Oleh : Yusuf Muhtadi
“ salam kang, gimana kabarnya ..?” tanya Kang Ma’mun masih dengan kitab ditangannya, ia baru pulang dari madrasah, Kang Ma’mun santri paling tua diangkatan kami tapi jiwa mutholaahnya paling tinggi tak kenal loyo.
“ alhamdulillah kang sehat, pesen kopi Kang !” jawab Kang Nardi santri asal purwodadi yang juga sama tuannya, tapi Kang Nardi lebih muda dua tahun dari Kang Ma’mun. Inilah aktifitas tambahan kami disela-sela kesibukan mengaji. kumpul diwarung ‘kopi eco’. Warung depan pondok yang jadi tempat ngumpul santri, ada yang melepaskan kegelisahan, curhat pribadi, ada yang meneruskan diskusi, adu gagasan, dan adapula yang ngobrol tak berarah, kami disini satu alasan yang sama yaitu menikmati jam istirahat.
“ lagi rame berita apa nih Min ? ” tanya Kang Ma’mun menghadap saya, begitu biasa Kang Ma’mun memanggil Parmin nama asli saya ehmmm. Ya karena saya lebih muda dari Kang Nardi enam tahun dan tepat besok ulang tahun saya yang kedua puluh. Meski usia kami berbeda tapi kami satu misi dan satu kelas, begitulah pesantren mendidik kami belajar bergaul dengan siapa saja tanpa memandang dzohirnya, usia tak menyurutkan semangat dalam mencari ilmu.
“ ini Kang Ma’mun berita dikoran lagi rame, katanya 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri Nasional, penghormatan pemerintah kepada para kiai dan santri yang telah ikut memperjuangkan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia .... itu kang ”, tandas saya sambil mengaduk kopi yang baru datang. “ wah bakal rame ini pondok ...” sahut Kang Faqih penjaga warung yang dari tadi ikut nyimak pembicaraan kami.
“ kalau menurut Kang Nardi, santri itu sejatinya siapa? ” saya bertanya penuh penasaran. Kang Nardi spontan melihat saya sambil nyruput kopinya yang masih anget itu. Ia menjawab “ santri itu ya seperti kita ...” ucapnya sambil menghelakan nafas dan kembali menghisap rokok. “ seperti kita gimana kang ? ” sahut Kang Ma’mun yang belum faham maksud jawaban Kang Nardi dengan nada agak tinggi. Lalu Kang Nardi melanjutkan penjelasannya “ iya... seperti kita yang setiap hari belajar, ngaji, hafalan, musyawarah, roan, ngopi, jauh dari keluarga yang kita cintai, mengabdi dan nurut pada kiai dan kita tidak tahu jadi apa nanti, kita diajarkan ilmu ilahi yang tak bertepi dan yang penting ngaji sampai mati, tetap santri walau sudah beristri ...hahhahha” Kang Nardi mengakhirinya dengan tawa. Penjelasannya penuh arti yang mendalam membuat kami percaya diri. “ Joss Kang Nardi, saya dukung ” sahutan Kang Faqih sambil menuangkan air melayani pelanggan lain.
“ kalau menurut Akang gimana? ” tannya saya sambil menoleh ke Kang Ma’mun yang dari tadi kopinya belum diminum sibuk mendengarkan pembicaraan kami. “ menurutku santri itu dia yang mau mengaji dan mengabdi ...” singkat jawabnya sambil meluruskan kopiah hitamnya yang sudah lusuh. “ maksudnya ... ” tannya Kang Nardi penasaran
“ santri itu yang mau mengaji semua ilmu, menghatamkan berbagai macam kitab mulai safinah, sulmuttaufiq, ta’lumul muta’allim, tafsir munir, jauharut tauhid, fathul qorib, fathul muin, fathul wahhab, fathul izar dan ihya ‘ulumuddin... mengabdi artinya selama dipondok ngabdi kepada pondok dan kiai, lalu ketika pulang mengabdi untuk umat dan agama, ngabdi itu ya tidak digaji seperti kiai ikhlas dan tak pernah berhenti mengajar walau tidak digaji... begitu!”.
Mendengar penjelasan keduanya kami merasa malam itu menyadarkan kami semua bahwa santri itu orang pilihan yang disiapkan allah menjaga peradaban umat manusia untuk kembali kepada nilai – nilai kemanusian ... kami terlelap dalam cangkru’an ditemani kopi lelet kang faqih yang membuat penikmatnya langsung jatuh cinta.
selamat hari santri nasional 2019 santri untuk perdamain dunia.
Oujda 20 oktober 2019
@ang_utup