Paradigma Seni Doa

Hakikat awal kehidupan makhluk tuhan secara historis selalu tidak luput dari permohonan doa dzat yang membutuhkan kepada Dzat yang menafikan segala ketidakmungkinan. Terbukti semenjak dijatuhkannya vonis hukuman kepada iblis untuk keluar dari surga atas kelaknatan yang diperbuat dalam bentuk pembangkangan sujud kepada adam yang diciptakan dengan tujuan kekhalifahan di bumi, iblis ketika itu memohon doa agar diberikan penangguhan waktu hidup hingga tiba hari kebangkitan dengan tujuan menggoda maniskan manusia dari segala macam penjuru yang ada agar berpaling dari jalan Tuhan yang lurus kepada jalan kesesatan yang dia bawa. Dan Tuhan pun memberikan penangguhan waktu yang diminta. Selang kemudian ketika Adam dan hawa masih menjadi penghuni syurga dengan ikatan peraturan yang berupa larangan untuk tidak mendekati pohon khuldi sedikitpun, apalagi sampai memakannya. Namun keduanya terjebak dengan godaan tipu daya iblis, hingga akhirnya mereka memakan buah itu yang seraya membuat Tuhan murka dan kemudian menurunkannya ke bumi. Keduanya pun seraya mengakui penyesalan atas apa yang diperbuat dengan ungkapan doa yang Tuhan abadikan dalam firman-Nya agar terus dijadikan redaksi pengakuan manusia terhadap kedhaliman yang dilakukan. Baik kepada diri sendiri ataupun orang lain. (Al-A’raf 12-23). Kisah ini menyiratkan makna pesan dari esensi kehidupan makhluk Tuhan yang membutuhkan pengaduan kepada Dzat yang memiliki segalanya tanpa memandang waktu dan keadaannya.

Hidup seiring berjalannya waktu menuntut setiap individu untuk bisa menyesuaikan sikap diri dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi. Mulai dari hal yang terkecil hingga hal yang terbesar. Hidup  dengan segala kompleksitas problematika yang ada didalamnya seringkali tidak disadari secara baik dan tepat dengan wujud mengambil sikap preventif berupa solusi tuntunan agama. Dalam hal ini sebagai utusan Tuhan untuk menyampaikan risalah-Nya, Nabi Muhammad saw. datang meneruskan kembali ajakan kepada Agama Hanif yang dibekali dengan kitab pedoman yang diturunkan kepadanya bagi seluruh umat manusia, al-qur’an.

Visi al-qur’an diturunkan kepada Nabi bukan hanya semata sebagai bahan bacaan tanpa usaha memahami makna kandungannya. Dalam masa dimana manusia haus meraih segala macam keinginan yang dipunya, Al-qur’an menjawab dengan mengabadikan peristiwa yang dialami Nabi Muhammad saw. ketika mendapat undangan khusus untuk menghadap langsung Tuhannya Pada tgl 27 Rajab. Peristiwa itu dikenal dengan nama Isra’ Mi’raj. Jawaban itu tersirat dalam salah satu hikmah dari perjalanan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad yang tidak sedikit individu kurang menyadarinya, yaitu adalah “Doa, Mendoakan dan Meminta Doa”. Ini merupakan seni doa yang Rasulullah ajarkan kepada umatnya untuk membuka semua pintu keinginan apapun.

Hikmah itu terpetik dari segmen pertemuan Nabi Muhammad dan Tuhannya di Sidratul Muntaha. Ketika sampai langit ke-7, Nabi dipersilahkan masuk seraya mengucapkan salam yang terabadikan dalam redaksi tahiyyat yang berbunyi : “At-tahiyyaah Al-mubaarokah As-sholawaah At-thoyyibaah Lillah” (Segala penghormatan, pujian, kebaikan hanyalah untuk-Mu, Duhai Tuhan)”. Lalu Tuhan pun membalas salam tersebut dengan redaksi : “Assalamu’alaika Ayyuha An-nabiyyu wa Rahmatullahi wa barakatuh” (Keselamatan, Rahmat, dan keberkahan-Ku meliputi dirimu, wahai Nabi). Setelah itu hal yang sangat menarik adalah jawaban yang Nabi berikan tidak sama sekali menunjukan sesuatu apapun kecuali perhatian dan kepedulian beliau kepada umatnya. Seraya tidak mengaminkan salam Tuhan tersebut yang esensinya hanya untuk diri beliau pribadi, melainkan masih mengingat umatnya dengan melontarkan jawaban redaksi yang memberikan pengajaran terhebat sepanjang masa. “Assalamu ‘alaina wa ‘ala ‘ibadillahi As-sholihin”. (Salam itu bukan hanya untukku saja, duhai Tuhanku, tetapi untuk seluruh (Umatku) dan segenap hamba-hamba-Mu yang sholih).

Segmen ini memberikan filosofi tersendiri bahwa Rasulullah mengajarkan kita agar bukan hanya memanjatkan permohonan doa untuk diri sendiri, melainkan juga secara khusus selalu membersamainya dengan doa kebaikan bagi orang-orang sekitar. Bukan hanya terbatas keluarga dan saudara, namun guru, pemimpin, dan teman secara umum juga harus selalu didoakan sesuai kebutuhannya masing-masing.

Seni ini diajarkan tentu bukan kosong tanpa adanya keutamaan didalamnya. Selain “Doa” adalah merupakan senjata bagi setiap orang-orang yang diberi keimanan (الدعاء سلاح المؤمن), seni “mendoakan” juga mempunyai keutamaan yang sangat istimewa, yaitu keterlibatan malaikat yang mengaminkan doa tersebut dan kelimpahan doa serupa bagi yang mendoakan. (Muslim no. 4912) Dan tidak berhenti pada dua seni itu, seyogyanya juga kita memainkan seni ketiga yang berupa “permintaan kepada orang lain untuk menyelipkan hajat dan impian kita disetiap doa-doa mereka”.

Hal yang perlu diperhatikan bahwa dalam bentuk interaksi seni saling mendoakan ini bisa membuat diri kita terdorong untuk lebih yakin akan keajaiban doa itu sendiri. Anologinya, ketika pintu Rahmat Tuhan itu begitu luas, maka dibutuhkan banyak ketukan untuk membuka pintu itu. Dan doa adalah alat untuk mengetuk pintu itu. Semakin hajat kita didoakan oleh orang banyak, maka semakin sering pula pintu hajat kita itu diketuk. Dan jika semakin sering pintu hajat kita itu diketuk, maka semakin besar pula kesempatan pintu hajat kita itu akan dibuka. Inilah salah satu kelebihan dari seni ketiga. Selain daripada kelebihan tersebut, seni ini juga memberikan efek pada hilangnya rasa congkak diri terhadap usaha yang diyakini menjadi faktor dikabulkannya hajat tersebut. Biasanya kita selalu merasa bahwa impian yang terkabul adalah berkat doa deras dan usaha keras yang kita lakukan. Namun dengan ikhtiar interaksi saling mendoakan kita diatas, kita tidak akan tahu doa siapa diantara kita yang dikabulkan. Entah fulan ini, fulan itu, atau fulan yang lainnya. Sehingga dari situ akan menghilangkan kesombongan diri yang nantinya bakal berimbas kepada kerugian dan penyesalan.

Sebagai akhir dari tulisan ini, sekiranya ada beberapa point yang harus sama-sama kembali kita yakinkan diri kita pribadi akan sifat kelemahan dan ketidakberdayaannya yang membutuhkan tempat meminta, mengadu dan berkeluh kesah.

Point pertama, bahwa segala impian, cita, dan problematika kehidupan yang kita hadapi sepatutnya ditujukan kepada Dzat yang membuka pintu pencapaian dan solusinya setiap saat. Dengan ini seharusnya kita selalu menjalani hidup ini dengan berparagdimakan seni doa yang diajarkan Rasulullah diatas. Dalam artian benar-benar mutlak meminta, mengadu dan berkeluh kesah hanya kepada Tuhan semata dalam segala impian, cita dan permasalahan pribadi dan orang lain. Mengutip sebuah cerita, Abu Yazid Al-Bisthami, seorang sufi abad III H berkebangsaan persia yang merupakan sufi pertama yang membawa ajaran al-fana, al-baqa, dan ittihad pernah melontarkan statement yang mengagumkan ketika ditanya tentang apa yang beliau inginkan, dengan jawaban lugas dan padat beliau menjawab, Uriidu Anla Uriid (Saya berkeinginan untuk tidak memiliki keinginan). Berbeda dengan saya yang tingkatannya sangat jauh dengan beliau, ketika ditanya tentang pertanyaan itu, maka saya akan menjawab sebaliknya bahwa saya menginginkan segala keinginan. Karena bagi saya, doa-doa yang dipanjatkan kepada Tuhan adalah merupakan bukti adanya keinginan. Semakin besar dan banyak keinginan kita, maka tentu akan semakin mendorong kita untuk sering dan bersungguh-sungguh dalam berdoa. -Seseorang itu tidak seharusnya lagi digugat tentang kuantitas doa yang dipanjatkan. Karena Tuhan ada dengan segala maha keluasan-Nya. Intinya asal kualitas etika doa yang disampaikan itu baik, maka dengan semestinya keinginan itu akan terkabul.- Namun jika tidak memiliki keinginan, lantas untuk apa fungsi doa? besar kemungkinan manusia yang tidak memiliki keinginan nantinya akan berhenti untuk berdoa. Na’udzubillah. Jadi siapapun silahkan berkeinginan apapun! asal pointnya semua itu dikembalikan mutlak hanya kepada Tuhan semata, Dzat dengan segala kemurahan-Nya.

Point kedua, seperti halnya kita sebagai orang yang diberi keimanan meyakini bahwa doa adalah senjata, maka seyogyanya kita menyadari bahwa Tuhan itu takut, khawatir dan cemas jikalau tidak mengabulkan permohonan hamba-hambaNya yang bersungguh-sungguh menengadahkan tangannya. Dengan begitu maka seharusnya tidak ada lagi pemikiran bahwa doa itu tertolak dan tidak ada balasan. Semua doa yang dikirimkan pasti akan kembali kepada sang empunya. Entah kapanpun dan dalam bentuk apapun.

Point ketiga, doa yang telah kita panjatkan tentunya harus bisa menjadi wujud pada fisik kegiatan kita. Jadi ketika kita mendoakan orang lain, maka ada tuntutan dalam diri kita untuk juga membantu orang lain. Ketika sudah begitu, maka ada potensi dalam diri kita untuk menuju predikat manusia yang Baginda Nabi sabdakan dalam haditsnya :

خير الناس أنفعهم للناس .

Semoga kita senantiasa menjadi umat yang selalu menebarkan manfaat.

Tag Post :

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *