LAILA MAJNUN DARI CIREBON

Legenda Baridin merupakan cerminan dari keegoisan manusia yang mengakibatkan sakit hati yang perih. Baridin dikisahkan menjadi seorang jejaka yang terlewat usia karena selalu menunda masa lajangnya. Ia menyadari usianya memang sudah bukan remaja lagi. Namun kondisi perekonomian yang dialami semenjak ayahnya meninggal,tak kujung selesai. Baridin lebih memilih membantu ibunya, Mbok Wangsih, menjadi buruh tani. Hidup berdua dengan seorang ibu yang memilih jadi janda untuk membesarkan anak semata wayangnya Baridin. Mbok Wangsih hanya ditinggali rumah gubuk yang sederhana, di pinggiran sungai dengan beberapa pohon pisang. Selain beburuh tandur (buruh tani) Mbok Wangsih mendidik Baridin untuk bisa membantu hidupnya. Jadilah Baridin tukang mluku (pembajak sawah). Modal kesehariannya adalah weluku (alat bajak) peninggalan bapaknya. Adapun kerbau untuk menarik bajaknya ia pinjam dari orang lain.

Suatu hari Mang Bun (Bunawas) memberinya tugas untuk membajak sawahnya yang ada di perbatasan. Sebagai tanda pengikat Baridin memperoleh nasi tumpeng dan bekakak ayam, juga wang bayaran. Usai sarapan pagi berangkatlah Baridin ke arah sawah milik Mang Bunawas. Di lain desa, Keluarga Bapak Dam (H. Damuri) yang kaya raya, sombong, angkuh dan pelit, hidup bersama anak gadis semata wayangnya yang bernama Suratminah (dipanggil Ratminah). Bapak Dam, pagi itu melepas Ratminah pergi ke pasar untuk berbelanja memenuhi kebutuhan hidupnya. Di jalan sebelum masuk area pasar, Ratminah digoda beberapa pemuda brandalan yang memuji kecantikannya dengan harapan disambut baik, Tapi Suratminah malah menghardik mereka. Dengan keangkuhan dan kepercayaan diri sebagai wanita anak orang terkaya di desanya. Ratminah berhasil melawan gangguan usil anak-anak berandalan itu. Namun niatnya berbelanja justru tertunda. Hingga siang hari ia dikesalakan terus menerus meladeni kekurangajaran para brandalan dan ditambah lagi dengan munculnya Baridin yang mengajak berkenalan sembari memanggul weluku. Kehadiran Baridin yang berlagak menanyakan arah menuju Sawah Mang Bunawas, membuat kesal para berandalan yang sedang asik mengganggu Ratminah sembari berpantun. Baridin rupanya tak puas dengan bertanya pada anak-anak pemuda brandalan, ia juga bertanya sembari berusaha mengenalkan diri pada gadis cantik yang membuatnya terpana dan ingin berkenalan. Pertemuannya dengan Suratminah menimbulkan gejolak asmaranya ia jatuh cinta. Dan Baridin pun berusaha merayu dengan tembang dan sanjungan. Namun suratminah dengan seenaknya membolak-balikkan perkataan baridin sembari mengejeknya, karena Baridin seolah tidak bercermin kalau dirinya seorang pemuda miskin, dengan pakaian compang camping dan celana rombeng dan bau tubuh pengak keringat seorang petani. Gara-gara pertemuannya dengan pemuda brandalan dan kesalnya terhadap Baridin, Ratminahpun akhirnya gagal berbelanja. Ia menjadi kesal dan pulang. Begitu juga Baridin. Ia gagal berangkat ke sawah Mang Bun dan Baridin pun pulang kembali ke rumah. Ibunya kaget melihat kedatangan Baridin. Selain masih siang, persoalannya juga karena uang bayarannya sudah diterima dan nasi tumpengnya sudah habis dimakan sementara Weluku milik Baridin masih kering. Baridin hanya terdiam, ia malah asyik melamun. Membayangkan pertemuannya dengan Suratminah saat berkenalan di jalan Pasar kota Brebes. Ia lupa dengan yang ditanyakan ibunya. Bahkan saat Mang Bun datang menanyakan kenapa Baridin gagal menggarap sawahnya. Baridin dengan santai saja menjawabnya. “Kalau sabar ya besok dikerjakan,” jawabnya. Mang Bun akhirnya meminta agar uang dan nasi tumpengnya dikembalikan. Baridin dengan santai pula meminta agar ibunya mengembalikan. Ibunya gelisah bagaimana mengembalikannya, nasinya sudah habis dimakan Uang sudah dibelanjakan. Baridin pun dengan santai pula menjawab ; “kalau tak ada ya gunakan sarungnya saja sebagai jaminan”. Mang Bun akhirnya menerima saja Sarung Baridin sebagai jaminan meski sarungnya apek dan sudah buluk (lapuk).

Sepeninggal Mang Bunawas, Mbok wangsih merasa malu atas ulah anaknya yang cepat sekali berubah. Namun ia agak girang juga manakala Baridin berterus terang bahwa dirinya tengah jatuh cinta pada seorang wanita dan ia menginginkan gadis pujaannya itu menjadi istrinya. Bayangan Mbok wangsih, ia bakal bisa menimang cucu dan rumahnya semakin ramai dengan suara menantu dan cucunya kelak. Namun mbok Wangsih kaget bukan kepalang manakala tahu perempuan yang menimbulkan anaknya terpincut itu seorang gadis kaum berada dan anak orang kaya. Saking cinta dan sayangnya pada Baridin, Mbok Wangsih pun tak kuasa menolak permintaan anaknya untuk melamar Suratminah binti Bapak Dam, berbekal pisang hasil imbuhannya dari pohon pisang di samping rumahnya. Mbok wangsih berangkat menuju rumah Bapak Dam dengan petunjuk arah dari Baridin putra terkasihnya.

Di rumah Bapak Dam, Bapak Dam bingung dengan kepulangan anak perempuannya dengan wajah cemberut tanpa hasil belanjaan dan memulangkan kembali uang pemberiannya. Saat ditanya berbagai hal Ratminah yang masih kesal dengan anak-anak pemuda tak menjawab. Apalgi jika mengenang nama Baridin yang tiba-tiba jatuh cinta dan mengutarakan hasrat rasa hatinya itu kepadanya. Ratminah merasa pusing dan menyimpan kesan tersendiri dengan pemuda bernama Baridin yang lucu, lugu dan konyol itu. Namun dia harus tetap angkuh untuk menunjukkan status sosialnya sebagai anak orang kaya. Sampai kemudian Datang secara bergantian para pelamar yang disambut dengan keceriaan Bapak Dam. Maklum ia sudah merindukan anak perempuannya menikah. Sayangnya setiap kali datang pelamar setiap kali itu juga Ratminah menolaknya. Bahkan sampai pada kegelian dimana semua pelamar yang di tolak berkumpul, diantaranya Dalang tarling, Saudagar, Juragan, dan sopir. Mereka secara bersama-sama menyerang dengan ejekan dan hujatan pada Ratminah dan bapaknya. Dasar orang kaya yang berkuasa. Bapak Dam dan Suratminah, berhasil mengusir semua lelaki yang gagal melamar anaknya itu. Akan tetapi baru saja mereka hendak masuk ke ruang tengah, terdengar rumah diketuk oleh seorang wanita sembari terheran-heran dengan kemewahan rumah bapak Dam. Bangunan, taman Sangkar perkutut dan Bopi anjing milik Bapak Dam, Suratminah mengira perempuan itu adalah pengemis yang datang. Suratminahpun membuka pintu dan langsung memberi sedekah. Tapi ditolak oleh perempuan yang datang. Perempuan yang bernama Mbok Wangsih itu malah tertegun dengan kecantikan Suratminah. Pantaslah jika Baridin anak semata wayangnya terpesona dan ingin sekali meminang untuk dijadikan istrinya. Akhirnya Suratminah memanggil bapaknya mendengar perempuan yang datang itu punya tujuan pribadi, bukan hendak mengemis. Bapak Dam jadi bertambah kesal dengan laporan Suratminah. Baru saja ia dikesalkan dengan ulah arogan para pelamar yang ditolak anaknya, eh datang lagi perempuan aneh. Semakin bertambah kesal dan jengkel pula bapak Dam manakala Mbok Wangsih dengan jujur mengutarakan hasratnya untuk melamar Suratminah untuk putra yang dicintainya Baridin.

Mendengar apa yang dimaksud Mbok Wangsih, Bapak Dam dengan serta merta menghina, mengejek kemiskinan mbok Wangsih. Dengan hanya membawa pisang setundun, hendak melamar anaknya. Selain tertawa, bapak Dam, pun dengan keras menolak dan mengumpat atas kelancangan Mbok Wangsih. Namun Mbok Wangsih memaksa minta agar lamaranya diterima, demi anak kesayangannya Baridin. Mbok Wangsih pun meminta agar Surtaminah menjawab permohonannya. Jika Bapak Dam sebelumnya telah menolak dan menghina dirinya Mbok Wangsih masih maklum. Namun setelah mendengar jawaban Suratminah yang menolak lamaran bahkan dengan keras ia menendangnya, serta meludahi mukanya sembari melemparkan pisang bawaan ke tubuhnya. Mbok wangsih menjadi sakit hati dan perasaannya terkoyak. Ia menyalahkan Baridin yang tidak mau bercermin terebih dahulu sebelum menentukan keinginannya. Dengan tubuh lunglai dan hati yang robek Mbok Wangsih meninggalkan rumah bapak Dam. Dengan pikiran kesal dan penuh kemarahan pada Baridin.

Di rumah gubug bambu beratap rumbia, Baridin menatap langit bercahaya rembulan dengan keindahan semburat merah yang memancar bagai impian dan harapannya yang berpendaran di kepalanya. Sedang asyik melamun hingga ke puncak harapannya dapat menikahi gadis pujaannya Suratminah berkat usah Ibunya yang kini tengah berangkat seharian melamar dan belum pulang. Baridin dikejutkan dengan kedatangan Ibunya yang kembali dengan wajah sedih dan buntelan pisang yang masih utuh. Baridin pun bertanya, barangkali saja ibunya kecapean karena tidak berhasil menemukan rumah Suratminah. Namun apa yang dikiranya justru terbalik. Ibunya ternyata gagal dalam upaya melamar Suratminah menjadi istrinya. Baridin tertegun dengan apa yang diceritakan ibunya. Ungkapan marah dan keperihan hati ibunya masih bisa diterima oleh Baridin, karena ia mengakui kemiskinan yang menjerat hidupnya. Namun sikap angkuh Bapak Dam dan Suratminah yang tak disangka berani menghina dan meludahi wajah ibunya, justru yang membuat Baridin menjadi ikut sakit dan mendadak sontak ia rubah cintanya menjadi benci, kemarahan dan dendam yang tak tertahankan. Ditambah lagi manakala mbok Wangsih mengusirnya, karena merasa dipermalukan oleh sikap tolol Baridin. Mbok Wangsih dengan kemarahan yang meluap dengan tega malam itu mengusir Baridin dari rumah. Mbok Wangsih merasa malu dengan sikap anaknya yang tak mempertimbangkan kondisi kemiskinan dan kemelaratan yang melanda keluarganya.

Baridin, sembari menahan tangis dan batin yang tersayat, terus berjalan di kegelapan malam. Ia meninggalkan ibu dan rumahnya. Baridin berjalan sampai jauh ke arah Kulon, sembari mengumbar dendamnya. Sampai kemudian ia bertemu dengan sahabat karibnya. Sahabat Karib Baridin bernama Gemblung Binulung (Meski punya wajah seperti orang gemblung tapi suka menulung/menolong). Gemblung ikut prihatin atas nasib sahabatnya Baridin. Kembali ia berniat menolong meredakan api cinta Baridin pada Suratminah. Baridin hampir tidak percaya jikalau Gemblung sahabatnya yang berwajah bloon itu dapat memberikan pertolongan pada nasibnya yang sial. Tapi setelah gemblung mengatakan memiliki ajian peninggalan mendiang bapaknya, dan Baridin membaca sebuah rapalan dari kertas tua dengan judul Ajian Kemat Jaran Guyang, ia pun percaya. Atas nasehat sahabatnya itu Baridinpun pun kemudian ditugasi mandi keramas, lalu melakukan niat berpuasa pati geni selam 40 hari empat puluh malam dengan membaca niat di malam kelahirannya berkisar pukul 12 malam.

Malam itu dalam keremangan, suasana yang sunyi. Baridin Merapalkan Ajian Kemat Jaran Guyang. Alam tiba-tiba bergetar. Langit memunculkan udara panas. Bau kemenyan yang lemah merambah ke mana-mana. Orang yang terasa terbangun dari tidurnya. Ia yang lemah imannya dan yang dalam hidupnya selalu sombong bhakan kerap berlaku angkuh, malam itu dibangunkan dari tidur. Di rumah Bapak Dam, menjelang jam satu. Ia dikesalkan dengan bunyi tokek yang berulang-ulang. Kekesalan dikarenakan saat dihitung suara tokek itu, jatuhnya pada hitungan miskin. Begitu juga saat dibalik tetap saja jatuhnya di hitungan miskin. Begitu juga disaat Tukang Tongprek/ronda lewat tengah malam yang merasa aneh. Pagi hari kekesalan terus bermunculan. Bapak Dam kaget dengan ulah Ratminah yang malas-malasan dan sedikit-sedikit tertawa dan cengengesan sendiri sambil mengucap dan menyebut-nyebut Kang Baridin. Dan Bapak Dam tak mengerti siapa itu Baridin. Kekesalan Bapak Dam, semakin bertambah saat menyuruhi Ratminah merebus air, setelah ditunggu lama ia muncul membawa golok. Saat disuruh mandi dia malah diam sendiri. Lagi-lagi Ratminah menyebut kata Kang Baridin secara berulang-ulang. Bapak Dam tambah bingung manakala anaknya berdandan dengan pakaian yang jelek dengan rambut diuraikan tak teratur dan keluar rumah sembari bertanya pada tetangga tetangganya dimana Kang Baridin. Ratminah terus berjalan dan semakin jauh meninggalkan rumah dan bapaknya. Ia berjalan, berlari seperti kuda yang tak kenal lelah. Ia berlari sembari berteriak-teriak menyebut Kang Baridin. Ratminah lupa makan dan minum. Ia terus meneriakkan keinginannya bertemu kang Baridin Ratminah terguncang jiwanya. Sikapnya berubah labil. Dia selalu memuja Baridin dan berjalan sembari mengundang nama Baridin. Ia menjadi tertawaan anak-anak karena dia memang layak disebut Wong Edan.

Singkat cerita, Bapak Dam pun seketika jatuh miskin. Uangnya dihambur-hamburkan untuk memberi upah pada tetangga dan orang-orang yang mengaku bisa menyembuhkan Ratminah dan siap mencari Suratminah. Namun tidak ada yang berhasil. Di Desa Jagapura Baridin tengah bekerja membajak sawah sembari menggerakkan Kerbaunya, Baridin bernyanyi mengenang hati sanubarinya yang perih dan merana. Ia masih juga puasa dan belum mau berbuka, sebelum melihat dengan kepala sendiri hasil ajian yang dilakoni atas petunjuk sahabatnya gemblung Binulung. Sampai pada suatu hari Suratminah datang. Di pinggiran sawah yang tengah digarap Baridin wanita itu menangis. Wajahnya yang cantik terbaur dengan debu jalanan. Bajunya compang camping penuh debu dan bau lumpur akibat perjalanan jauh. Suaranya kian serak memanggil manggil berjuta kali, nama Kang Baridin. Ia menangis di kaki Baridin, sembari meminta maaf. Namun Baridin dengan tegar, hanya terdiam. Belum mengeluarkan kata maaf, karena Baridin malah menyalahkan sikap buruk dan kesombongan Suratminah dan Bapaknya yang menghina Ibu yang dicintainya, Mbok Wangsih. Ratminah akhirnya tak kuat lagi menahan cinta dan kasihnya. Ia peluk Baridin dengan kekuatan yang trsisa, saat itu juga Ratminah merobohkan tubuhnya yang lemas, ia meninggal dunia. Baridin tersentak. Sore harinya menjelang maghrib usai tahlillan, Baridin mendadak terjatuh tak kuat dengan kondisi tubuhnya yang lemah. Niatnya hendak berbuka puasa selepas magrib pun gagal. Ia pun meninggal dengan tubuh meluruk di atas tanah di hadapan majelis tahlil. Esok harinya masyarakat Desa Panguragan menguburkan Baridin di samping kuburan Suratminah.

Tag Post :
Minggu-an Menulis

Bagikan Artikel ini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *