Inur dan Dila, sebagai saksi, harus berada di sekolah”.
Setelah dari kantor aku menuju pulang ke rumah, di jalan pulang ,aku melihat Inur dan Dila menunggu di depan gerobak bakso. Tampaknya Meraka sedang menunggu ayahnya Inur yang sedang membeli bakso, “Hai orang miskin, jangan lupa besok ya, kamu siapkan uang ganti rugi, sebesar lima ratus ribu”. Tiba-tiba Inur berbicara sambil memintaku untuk membawa uang ganti untuk besok.
“Bukankah uangnya sudah diambil, kenapa dia meminta uang ganti rugi lagi? Dasar payah, hal begitu saja, dia malas untuk berpikir” gumamku dalam hati sambil berjalan menuju rumah.
***
Sampai di rumah aku tak menceritakannya pada ibu, Melainkan aku hanya mengatakan bahwa ibu disuruh datang ke sekolah, dan harus berada di kantor sekolah jam 8 pagi. Untungnya, ibu langsung mengiyakan tanpa bertanya tanya kenapa ia harus datang ke sekolah.
***
Aku dan ibu udah bersiap untuk berangkat ke sekolah, aku pergi ke sekolah dengan berjalan kaki, jarak dari rumah menuju ke sekolah tidak terlalu jauh, selain tidak memiliki kendaraan seperti yang lainnya, aku dan ibu hanya memerlukan waktu sekitar 10 menit dari rumah ke sekolah.
***
Di kantor kepala sekolah sudah ada Pak Rozali Pak Pendi, Inur dan Dila pastinya, mereka mempersilakan aku dan ibuku duduk. “Ada apa ya Pak?” Ibu bertanya lebih dulu, “Jadi gini bu, maksud pihak sekolah memanggil Ibu ke sekolah, ingin menyampaikan masalah yang menyangkut Ira dan Inur” jawab Pak Pendi, sontak ibu langsung kaget “Masalah apa ya Pak?”. “Masalah apa yang menimpa Ira anak saya?” Ibu bertanya dengan banyak pertanyaan.
Sebenernya Tau
Ibu kaget dan kulihat matanya mulai berkaca-kaca, lalu menatapku dengan tatapan kecewa. “Benar Nak?” tanya Ibu. “Tidak, itu semua bohong dan itu semua adalah akal busuk Inur dan teman-temannya” aku mengatakan apa adanya, jika semua adalah jawaban mereka, mereka pikir aku bodoh malahan mereka yang aku bodohi.”Apa maksudmu mengatakan bahwa ini adalah jebakan, jangan asal tuduh ya” Inur tak terima. Aku mengatakan jika ini adalah jebakan mereka, padahal kenyataannya memang seperti itu.
“Kamu pikir aku tidak tau, sebenarnya aku tau semua kebusukanmu, bahkan di depan Pak jali dan Pak Pendi kamu mengatakan, kamu baik depanku, padahal kamu bohong Inur” Aku menantang perkataan Inur, jelas aku tak mau kalah. “Apa maksudnya Ra?” Pak Pendi bertanya keheranan, “Pak tolong Inur diawasi, dia hanya baik di depan guru, padahal aslinya di belakang dia bagaikan api yang membara, Pak Pendi kebingungan apa yang aku katakan.
“Apa maksudnya Api?” sekarang gantian ibu yang bertanya. “Ibu jangan percaya omongan busuk Inur, sebenernya Inur dan teman-temannya melakukan bullying terhadap aku. Aku tau, Inur berencana menjebakku bersama teman-temannya, aku mendengarnya sendiri, disaat aku lewat di dekat kursinya, dia panik seolah dia takut aku mengetahui rencananya, aku juga tau jebakan Inur adalah menaruh uangnya dalam tasku, sedangkan disaat aku meminta bukti, Inur selalu bilang bahwa, aku sudah tau alur dari rencana mereka”.
“Bener begitu Nur?” tanya Pak Pendi “Ti-tidak Pak” jawab Inur. Dia terlihat takut saat menjawab “Jawab aja Nur, Ayah tidak akan memarahimu” Pak Pendi berkata kepada Inur. “Iy-iya yah,” Inur dan teman-teman merencanakan semua ini. Inur dan teman-teman juga membully Ira, Ayah tidak marah kan?” tanya Rika sambil menunduk. “Ayah tidak marah, Tapi Ayah merasa kecewa. Bisa-bisanya kamu membully anak orang” Ucap Pak Pendi. “Maafkan Inur, Ayah” Inur berkata sambil menangis tersedu-sedu. “Maafkan aku Ra, aku janji tak akan mengulanginya lagi”. “Sudahlah Inur yang penting kamu udah mengatakan sebenarnya terhadap Pak Pendi” ucapku terhadap Inur.
“Maafkan Inur ya Ra” Ucap Pak Pendi terhadapku. “Maafkan anak saya Bu, saya ngerasa gagal dalam mendidiknya, setelah kepergian Ibunya, Inur Jadi berubah drastis, sekali lagi saya minta maaf Bu” kini Pak Pendi meminta maaf kepada ibuku. “Saya sudah memaafkannya Pak, semoga nak Inur kedepannya bisa menjadi lebih baik lagi”.
***
Keesokan harinya, aku melihat Inur duduk sendiri, “Inur, kamu tidak apa-apa?” tanyaku padanya. “Tidak”. “Oh ya kamu duduk sendiri kan? Boleh aku duduk di sampingmu?”. Tiba-tiba Inur duduk di sampingku “Boleh, silakan duduk” Aku mempersilakan, “Terima kasih” Ucap Inur.
Setelah jam istirahat, Inur tidak seperti biasanya. Ia malah ditinggalkan oleh teman-temannya, termasuk Dila yang paling dekat dengan Inur.
“Inur, kalau boleh tau, kamu ada masalah apa dengan mereka sampai mereka meninggalkanmu, bukankah kamu dan teman-teman selalu bersama?”
“Aku sudah tidak berteman lagi sama mereka” Ucap Inur. “Memangnya kamu kenapa tidak berteman lagi?” aku bertanya lagi.
“Sebenarnya, aku hanya boneka mereka, aku terlihat tampak senang di depan umum, itu juga karena mereka yang memaksa dan aku membully kamu itu juga perintah dari mereka” Seketika aku kaget, ternyata Inur begitu karena diperintah oleh temannya.
“Tapi untuk menjebakmu, aku yang merencanakannya, agar mereka berpikir bahwa aku telah masuk hasutan mereka, sebenernya aku tak tega jika harus kamu yang dibully. Namun aku takut jika aku dijauhi oleh mereka, maka dari itu aku ingin menjebakmu, agar aku tak kehilangan teman, sekali lagi maafkan aku Ra” Aku hanya bisa mendengar semua ucapan Inur, aku tak menyangka, ternyata dia seperti ini karna takut kehilangan teman-temannya.
“Sudahlah Ra, yang berlalu biarlah berlalu, sekarang bagaimana kita menghadapi segala macam masalah dalam hidup kita yang kita hadapi mendatang. Lagi pula aku sudah memaafkanmu, sekarang kita sudah berteman”.
“Terimakasih Ra, aku senang memiliki teman baik sepertimu, padahal jelas sudah aku pernah membullymu, bahkan menjebakmu. Tapi, kau masih mau berteman denganku, terima kasih Ra” Inur merasa seneng berteman denganku.
***
Lonceng pulang telah berbunyi, aku dan Inur memutuskan untuk pulang bersama. Saat di jalan tiba-tiba hujan turun, aku tersenyum melihat hujan yang terus mengguyur bumi, Inur mengajak untuk berteduh tapi aku tak mau, aku tak ingin menyia-nyiakan waktu seperti ini, hanya saat hujan aku bisa menenangkan diri.
“Ra, ayo berteduh, nanti kita bisa sakit” Inur mengajakku untuk berteduh namun aku tak mau. “Aku tidak mau nur, ini adalah caraku menenangkan diri, lagi pula besok kita libur sekolah” Inur hanya bergeleng kepala. “Memangnya apa yang membuat kamu menyukai air hujan?” Inur bertanya penasaran. “Aku menyukai air hujan dan itu menjadi candu bagiku, aku bisa menenangkan diri di bawah guyuran air hujan. Rasanya jika aku bermain di bawah guyuran air hujan, aku merasa tenang. Semua permasalahan dan beban yang aku rasa, hilang seketika. Dan aku akan bersedih, ketika hujan telah reda, namun aku tak bisa berbuat apa-apa” jawabku kepada Inur.
“Secandu itukah kamu terhadap air hujan?” Inur bertanya untuk ke-2 kalinya “Jangan ditanya, aku menjadikan air hujan sebagai candu bagiku, aku kecanduan air hujan, sejak seminggu lalu. Apalagi ini musim hujan, aku merasa sangat bahagia jika musim hujan seperti ini” Jawabku lagi.
Inur tersenyum, lalu menghampiriku “Baiklah aku akan menghampirimu”. Aku tak percaya jika Inur ingin menghampiriku “Kamu yakin?” tanyaku. “Mengapa tidak? Jika kamu saja bisa candu terhadap hujan, bagaimana denganku yang punya banyak beban dan masalah, mungkin bisa lebih dari candu. Sungguh benar apa yang kamu katakan, Air hujan bisa membuatku lebih tenang”. Apa yang dikatakan Ira benar.
Dan kini kami berdua tengah asyik menikmati segarnya air hujan sambil menuju ke rumah masing-masing. Hingga sampailah Inur di depan rumahnya dan aku pulang ke rumahku. Dan akhirnya mereka bersahabat dan sama-sama menyukai air hujan.
Sekian
jangan lupa mampir ke koleksi buku- buku dan kitab-kitab di Perpustakaan PPI Maroko dan download langsung PDF nya : https://ppimaroko.or.id/perpustakaan/