Luffy, Apa Itu Mimpi

Sebagian orang berkata, “Jangan bermimpi, itu tidak lebih dari sekedar angan-angan belaka.” Namun, ada juga yang berpikiran lain, “Jangan berhenti bermimpi, karena mimpilah yang menumbuhkan asa dan harapan dalam menjalani kehidupan.”

Kurang lebih mimpi adalah ide yang diciptakan dalam fantasi. Mimpi hadir menciptakan harapan dan harapan ada untuk mewujudkannya ke dunia nyata. Dalam menggapai mimpi,  selain berharap dan berusaha, tentu juga harus siap berkorban dan menerima risiko.

Bagaimana? Sudah mempunyai mimpi? Atau masih sibuk mengenali potensi diri?

Pantulan siluet jingga mewarnai bola mataku yang tiada jenuh memandangi bentangan Samudra Atlantik. Semilir angin lembut yang menyapu wajah membuat mataku sedikit menyipit,  jilbab abu-abuku pun menari mengikuti arahnya.

Sahutan burung-burung camar ditemani irama ombak yang membentur batu karang, membuat pikiranku ikut bergelut antara rasa tenang dan ramai. Setiap kali merasakan suasana ini, batinku saling bersahutan membahas tentang berbagai petualangan dan perjuangan Luffy dalam misi mengejar mimpi sambil mengarungi lautan.

“Bukannya Luffy itu animasi?” Benar. Namun, di dalamnya banyak menyampaikan pesan moral yang relate dengan kehidupan; solidaritas persahabatan, kepercayaan, tekad dalam memperjuangkan impian, mengatasi masalah ataupun rintangan, politik, dan masih banyak lagi. Aku selalu membayangkan menjadi salah satu kru topi jerami, pasti menyenangkan, bukan?

Aku menarik napas dalam-dalam, menikmati aroma laut yang selalu khas. Sepertinya alga (organisme sederhana yang menghasilkan senyawa DMS)di perairan ini cukup banyak. Aromanya lumayan menyengat. Dari kejauhan, aku juga bisa melihat bayangan kapal-kapal besar yang semakin buram tertutup kabut. Hati pun bertanya-tanya, apakah suasana di kapal itu sama seperti yang aku lihat di One Piece? Penuh warna dan canda tawa, atau malah sebaliknya? Kita semua tahu, risiko seorang pelaut sangat besar. Tidak, lebih tepatnya para pemimpi memang kudu berani mengambil risiko. “If you don’t take risk, you can’t create the future,” begitu kata Luffy. Lol.

Kembali aku melanjutkan semadiku, bergumam sekaligus berharap agar bisa meng-upgrade diri. Dipikir-pikir, mimpi itu keren juga, ya. Saat pertama kali didengar akan membuat orang tertawa (saking tidak masuk akalnya). Namun, beberapa detik kemudian akan membuat orang terdiam (kagum) dan mulai menciptakan mimpinya sendiri.

Aku tertawa sejenak mengingat bagaimana ekspresi bodohku saat menertawai mimpi yang dituturkan temanku dulu. Mimpinya memang terdengar gila dan kuno karena saat itu aku belum mengetahui apa itu mimpi. Herannya, temanku tidak menanggapi sikap jengkelku saat itu, ia hanya menepuk pundakku dan berkata, “Aku tidak sabar mendengar mimpimu yang sepertinya akan lebih gila dari mimpiku.”

Kedua mataku berkedip cepat saat merasakan percikan air laut yang ternyata semakin kuat sampai membasahi wajah. Percakapan dua tahun silam itu membuatku termenung sesaat. Mimpi apa yang sebenarnya akan terdengar lebih gila? Diriku saja tidak seambisius Luffy, juga tak sepintar Nami. Ah, sepertinya sekarang pun aku belum pantas disebut pemimpi.

Tiba-tiba saja terdengar gemuruh yang berasal dari perutku. Berpikir tentang mimpi ternyata membuatku cepat lapar. Tadi sebelum memandang laut, aku sempat melewati beberapa pedagang camilan. Hm, aku ingin makan apa?

Seketika indra penciumanku menangkap sebuah aroma kuat yang bahkan menandingi aroma laut. Tak salah lagi, ini aroma jagung rebus! Aku pun menghampiri salah satu penjual yang paling dekat dari posisiku sekarang.

“Salam.”

Aku menyapa dengan hangat. Namun, tidak ada jawaban. Kuulangi sekali lagi dengan nada yang lebih keras. Masih sama, tidak ada jawaban. Sang penjual terlihat duduk tenang di balik gerobak jagungnya. Sedikit penasaran, akhirnya aku memanjangkan leher berharap bisa melihat keadaan sang penjual.

Apakah dia tertidur?

Wah, sepertinya dia memang tidak bisa diganggu, tapi dia tidak tidur. Tangan kanannya penuh dengan balok-balok hitam, sedangkan tangan kirinya sibuk menyeimbangkan papan kayu yang sedang dipangkunya.

“Pak, apa itu? Arang?”

Sang penjual sontak bangkit dari duduknya, bukan menjawab pertanyaanku, tapi dia malah meminta maaf dan langsung melayaniku.

“Berapa (jagung) yang kamu inginkan?” tanyanya.

Aku hanya diam, memberi jawaban dengan isyarat telunjuk. Aku masih memandangi karya indahnya yang terukir di atas papan kayu itu. Kaligrafi dengan arang? It’s fantastic! Wajar saja suaraku tidak terdengar, selain ramai dengan suara angin dan ombak, pak tua ini juga sedang fokus hanyut dalam karyanya.

“Pak, apakah kamu ingin menjadi kaligrafer terkenal?”

“Harganya lima dirham,” jawabnya dengan menjulurkan jagung ke hadapanku.

Yang benar saja, pak tua ini tidak mendengar pertanyaanku atau memang sengaja tak ingin menjawabnya? Aku meraih uang receh lima dirham di kantong celanaku dengan sedikit kesal.

“Pak, karyamu ini terbilang cukup langka dan unik, lho, pasti nanti bisa dipajang di museum seni. Kamu akan dikontrak dan bisa menghasilkan banyak uang,”  ujarku saat menerima jagung rebus.

Entah apa yang salah dari ucapanku. Pak tua itu dengan renyahnya tertawa.

“Terima kasih atas saranmu, Nak, tapi mimpiku lebih dari itu.”

Merasa tertantang membahas mimpi, akhirnya aku memutuskan untuk memperpanjang topik dengannya. Sebagai pribadi yang memiliki ketertarikan sama (tentang seni) dengannya, kupikir mimpi kami tidak jauh berbeda.

“Kenapa memilih arang? Andai dikreasikan dengan pena kaligrafi, itu akan jauh lebih bagus, lho, Pak! Tentu saja akan laris! Namamu juga akan dikenal oleh para seniman lainnya.“ Lagi-lagi aku membahas sesuatu yang membuatnya tertawa.

“Hahaha. Nak, apakah definisi seni di matamu hanya sebatas bisnis atau ketenaran semata?”

Aku diam sejenak, mengunyah barisan biji jagung yang telah tergigit setelah memberi saran tadi. Lah, Apa dia tidak sependapat denganku?

“Dengar, Nak. Dulu aku juga menjual jagung bakar. Kamu bertanya kenapa aku memilih untuk menggunakan arang daripada alat kaligrafi yang sebenarnya? Jawabannya ada pada ucapanmu selanjutnya, ‘Tentu saja akan laris’. Alasanku membuat dan mempelajari karya ini bukan untuk bisnis, makanya tak perlu menggunakan alat mahal, walaupun harus mengorbankan jagung bakar ini, sih. Hahaha.”

Aku baru sadar. Dia merelakan arang-arang itu beralihfungsi sebagai pengorbanan karena minat orang-orang terhadap jagung bakar harusnya lebih banyak daripada jagung rebus.

“Pak, memangnya mimpimu seperti apa?” tanyaku nyinyir. Aku sangat penasaran dengan jawabannya.

“Simpel saja, melestarikan seni. Aku mempelajarinya untuk diajarkan kembali kepada anak-anak kecil atau pemuda seumuranmu. Siapa tahu salah satu dari mereka nanti akan menjadi penjahit kiswah (penutup) ka’bah atau kaligrafer Masjid Nabawi. Paling sederhananya, dia bisa menjadi penulis mushaf. Tak perlu menjadi sempurna, kita manusia hanya dituntut untuk menjadi berguna.”

Wow! Tak kusangka penjual jagung bakar memiliki mimpi yang cukup mengesankan. Andai aku berada pada film animasi, mungkin saat ini mataku ditempeli stiker bintang.

“Aku tidak memungkiri fakta bahwa kreatifitas anak muda zaman sekarang memang terbilang apik dan keren. Namun, masih sedikit dari mereka yang berminat mempelajari seni di bidang ini. Sebagai muslim, tentu inilah jalan teraman dalam seni.  Apakah kamu menyadari hal itu?” tanya pak tua setelah panjang lebar membahas mimpinya.

Aku menganggukkan kepala sedikit ragu sambil berpikir lebih dalam makna dari “teraman” tadi. Ya, aku memahaminya. Akhir-akhir ini aku memilih vakum dalam melanjutkan aktivitas seni. Ilustrasi dan sketsa yang kuarungi terhalang hukum syariat. Apakah kamu pernah mendengar larangan menggambar makhluk hidup bernyawa? Kurang lebih hal itu yang kukhawatirkan.

“Pak, apakah karya muridmu juga menggunakan arang sepertimu?”

Pak tua menggeleng pelan. Ia meraih kembali papan dan balok arang lalu melanjutkan karyanya. “Arang-arang ini hanya kupakai saat berlatih. Aku menggunakan kapur untuk mengajar dan muridku menggunakan pensil atau spidol, seperti pada umumnya,” ujarnya. Untuk kesekian kalinya aku kembali menggigit barisan jagung yang meskipun sudah terasa dingin, tetapi masih beraroma kuat.

“Jadi, Nak, apa mimpimu? Apakah kamu tidak mau berbagi denganku?”

Aku spontan terbatuk-batuk karena tersedak mendengar pertanyaan dari pak tua.

“Hehe, kurasa mimpi itu harus penuh dengan perencanaan, keberanian, dan keyakinan, bukan? Aku masih belum memulai ketiganya. Mungkin masih ragu atau.. ekhm, takut?”

Pak tua tak merespon apa pun. Entah dia mendengarkanku atau tidak. Tangannya kembali lihai mengukir aksara Arab di atas papan kayu tadi—seolah kembali fokus dan tidak ingin diganggu—.  Ya sudahlah, kupikir sudah saatnya aku pergi.

Aku meninggalkan gerobak jagung itu tanpa berpamitan sambil sibuk membersihkan biji-biji jagung yang mulai merenggang. Pak tua itu memang menyebalkan, dia bertanya, tapi tidak mendengarkan jawabanku. Setelah beberapa langkah, tiba-tiba saja aku merasakan atmosfer yang berbeda dari sebelumnya. Sekilas seperti ada bayangan yang terlihat familiar dengan tiga pedang terbungkus haramaki hijau di pinggangnya berpapasan denganku.

“Hei, Nona bertudung abu-abu! Ketika ada keraguan dalam dirimu, hilangkanlah sebelum keraguan itu menebasmu. Jika kamu tidak mencoba, maka kamu tidak akan tahu hasilnya seperti apa. Lagi pula, nanti kita akan mati, kenapa tidak kamu coba dengan serius dan bersungguh-sungguh?” ujarnya dengan suara berat nan rendah, membuatku merinding sekaligus membatu. Eh, orang itu bicara denganku, bukan?

“Hahaha. Hei, nona. Jangan pernah melupakan tujuanmu, tak peduli seberapa sulit atau mustahilnya itu. Hidup itu harus memilih. Ketika kamu tidak memilih, ya itu pilihanmu. Hahaha. Semangat, ya! Aduh! Topi jeramiku hampir terbang tertiup angin.”

Kali ini aku tersadar, tidak lagi membatu. Suara itu? Bukankah..

“Luffy? Zo-“

Kosong. Tidak ada siapa pun di samping atau di belakangku.

“Ya ampun, tadi aku bicara dengan siapa? Mana mungkin juga mereka disini?” Hampir saja aku menangis terharu dan malu, tapi bukannya lebih aneh lagi jika aku melakukan itu?

Aku harus segera pulang karena hari sudah mulai gelap. Aku khawatir imajinasiku akan semakin parah nantinya.

Nantikan promo-promo menarik di PPI Shop

Dapatkan Info-info terkini dari PPI Maroko

Tag Post :
Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *