Oleh: Nujiya Qiysa Qonita
“Nanti ku telepon lagi ya Ras, waktu istirahatku sudah selesai.” kata Arai menutupi percakapan telepon siang ini.
Tanpa ku jawab, telepon sudah dimatikan oleh Arai. Padahal, ceritaku belum selesai. Yasudah tak apa.
Aku Saras, mahasiswi ilmu komunikasi semester 3 universitas swasta yg sedang mengadu nasib di ibu kota. Keseharianku dipadati berbagai kegiatan yang sudah menyerupai padatnya jalanan ibu kota yang tak pernah tidur. Tapi bedanya, aku masih bisa tidur, walaupun dengan curi-curi kesempatan tidur di Busway, Metromini, Kopaja, KRL, angkot atau kendaraan umun lainnya. Padahal aku ingat betul dan tak akan pernah lupa pesan Ayah padaku untuk tidak tidur di kendaraan umum.
Yang tadi itu Arai, sahabatku yang kini tengah melanjutkan studinya di negri matahari terbit. Anaknya sangat mandiri, tapi juga pendiam. Berbeda denganku yang terlalu banyak omong. Waktu pertama kali dengar rencananya ingin melanjutkan studi di luar, aku agak cemas, karena dia seorang yang introvert, aku khawatir dia tak mendapatkan banyak teman. Namun ternyata dugaanku salah, kenyataan berbalik. Kini ia aktif di berbagai macam organisasi dan seringkali ditunjuk untuk menjadi panitia dibeberapa acara. Aku amat bangga padanya. Mungkin memang benar, kita harus keluar dari zona nyaman untuk mendapatkan berbagai macam hal baru. Dari dimensi, lingkungan, pengalaman juga jati diri. Karena menurut buku yang aku baca, katanya nyaman itu jebakan. Ada benarnya juga pernyataan itu.
Kulihat ke arah jam dinding, jarum jam sudah membentuk sudut siku-siku 90°. Alias pukul 3 sore.
Aku segera bergegas untuk pergi menghadiri rapat persiapan acara bakti sosial di yayasan sayap ibu yang akan dimulai pukul 4 nanti.
***
“Aku gak sabar lusa, Ras.” ungkap Dhea kepadaku selepas rapat.
“oiya, kamu udah telepon Kak Tama untuk mastiin kan ?! . ”
“udah, Dhe. Aku langsung suruh Kak Tama ke tempat acara.”
“sip”
***
Esok lusa mungkin akan menjadi hari yang sangat berkesan buatku. Aku dan teman-teman kelasku juga berkerjasama dengan BEM membuat acara bakti sosial di yayasan sayap ibu. Salah satu impianku sejak lama, aku ingin sekali membantu mereka yang sudah tak memiliki keluarga lengkap, atau bahkan mereka yang tak tau dimana keberadaan keluarganya. Aku jadi ingat Arai, walaupun jiwanya introvert tapi ia amat peduli dengan lingkungan. Baginya, semakin sering kita berinteraksi dengan mereka, kita makin memaknai apa arti syukur yang sebenarnya. Pun Arai sering mengajakku untuk sekedar berjalan menelusuri jalanan ibu kota, melihat rakyat kecil yang hanya tinggal beralaskan kardus bekas mesin cuci atau kulkas, guna untuk memperbanyak syukur katanya. Seringkali aku mengeluh padanya, sesering itulah ia mengajakku ke tempat-tempat demikian. Pantaslah Arai tak sering mengeluh.
“Gausah muluk-muluk Ras, coba liat bapak penjual tahu gejrot itu, dia membawa dagangannya dengan cara dipikul di pundaknya. Demi untuk istri dan anak pastinya.” kata Arai waktu itu sambil menunjuk tukang tahu gejrot di sebrang jalan.
Rai, kawan kecil mu ini rindu. Cepat kembali ya. Batinku dalam hati.
***
Sesampai dirumah, aku bergegas untuk bersih-bersih dan bersiap untuk istirahat. Tiba-tiba Arai meneleponku.
‘halo Rai, lagi apa ?.’ kataku girang memulai percakapan.
‘iya Ras, aku baru banget sampe rumah nih, sori ya tadi kamu gak sempet nyelesein cerita kamu soalnya waktu istirahat kerja aku abis. Tau sendiri kan kalau telat bisa berabe.’ jawabnya. Terdengar dari suaranya, ku tahu pasti dia sangat lelah.
‘iyaaa Arai gapapa. Darimana emang kok baru balik ?!.’ For your information jarak Indonesia dan Jepang berkisar 2 jam. Disini jam 9 malam. Berarti disana sekitar jam 11 malam.
‘dari tempat kerja, Ras. Aku lagi coba ambil partime ditempat lain, Vira butuh biaya untuk masuk kuliah kan..’jelasnya.
Tatapanku nanar ke langit-langit kamar. Arai memang wanita yg tangguh. Gumamku. Ayah Arai wafat 2 tahun lalu. Tepat pada saat Arai memasuki 2 tahun studinya di Jepang. Ia ingin kembali ke tanah air untuk membantu ibu nya berkerja. Tapi, soal beasiswa dan kerjasama dari sekolah Arai lah yang tidak memungkinkan hal itu terjadi. Lagipula, ibu nya ingin tetap Arai disana. Syukurnya, beasiswa yang ia dapat lumayan besar. Cukup untuk dikirim ke ibu dan 2 adiknya. Setelah itulah Arai harus menjadi tulang punggung keluarga juga. Arai memilih untuk bekerja paruh waktu, guna memastikan keluarganya dirumah selalu cukup.
‘uhm..iya Rai. Semoga Allah mudahkan jalannya ya. Kalo ada apa-apa bilang aku loh yaa. Yaudah sekarang kamu istirahat aja Rai, aku juga baru balik nih abis rapat untuk acara lusa’
‘iyaaa Ras, siap. Eh bakalan asikk banget pasti acaranya, apalagi kamu yang manage. Hahaha. Yaudah aku istirahat ya Ras. Sukses buat acaranya’
‘ Apaan ngeledek. Haha. Okee. Bye Arai.’
***
Hari itu tiba. Acara bakti sosial akan dilaksanakan mulai jam 10 pagi. Aku sendiri menginap di kos nya Dhea karena lebih dekat dari tempat acara. Pagi ini cerah, seakan semesta mendukung untuk berlangsungnya acara baik ini.
” Udah siap Ras?! Yuk cabut!.” ajak Dhea kepadaku yang tengah mengenakan kokarde tanda panitia.
Kubalas dengan anggukan.
Sesampainya ditempat acara, senyumku langsung merekah lebar. Melihat anak-anak yayasan sayap ibu sudah berkumpul dengan ceria dan duduk manis dibangku yang telah disiapkan. Dengan dekorasi yang menarik, panti asuhan ini jadi terlihat lebih indah berkali-kali lipat.
Alasan apa yang menjadikan dirimu tak pandai bersyukur, Ras ?! Tanyaku pada diriku sendiri.
***
Tak terasa acara bakti sosial sudah selesai. Ada rasa bangga tersendiri pada diri ini saat melihat acara berjalan sukses. Walaupun terdengar seperti acara yang biasa-biasa saja, tapi menurutku dari sana kita bisa mengambil banyak pelajaran. Semakin sadar akan peran sebagai manusia.
Tak terasa juga sudah sebulan Arai tak menguhubungiku, bahkan ia tak juga membalas pesan-pesan ku. Ah, mungkin Arai sedang sibuk dengan kuliah dan kerjanya. Aku pun akan begitu ketika sedang dikejar deadline.
Malam ini aku sedang ingin beristirahat dengan damai. Ingin melanjutkan naskah novel ku yang sudah lama tertunda karena berbagai macam alasanku yang sebenarnya bisa untuk tidak dijadikan alasan.
Ketika sedang mencari berkas riset untu novel ku, tak sengaja aku melihat sebuah file yang sudah lama tak ku sapa. Ku buka file itu dan isinya..
” Dengan kamu tidak mengeluh pun, kami tetap bangga.” pesan putri sulung yang kini telah menjadi seorang ibu dari bayi kembarnya.
” Kapanpun kamu merasa kecewa dengan semesta, tetap ingat Ras, masih banyak yang perlu kamu syukuri dari semesta ini.” ini dari Arai yang kini aku tak tau kabarnya bagaimana. Semoga kau baik-baik saja,Rai.
“Saras ingat pesan Ibu ya..tapi Saras tak perlu stress dan merasa terbebani.”
pipi ku basah, tak kuasa ku menahan ia untuk tak keluar. Terbayang wajah Ibu kala itu. Teduh, teramat teduh. Memelukku hangat, membiarkan ku jatuh sejatuh-jatuhnya dalam pelukkanya.
Beberapa pesan dan dukungan untukku ketika aku tak berhasil menaklukkan universitas yang sudah aku impikan sejak lama itu. Sakit sekali pada saat itu. Ingin rasanya mengutuk diri. Sampai akhirnya, semesta mengirimku kesini. Ke tempat yang darinya aku belajar banyak hal. Jangan tanya mana pesan dan dukungan dari ayahku. Karena ketika ia tahu putri kecilnya ini belum berjodoh dengan kampus impiannya itu, ia langsung mendekat kepadaku kemudian mengecup keningku dan berbisik, ” Tak apa, tak usah bersedih, Ayah tau kamu sudah berusaha, berjuang lagi, kan anak Ayah kuat”.
Benar, rencana ku untuk istirahat dengan damai malam ini terkabul. Setelah menangis karena mengingat masa-masa itu juga rindu pada ‘rumah’ yang tak ada habisnya berhasil membuatku terlelap dengan mudah.
***
Hari-hari berlalu dengan cepat dan meninggalkan berbagai makna yang terkadang tak ku pahami apa maksudnya. Tentang Arai, kabarnya belum ku ketahui juga sampai sekarang. Ini sudah memasuki bulan ketiga setelah dia menelepon ku dua hari sebelum acara bakti sosial kala itu. Aku ingin menghubungi Vira. Tapi aku enggan, aku takut jika membuat cemas Ibu dan adik-adik Arai. Akhirnya ku urungkan niat itu. Namun, aku tetap mencoba mengiriminya pesan. Arai, ada apa dengan mu ? Tak biasanya dia bersikap seperti ini. Tak tahu apa sahabatnya ini sudah membendung berjuta cerita yang ingin dibagikan kepadanya. Ku coba mengirim pesan lagi untuk nya. Semoga kali ini ia membalas.
***
“Dhe, kenapa ya kok Arai belum juga membalas pesanku ?.” tanya ku pada Dhea saat sedang sarapan di kantin kampus.
” hah? Dari tempo hari belum dibalas juga, Ras ?.” jawabnya dengan wajah kaget.
Aku menggeleng. “Kamu udah coba hubungi temannya ?.” sarannya membuatku berkata ‘iya juga ya’ .
Aku terdiam, tak menjawab pertanyaan Dhea. Sedang mencoba mengecek e-mail masuk dari temannya Arai beberapa bulan yang lalu. “Dapet Dhe !” kataku sontak. Setelah men-stroll down banyak e-mail masuk, akhirnya aku dapat alamat e-mail Sandra teman Arai. Ah iya Sandra. Aku lupa namanya. Hehe.
Belum sempat aku mengirim pesan pada Sandra. Malamnya Arai membalas pesanku. Namun aku hancur mendengarnya. Arai sakit.
“Maaf Ras, aku tak membalas pesan-pesan mu, juga tak mengangkat telepon mu, tentunya belum sempat mendengarkan cerita-cerita mu yang aku yakin sudah banyak sekali ya,Ras? . 1 bulan yang lalu aku sakit Ras, aku dirawat kurang lebih 3 minggu. Tapi jangan kau kasih tau Vira apalagi Ibu. Aku tak mau mereka mencemaskan ku. Tenang aja Rah, aku hanya kecapekan. Kau tau kan teman mu ini sebenarnya kuat. Kemarin tentara dalam tubuh ku sedang kalah melawan bakteri yang sudah sangat lama berlatih untuk mengalahkan pertahananku. Overall, aku baik-baik saja Rah, tak usah khawatirkan aku, aku kuat. Do’akan aku selalu ya,Ras. Aku akan menelepon mu ketika waktu ku luang.”
Arai tak kuat. Aku tau itu. Arai hanya selalu bersikap kuat di depan siapa pun. Semoga yang dikatakannya benar, ia hanya sakit karena kelelahan.
Sebelum tidur, tetap kukirimkan pesan kepada Sandra. Juga kepada Vira.
***
“Aku baik kak Saras, Ibu juga sehat Alhamdulillah, Rendra pun demikian. Kak Saras sendiri apa kabar ?! Aku sudah mendengar kabar Kak Aira. Aku tahu kalau dia sakit. Bahkan, aku mendapatkan berita ini sekitar 2 minggu yang lalu, ketika teman kak Aira menghubungi Ibu untuk meminta izin juga meminta data wali kak Aira untuk kak Aira menjalankan operasi. Kami sangat terpukul kak, namun aku tak bisa menangis berlarut-larut, karena Ibu saja kuat menghadapi ini. Seharusnya aku harus membuatnya semakin kuat. Rendra masih tak terlalu paham akan hal ini. Yang ia tahu, kak Aira hanya sakit. Maafkan aku tak mengabarkan kakak ketika aku mendapatkan kabar duka ini. Karena aku tahu betapa akan terpukulnya kakak………..”
Aku tak kuasa untuk meneruskan membacanya. Aku terdiam. Membiarkan semua pertanyaan merasuki jiwaku. Aku masih tak percaya dan bahkan tak ingin menerima. Bulir air mata mulai membasahi pipiku.
Sandra membalas pesanku setelah ku kirimi pesan berikutnya. Benar saja, jawaban Sandra membuatku mengutuk diri. Bagaimana bisa Rai, bahkan aku yang sudah menjadi sahabat mu dari 8 tahun lalu tak tahu apa yang tengah kau rasakan. Belumkah kau menganggap ku tempat bercerita mu, Rai ? Sebegitu cemasnya kah dirimu, Rai? Atau aku yang selama ini egois karena hanya terus menerus meminta agar di dengar ? Tangis ku pecah. Aku bungkam.
***
Arai kembali.
Semaju apapun teknologi pada bidang kedokteran untuk menolong manusia, jika semesta tak mengizinkan ia tertolong, maka tidak akan terjadi. Tandanya, semesta lebih memilih dia untuk kembali. Tak apa, aku paham, Arai orang baik, semesta ingin ia kembali dengan segera. Bantinku menahan tangis, membrontak tak karuan. Tubuhku melemas. Mencoba percaya dan menerima keputusan akhir.
Hal yang ku takutkan setelah Arai tak akan mendapat banyak teman, adalah kepergian Arai. Arai pergi tanpa meninggalkan apapun. Ia pergi begitu saja. Tanpa adanya pesan, wasiat, atau apalah itu. Tapi Rai, kamu harus tau, kita menjadi kuat karena dirimu yang memberi energi itu. Karena mu Rai, aku menjadi paham apa itu syukur dengan sesederhana mungkin. Menjadi tau kita semua harus menjadi kuat. Menjadi tau apa peran menusia yang seutuhnya. Aku akan selalu ingat kata mu Rai, kapanpun aku merasa kecewa dengan semesta, seperti sekarang ini, tapi harus selalu ingat masih banyak yang harus disyukuri dari semesta ini. Seperti syukur ku akan segala nikmat dapat berkenalan dengan mu. Terimakasih Arai.
Aira Rahma Binti Sulaiman Adi.
Kupandangi nisan Arai. Perempuan bernama Aira Rahma yang akhirnya aku panggil dengan sebutan Arai. Tuhan menyayangimu, Rai. Ayah mu sudah tak sabar ingin bertemu dengan mu. Ah, betapa bahagia nya ia memiliki putri seperti mu. Ia tak perlu cemas, anak nya itu mampu menjadi apapun.
***
Hujan turun membasahi bumi. Membasahi tanah milik Arai. Seolah tau, bumi sedang kehilangan sosok hebat. Seolah ikut serta melepas kepergian Arai. Selamat bertemu Ayah, Rai. Selamat jalan.