“Linda, selamat Nak! Kamu dapet peringkat satu lagi. Ibu kasih kamu hadiah wisata mendaki Gunung Cendana ya?, minggu depan sama Mas Arman. Tapi, Ayah sama Ibu gak bisa ikut nak. Ayah harus keluar kota, sedangkan Ibu belum bisa tinggalkan rintisan posyandu ibu. Gapapa ya, Nak? Kamu udah gadis, harus kuat.” jelas sang ibu kepada putri kesayangannya.
“Oke Bu, makasih,” jawab Linda.
Linda namanya, terlahir sebagai anak semata wayang. Ayah dan ibunya adalah orang tua pekerja keras. Mengisi hari-hari masa muda di SMA kelas X, layaknya anak-anak seusianya. Tak ada yang istimewa darinya, selain kecerdasan yang membuat orang terkagum-kagum dan memujinya. Namun ada hal yang dirasa kurang.
Selepas makan malam, Linda termenung mendengar semua itu. Tak terbayang bagaimana ia bisa pergi mendaki untuk pertama kalinya tanpa ditemani ayah-ibu. Belum lagi, Mas Arman, tetangga sebelah yang akan menemaninnya-yang selama ini sikapnya terlihat dingin. Malam itu, Linda berdrama muka menahan seakan dirinya senang mendapat hadiah itu. Ia hanya bisa menahan isak dengan cara uniknya, menghitung 1-10 dalam hati. sampai ia tiba di kamar, tak terasa air mata membasahi pipinya. Ia hanya bisa berusaha memaklumi semuanya. Hingga ia terlelap.
######
“Nak, beli mantelnya online aja ya? Ibu udah pesan yang kualitasnya bagus. Besok mantelnya
dateng. Kalo mau ke mall sama Andre aja. Selama tante Indri keluar kota dia bakal nginep disini.” “Oke, siap Bu!”
“Ibu berangkat dulu ya, Nak?” “Iya, hati-hati Bu!”
Linda memang sudah hampir beranjak tingkat 2 SMA. Akan tetapi, hatinya selalu menuntut Ibu untuk memanjakanya, membelainya dan mengistimewakannya. ia merasa bahwa dirinya seharusnya mendapatkan perlakuan demikian, karena ia anak tunggal. Menurutnya tuntutan untuk bersikap mandiri itu kelak, ketika ia sudah pada jenjang perkuliahan. Mengingat pesan guru BK di kelas, “Kalian itu siswa pilihan. Jadi, kalian pun harus pintar memilah sikap. Toh malu sama umur juga kan? Kalian mau naik kelas 2 SMA loh! Masa iya masih mau seperti anak TK.” Ia enggan memberontak akan semua ini. Ia lebih memilih patuh walaupun hatinya membangkang.
######
“Perjalanan mendaki kita memakan waktu sekitar lima hari. Kenapa lama?!, karena kita termasuk tim yang besar. Kalau anggotanya sedikit , ya paling bisalah sehari atau dua hari,” ujar Ketua guide tim mendaki.
“Kalian udah bawa bekal makanan instant, kan? Nanti kita pastikan ada satu waktu istirahat yg kita makan instan berat. Dan bakal ada piket nyiapin makanan juga yaa. Tugasnya simpel, cuma nyiapin api sama air rebus aja. Piketnya dua-dua-an ya! Langsung aja ya, aku umimin. Wahyu sama Riko, Serli sama Linda, Bayu sama Anang ;” tambah Mba asisten guide.
Tim mendaki yang Linda ikuti memiliki guide ternama dan tepercaya. Mulai dari pengalaman dan pengetahuan luas, hingga fasilitas dan PPPK yang lengkap. Semua kegiatan sudah terstuktur dengan rapi dan jelas. Jumlah anggota tim sekitar sepuluh orang. Dan Linda hanya mengenal Mas Arman, Mas Wahyu; ketua guide, dan Mba Serli; asistenya. Tidak ada yang sebaya dengannya, hampir semuanya mahasiswa. Dan Lindalah yang paling junior diantara mereka.
######
“Gais, air panasnya udah siap!” teriak Mas Wahyu.
Mendengar itu, Linda spontan beranjak menghampiri Mas Arman yang sedari tadi sibuk memotret spot-spot yang ia anggap indah. Dia terlihat lincah dengan kameranya melikak-likuk mencari angel yang pas. Tetangga Linda yang satu ini memang terlihat dingin, namun dia sangat peka terhadap lingkungan. Sejak awal memang itu tujuan utamanya. Dia ingin mengabadikan keindahan sisi lain Gunung Cendana.
“Mas, mau aku ambilin air panas gak Mas?” tanya Linda menawarkan.
“Gak usah, makasih. Nanti aku ambil sendiri aja.” Masih dengan posisi siap mengambil gambar sembari memutar kamera 90°.
“Oke deh, jangan kelamaan entar keburu dingin!” “Iya, bentar lagi!” jawabnya cuek.
######
“Dek, nyalain kayu bakarnya ya. Koreknya disitu. Mba mau ambil energen” “Hngg. Gabisa nyalain korek mba” sahutnya dengan sangat polos. “Mmmm. Riko rik. Bantuin dek Linda nyalain kayu bakar Rik.”
“Oke, siap”
Kali ini jadwal piket masak Linda dan Mba Serli. Bagi Linda menyiapkan air panas saja rumit.
Karena, selama ini ia ke dapur hanya saat lapar dan bertanya “Bi, masak apa?”.
######
Mendaki pertama Linda semua berjalan lancar tanpa ada kendala sedikitpun. Setiap istirahat malam, gelagak tawa menghangatkan suasana hutan yang mulai dingin. Semua orang terlihat menikmati liburan mereka. Hutan terasa hidup, penuh dengan canda tawa dan kecerian. Akan tetapi, tidak bagi Linda.
“Dek?” Mba Serli menyapa.
”Eh, iya Mba?” Linda tersontak dari lamunannya, setelah Mba Linda menepuk bahunya.
“Jangan ngelamun atuh. Pamali loh!” Mba Serli berbisik dengan logat sundanya, menakut- nakuti.
“Hehe, iya Mba, maaf.” jawab Linda singkat.
“Kenapa-kenapa? Ada apa? Kalo ada sesuatu cerita sama Mba.”
Linda mengelak ragu.
“Gakpapa, Mba juga perempuan. Mungkin bisa paham perasaanmu.” Rayu Mba Serli,
meyakinkan.
“Hmmm ” Linda ragu untuk mengungkapkan. Fikirannya kacau, antara iya ataupun tidak.
“Eh, tapi gakpapa kok. Mba gak maksa. Cuman, dari tadi Mba liat kamu murung terus. Mba jadi hawatir. Disini, Mba yang bertanggungjawab atas kamu dan gantiin posisi. ;”
Belum sempat menyelesaikan ucapannya, Linda menyerobot memutuskan untuk berbicara.
“Iya Mba! Aku tau, makasih banyak udah mau nemenin aku.”
“Iya sama-sama Dek, udah jadi kewajiban Mba. Gimana, kok kamu lebih sering keliatan murung!” tegas Mba Serli.
“Mba tau sendiri kan, aku disini yang paling junior. Aku gak nyangka orangtuaku tega menyuruhku pergi berlibur sendiri. Meskipun ayah-ibu sudah menitipkanku ke Mas Arman, tetap saja berbeda. Aku merasa dijauhkan. Mereka terlalu sibuk sama kejaan mereka. Sampai-sampai mengorbankanku.” Jelas Linda.
Tak terasa air mata sudah membasahi pipinya. Ditambah dingin yang menusuk, lengkap sudah isaknya meluap.
“Mmm.., iya Dek. Mba paham perasaanmu. Kamu anak semata wayang ya?” tanya Mba Serli,
menebak.
“Iya Mba.” Jawab Linda singkat.
“Kamu beruntung masih punya orangtua, di luar sana masih banyak saudara kita yang bahkan tidak pernah melihat ayah dan ibunya. Bahkan tidak tau sama sekali siapa orangtuanya.”
Linda menghela nafas panjang, berusaha menerima. Dan dengan kepala tertunduk menghadap ke tanah. Dalam hatinya berkata,”Mba gak pernah ngerasain jadi aku sih. Jadi ya gampang ngomong kaya gitu”. Ia benar-benar berharap malam ini tak pernah ia lalui. Rasanya ingin segera mememluk erat bantal guling kesayangannya.
######
Istirahat kali ini Linda memilih menyendiri sambil mendengarkan musik dan menikmati pemandangan berusaha mencoba menghibur diri.
“Boleh ikut duduk di sini?”
“Eh, iya silahkan. Mmm, ini kak Riko yang kemarin bantu aku nyalain kayu bakar ya?” “Hahaha, iya. Masih inget aja. Eh kamu Linda kan?”
“Iya Kak” jawabnya sambil tersipu malu.
“kok sendirian?. Biasanya sama serli.?”
“ Iya, kebetulan mba nya lagi ada perlu sama Mas Wahyu.” “Oalah, kamu kok lebih keliatan murung. Kenapa?” “Hahaha, kecapean sama heran aja aku kak.”
“Loh, heran?”
“Iya, kenapa manusia suka capek dan terkadang sering dipaksa capek?”
“Hidup itu memang harus berjuang agar kita bisa menikmati surga jerih payahnya, kita semua disini capek kok. Memang apa yang membuat kamu merasa capek banget?.”
“Mm, sebenarnya aku masih belum terima, kenapa orangtuaku ngasih hadiah mendaki tanpa mereka,?” sejenak ia menyesal kenapa dia mau-mau saja bercerita dengannya-tapi, ah gapapa aku yakin kak Riko ini bisa lebih memahamiku-pikirnya.
“Hmm, akupun prernah di posisimu persis. Kamu merasa ga terabaikan kan?”
“lya Kak bener banget.”
“Orangtuaku pun dulu lebih memilih mengurus panti asuhanya, apalagi Bapak. Masa kecilku hanya bisa memanja, gak jarang orangtuaku kewalahan mengurus semuanya. Sampai aku lulus SMP, Bapakku meninggal. Aku sangat terpukul. Aku berusaha keras menerima semuanya. Waktu itu Ibu menenangkanku untuk tetap kuat dan belajar mandiri Ibupun mengatakan bahwa itu luas, bukan sekedar pelajaran di kelas saja bahkan hal kecilpun ada ilmunya dan jagalah lingkunganmu karna itu akan mengajarimu segalanya. Awalnya aku belum bisa terima nasihat Ibu. Aku berusaha keras memahami dan mencerna nasihat ibu. Hampir menjelang 100 hari wafat Bapakku, aku baru sadar. Selama ini Bapakku berusaha keras menghadirkan lingkungan yang amat baik untukku. Wajar juga buat kamu kalau belum bisa mencerna ceritaku tadi. Tapi, mumpung kamu masih di alam terbuka dengan pemandangan yang indah, aku yakin hal ini bisa membuatmu tenang, maka coba renungilah. ”
“Terima kasih banyak, Kak. Cerita Kakak sangat membangunkanku,” sahutnya dengan terbata-bata.
Sedari tadi air mata Linda mengucur deras. Ia benar-benar merasa kesadaranya dipecut oleh cerita Kak Riko. Andai saja kak Riko perempuan, pasti sudah ia peluk erat sebagai tanda terima kasih. Saat itu juga ia mulai berusaha memahami dan menerima semuanya. Dan ia berjanji akan membalas kebaikan Kak Riko kelak entah apapun itu. Tak sabar rasanya Linda ingin segera mencapai puncak seraya berteriak “Ibuuu Ayaaah, Linda rindu….. Linda sayang.”