Saya menuliskan sedikit opini pribadi yang bersifat tidak absolut (bisa dibantah) dengan pendekatan dari beberapa analisis pribadi saya yang sebenarnya tak perlu dibantah atau diperdebatkan—karena itu hanya pendapat saya—. Siapa saya yang opininya harus dibaca atau dibantah, bahkan jika saya dinilai pro ke satu orang dan kontra ke yang lain, itu sama sekali tidak akan mengubah apa pun.
Saya memulai tulisan ini dengan sedikit mengingat perkataan KH. Zainuddin MZ yang selaras dengan realita yang kita lihat. Beliau menuturkan, “Orang Indonesia itu seperti daun kering, mudah terbakar gampang tersebar”. Terpecah dari hal kecil hingga hal besar, dari perbedaan pendapat bubur diaduk hingga pemimpin yang ideal, gampang terbakar hanya dengan berita yang belum tentu benarnya atau dari “katanya” dan “sepertinya”. Bahkan, sekadar kata “jancok”, orang akan mengucapkan sumpah serapah kepadamu, ibumu, ayahmu, keluargamu, temanmu, mengungkit masa lalumu, menyebarkan aibmu, atau bahkan membunuhmu. Istilah air susu di balas air tuba tidak berlaku di sini, mungkin air tuba dibalas lautan tuba lebih related di sini.
Penyulut api akan dengan senang melemparkan percikan api dan daun-daun akan terbakar dengan sendirinya atau membakarnya dengan obor agama dan politik. Dua senjata yang akan menumpahkan darah dan mungkin akan menjadi sejarah. Agama dijadikan sebagai topeng dibalik sifat ketamakan dan bengis. Politik dijadikan sebagai tambang penghasil emas dan perak. Penyulut api tidak perlu repot-repot menyiapkan obor untuk membakar daun-daun, dia hanya perlu membenturkan dua kubu batu dan api yang akan menyala dengan sendirinya. Penyulut api mendapatkan kehangatan dari kobaran api dan daun-daun yang terbakar akan menjadi abu dan hilang. Risiko terbesarnya, penyulut api akan terbakar dengan kobaran api yang ia nyalakan.
Pengalaman kekecewaan dan ketidakpuasan memberikan pelajaran dan tindakan, nepotisme contohnya. Ia terlahir dari kekecewaan dan ketidakpuasan dari masyarakat kepada pejabat yang mengangkat atau menaikkan jabatan saudara atau keluarga bukan karena kualitasnya, tapi karena tendensi pejabat terhadap nepotisme yang berasal dari nalurinya atau dengan bahasa sederhana, “Saya senang, keluarga aman”.
Kata nepotisme berasal dari kata Latin nepos yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Nepotisme muncul di abad pertengahan ketika para uskup mengangkat keponakan dan saudaranya menjadi kardinal. Bisa dikatakan nepotisme di Indonesia muncul di era kekuasaan Keluarga Cendana. Kekecewaan dan ketidakpuasan rakyat Indonesia tidak bisa tertampung di tahun 1998 dan era baru dimulai. Nepotisme mulai menghilang seiring tenggelamnya Keluarga Cendana, tapi bayang-bayang nepotisme tidak akan pernah hilang meski matahari sudah tenggelam. Hari ini bayangan-bayangan itu sudah kembali menjadi organ yang akan tumbuh, dipelihara, dan dibesarkan di dalam politik. Pengusahaan normalisasi nepotisme menjadi gagasan utama.
Jika tidak bisa berkuasa seumur hidup, maka bagian dariku harus menjadi rantai mencapai keabadian, begitu mungkin cara berpikir menjadi abadi. Kerajaan mulai terbangun di bumi republik, raja-raja di singgasana, pangeran tertawa ria, ratu-ratu memakai perhiasan, para penari dan penjilat berpesta di istana raja. Rakyat berpesta dengan perut lapar dan linangan air mata, suara perut yang mendengkur menjadi irama merdu di malam-malam pesta.
Tak apa yang penting raja senang!
Nepotisme juga tidak seburuk yang saya gambarkan, masih ada titik terang di dalamnya, tapi hanya setitik ingat hanya setitik! Saya akan menggambarkan titik terang nepotisme di mana pondok pesantren akan diwariskan ke anak cucu pengasuh meski Islam sendiri tidak membolehkannya karena pesantren termasuk dari wakaf yang tidak diwarisi dan dijual, lebih tepatnya alih jabatan kepemimpinan. Tapi, apa ini bagian dari nepotisme? Menurut saya, ini bagian dari nepotisme, tapi apa yang membedakan nepotisme pesantren dan politik? Keduanya sama, hanya saja keduanya berbeda dalam kepuasan atau ketidakpuasan. Nepotisme politik dilarang karena dasar ketidakpuasan masyarakat, sedangkan nepotisme pesantren terus eksis karena muncul dari kepuasan warga pesantren. Pesantren akan dialihkan ke saudara atau keluarga pengasuh karena kualitas keluarga pengasuh yang tak terbantahkan, meski sebagian pengasuh memaksakan diri untuk mewariskan ke pewarisnya yang tidak berintegritas dan berkapabilitas. Ini akan terlihat seiring waktu dengan runtuhnya beberapa pondok pesantren. Hal seperti ini tidak mutlak adanya, banyak pesantren yang dialihkan kepemimpinannya pada murid pengasuh yang dianggap mampu mengemban estafet kepemimpinan pesantren.
Nepotisme politik adalah kepentingan keluarga yang dibawa ke dalam pemerintahan. Benar! Mereka menganut paham kesejahteraan bagi seluruh keluarga.
Kesimpulannya, nepotisme adalah satu hama yang menggerogoti demokrasi dan tidak dibenarkan. Nepotisme akan berdampak dalam kinerja institusi, etika kerja, kredibilitas institusi, kemajuan organisasi dan masyarakat, dan menimbulkan ketidakpuasan.
Politik identitas kini marak dibicarakan karena setiap kubu pasti akan mengeluarkan jargonnya untuk menjatuhkan lawannya. Politik identitas merupakan kegiatan politik yang didasari oleh identitas individu baik dari etnis, ras, suku, hingga agama. Identitas ini menyatukan individu yang memiliki latar belakang berbeda. Si paling bola akan membentuk tim bola, si paling motor akan membentuk geng motor, dan si paling musik akan membentuk boyband atau girlband. Semua ini tumbuh melalui naluri perasaan bahwa dia tidak sendirian. Ada banyak orang yang sama dengannya sehingga muncul rasa bahwa mereka adalah aku. Ketika seseorang ditanya siapa perempuan yang paling cantik, dia menjawab, “Ibuku.” Inilah naluri yang ada dalam dirinya.
Orang-orang Bandung akan mendukung Persib dan orang-orang Jakarta akan mendukung Persija. Dukungan ini terlahir dari naluri mereka yang merasa disatukan oleh Bandung dan Jakarta. Situasi seperti ini akan sangat mudah dimanfaatkan serigala berbulu domba untuk memangsa domba-domba di padang rumput dan menyelinap di tengah-tengah kumpulan domba dengan sedikit memaksakan diri untuk memakan rumput agar terlihat sama. Dengan itu, ia akan melahap domba-domba dengan mudah. Serigala mengatasnamakan persamaan untuk mencapai kemauan serta mendoktrin domba-domba agar menjadi serigala.
Sifat fanatisme terhadap kelompok seringkali dianggap normal, padahal fanatisme dapat mengganggu mental seseorang. Fanatisme berasal dari bahasa Latin, yaitu fanaticus atau dalam bahasa Inggris diartikan sebagai frantic yang artinya gila-gilaan. Fanatisme mengakar pada berbagai aspek kehidupan; fanatisme olahraga, publik figur, agama, dan gaya hidup. Fanatisme muncul dari pandangan yang sempit atau close minded. Seorang yang fanatik memiliki perilaku dan perasaan obsesif dan posesif, sulit menerima saran, mudah terpancing amarah, bersikap ekstrem, radikal, dan anarkis.
Sikap fanatik inilah yang menggiring politik identitas menjadi negatif, padahal naluri tidak boleh disalahkan karena memilih siapa yang dia mau dan mencintai siapa yang dia inginkan. Fanatisme menghancurkan itu semua dengan mengharuskan memilih apa yang ia pilih dan mencintai siapa yang ia cintai. Politik identitas dengan fanatisme adalah politik egoisme.
Nepotisme dan fanatisme dibangun dari naluri yang sama, bahkan keduanya dibangun dari cinta. Namun, keduanya didasari oleh naluri yang tidak terkendalikan sehingga menjadi egoisme. Pengkultusan seseorang juga lahir dari naluri melalui cinta berlebihan yang melahirkan ideologi bersumber dari pemahaman orang yang dicintai.
Soekarnoisme merupakan satu dari beribu ideologi yang dianut oleh sebagian masyarakat. Ideologi ini bertujuan untuk mengikuti ajaran-ajaran Bung Karno. Untuk mewarisi Soekarnoisme, pada bulan Bung Karno, Juni 2021, diadakan berbagai diskusi gagasan dan pemikirannya tentang Indonesia. Soekarnoisme mulai dipahami dengan bias, seakan-akan Indonesia dimulai dari Soekarno. Tidak dapat dipungkiri bahwa Soekarno merupakan proklamator kemerdekaan Indonesia, tetapi beliau bukanlah satu-satunya pahlawan yang paling berjasa untuk Indonesia. Jauh sebelum Soekarno lahir, tanah Indonesia sudah subur dengan darah-darah para pejuang.
Mengatasnamakan nama nenek moyang untuk mencapai kekuasaan adalah hal yang paling menjijikkan dalam berpolitik. Sangat penting sekali mengingat sejarah tanpa harus merasa bahwa sejarah itu adalah milik keluarga, seakan-akan jika tidak ada keluarganya negara ini tidak akan merdeka. Jika merdeka dihasilkan dari tangan keluargamu bisakah kita merdeka dari pemikiranmu itu?.
Nepotisme, politik identitas, dan Soekarnoisme akan melekat dalam diri seseorang dan akan menjadi jargon untuk menjatuhkan lawannya. Si A akan menuduh B dengan nepotisme dan si B akan menuduh si C dengan fanatisme, dan terus menjadi rantai pembatalan. Ajang perpecahan akan dimulai, politik kekanakan-kanakan dari elit yang tidak dewasa dalam menyikapi perbedaan lalu merengek untuk mendapatkan apa yang ia inginkan.
Bhinneka Tunggal Ika hanya terpajang di dinding-dinding sekolah tanpa ada implementasi makna darinya. Semboyan itu tidak bisa dipahami oleh masyarakat yang tidak siap menerima perbedaan, fanatik dan tidak objektif dalam menyikapi suatu hal, beropini dengan emosi, dan berdebat dengan omong kosong atau bullshit.
Dewasa dalam berpolitik artinya tidak kekanakan-kanakan dalam menyikapi politik dan menjatuhkan lawan dengan terhormat bukan dengan cacian yang tidak bernilai. Objektif bukan berarti tidak memilih siapa pun dan netral bukan berarti tidak mendukung siapa pun. Netral adalah berdiri di atas pemikiran sendiri dengan pandangan yang objektif. Si A tidak netral karena mendukung si B. Ya, kamu fanatik buta sehingga tidak memberikan kesempatan orang lain memilih pilihannya. Pro dan kontra di sini hal biasa selama tidak memaksakan pro menjadi kontra dan sebaliknya.
Capres dan cawapres bukanlah nabi yang harus dikultuskan dan diterima semua pendapat dan perkataannya. Anda tidak perlu memberikan pembelaan hingga menjatuhkan agama dan harga diri Anda. Manusia akan berubah dan Anda akan kecewa. Dia tidak akan memberikan semua yang Anda inginkan dan mewujudkan semua yang Anda impikan. Pelankan suara Anda, tarik nafas Anda, dan berikan jeda untuk berpikir secara objektif. Simpan cacian Anda yang tidak mendasar karena bisa saja Anda akan memuji orang yang Anda cela, bahkan diri Anda akan menjadi orang lain di hari yang akan datang.
“DALAM POLITIK TIDAK ADA KAWAN SEJATI, TIDAK ADA MUSUH ABADI”.
Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop
Dapatkan Info-info terkini dari PPI Maroko